Katolikana.com — Judul tulisan ini mungkin sepintas cukup provokatif dan terkesan ingin berpihak. Namun sebetulnya, saya hanya ingin mengungkit kekeliruan cara pandang kebanyakan warga Gereja terhadap orang-orang berekonomi mapan. Sebab memang selama ini pemikiran arus utama menganggap Gereja seharusnya memfokuskan perhatiannya kepada orang-orang yang miskin dan terpinggirkan.
Dalam pemikiran yang sepertinya diamini banyak orang tersebut, terdapat satu lubang penting yang sering kali terabaikan: Mereka yang kaya juga adalah warga Gereja yang memerlukan perhatian dari Gereja.
Stereotip umum bahwa orang kaya selalu dalam posisi berkuasa dan tidak membutuhkan dukungan apapun sering kali membuat Gereja abai bahwa mereka juga dapat mengalami ketidakadilan dan ketidakberdayaan. Dalam konteks ini, kita perlu memahami Gereja memiliki peran untuk hadir dalam hidup semua orang, tanpa memandang status sosial atau ekonominya.
Ketidakberdayaan Tidak Memandang Status
Paus Fransiskus dalam surat apostolik Evangelii Gaudium pernah menekankan bahwa Gereja harus menjangkau semua orang yang terluka oleh kehidupan, tanpa memandang status sosial atau ekonomi mereka. Ia menyatakan, “Kita tidak bisa membiarkan diri kita terperangkap dalam rutinitas yang membuat kita buta terhadap realitas di sekitar kita” (Paus Fransiskus, Evangelii Gaudium, 2013, hlm. 3).
Dalam konteks ini, bentuk ketidakadilan yang dialami orang kaya bisa jadi sangat berbeda dengan yang dialami orang miskin. Meskipun orang kaya mungkin memiliki sumber daya yang lebih besar, ini tidak menjamin bahwa mereka terhindar dari situasi yang tidak adil. Dalam banyak kasus, individu kaya yang memiliki bisnis besar atau aset bernilai tinggi dapat menghadapi ancaman ketidakadilan dalam wujud penipuan, pemerasan, atau penggelapan. Hal ini lantas bisa menyeret mereka ke dalam situasi ketidakberdayaan.
Ketidakberdayaan tidak selalu berkaitan dengan kemiskinan, tetapi dapat hadir dalam berbagai bentuk dan situasi. Penelitian menunjukkan bahwa orang kaya yang mengalami pemerasan juga sering kali mengalami stres yang tinggi dan masalah kesehatan mental sebagai dampak dari tekanan yang terus menerus (Pew Research Center, 2020).
Dengan demikian, penting bagi Gereja untuk bisa memposisikan dirinya di tengah-tengah. Gereja mestinya menjadi tempat semua umat dapat merasa diterima dan didengarkan. Tidak terkecuali bagi mereka yang dipandang kaya.
Kesetaraan di Hadapan Tuhan
Dalam pemahaman teologis, setiap individu—termasuk orang kaya—memiliki martabat yang sama di hadapan Tuhan. Ajaran Katolik menggarisbawahi bahwa Allah menciptakan setiap orang menurut gambar dan rupa-Nya (Kejadian 1:27), yang menunjukkan bahwa setiap individu, tanpa memandang status sosial, memiliki nilai yang tak terhingga. Gereja Katolik sendiri menyatakan bahwa martabat manusia tidak bergantung pada kekayaan atau status sosial, melainkan pada fakta bahwa setiap orang adalah ciptaan Allah yang unik (Katekismus Gereja Katolik, 1992, hlm. 46).
Teolog terkemuka pencetus Teologi Pembebasan, Gustavo Gutiérrez, berargumen bahwa keadilan sosial adalah tanggung jawab seluruh umat beriman. Ia menyatakan bahwa tidak ada satu pun yang boleh dieksklusi dari kasih Tuhan. Termasuk mereka yang berada di posisi kaya (Gutiérrez, 1971). Gutiérrez juga menekankan pentingnya komitmen untuk memperjuangkan keadilan di semua lapisan masyarakat, yang berarti memperhatikan kebutuhan dan kesulitan orang kaya yang mungkin menghadapi penindasan.
Dalam pandangan ini, perhatian Gereja seharusnya tidak hanya berfokus kepada orang miskin saja, tetapi secara luas kepada semua orang yang mungkin terjebak dalam sistem yang menindas. Baik mereka yang miskin ataupun yang kaya. Ini menunjukkan Gereja harus memperluas visi pastoralnya agar inklusif dan responsif terhadap semua lapisan masyarakat.
Paus Fransiskus juga pernah menekankan pentingnya mengatasi ketidakadilan dalam masyarakat. Ia menegaskan bahwa “kita semua adalah bagian dari satu tubuh” dan setiap anggota tubuh memiliki nilai yang setara (Fratelli Tutti, 2020, hlm. 154).
Dengan mendekati masalah ini dari sudut pandang teologis, Gereja dapat berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan setiap individu dengan cinta dan perhatian Tuhan, tanpa membedakan status sosial mereka. Sudut pandang ini mengajak kita untuk bisa melihat bahwa solidaritas tidak hanya berbasis pada kebutuhan material belaka, tetapi juga pada pengertian mendalam tentang pengalaman manusia sebagai bagian dari komunitas iman yang lebih besar.
Stigma yang Menekan
Orang kaya yang mengalami ketidakberdayaan sering kali merasa tertekan untuk tidak mengungkapkan pengalaman mereka karena adanya stigma yang melekat pada status kekayaan mereka. Terdapat stigma bahwa orang kaya seharusnya lebih kuat sehingga lebih mampu mengatasi kesulitan yang mereka hadapi. Namun kenyataannya, stigma itu pula yang membuat banyak dari mereka merasa terisolasi dan tidak memiliki tempat untuk membagi kesedihan dan tantangan yang mereka alami.
Dalam banyak budaya, orang kaya dianggap tidak pantas untuk mengeluh atau mencari bantuan. Mereka dilihat sebagai individu yang harus kuat dan mandiri. Sehingga ada semacam tabu bagi orang kaya untuk mencari dukungan moral dari Gereja atau lembaga lain saat mereka mengalami ketidakberdayaan.
Ini menciptakan siklus di mana orang-orang kaya tetap terisolasi dan tidak mendapat dukungan yang mereka butuhkan. Padahal dalam Gaudium et Spes, Konsili Vatikan II menegaskan bahwa terlepas dari status ekonomi mereka, setiap orang memiliki martabat yang harus dihormati (Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes, 1965, hlm. 25).
Padahal menciptakan ruang yang aman dan inklusif untuk berbicara tentang kesulitan yang dihadapi orang kaya sangat penting dalam konteks pastoral. Gereja perlu membangun kesadaran di kalangan umat Katolik bahwa adanya ruang berbagi cerita seperti ini sangatlah penting, termasuk bagi mereka yang berpunya. Ruang ini tidak hanya dapat memperkuat ikatan komunitas tetapi juga memberikan dukungan emosional yang diperlukan.
Dalam hal ini, program pastoral Gereja harus fokus untuk meyakinkan semua orang merasa didengarkan dan diterima apa adanya. Dengan mengurangi stigma, Gereja dapat berfungsi sebagai tempat yang menguatkan semua orang. Termasuk bagi mereka yang selama ini merasa tertekan untuk bercerita karena beban status sosialnya.
Solidaritas Non-Transaksional
Penting diingat, bahwa dalam memberikan program pastoral seperti itu, Gereja tidak boleh menjalin relasi dengan didasari niat mendapatkan keuntungan secara material. Seringnya orang-orang kaya memberikan sumbangan atau donasi bagi Gereja tidak seharusnya dilihat sebagai sebuah transaksi. Gereja mesti melihat hal itu sebagai salah satu wujud kasih dan solidaritas yang tulus.
Dalam Fratelli Tutti, Paus Fransiskus mengingatkan kita bahwa “kita tidak dapat membiarkan diri kita terperangkap dalam hubungan yang bersifat transaksional, tetapi harus membangun hubungan yang berdasarkan kasih dan solidaritas” (Paus Fransiskus, Fratelli Tutti, 2020, hlm. 72). Hal ini mengingatkan kita bahwa dukungan gereja adalah bentuk kasih tanpa syarat.
Semua individu, terlepas dari status sosial mereka, semestinya berhak mendapatkan perhatian dan dukungan dari Gereja. Teolog Karl Rahner menekankan pentingnya inklusivitas dalam Gereja. Semua individu, baik yang miskin maupun yang kaya, harus diterima dan didukung oleh Gereja. Ia mengklaim bahwa martabat setiap manusia adalah sesuatu yang tidak dapat direndahkan oleh status sosial (Rahner, 1975).
Oleh karena itu, Gereja harus memperluas cara pandangnya tentang solidaritas dan mengintegrasikan semua individu ke dalam misi pastoralnya, tanpa membeda-bedakan. Dalam praktiknya, solidaritas Gereja tidak boleh karena terikat pada imbalan tertentu, tetapi harus murni dilandasi oleh kasih.
Teologi Inklusif
Maka, Gereja pun perlu mengeksplorasi cara-cara baru untuk menunjukkan kepada umat bahwa program pastoral mereka tidak dilandasi motif ekonomi yang sempit. Misalnya saja, melalui program-program yang berfokus pada kesejahteraan mental dan emosional. Dengan demikian, setiap individu dapat berpartisipasi di dalamnya, karena mereka merasa dipedulikan oleh Gereja tanpa adanya maksud terselubung.
Bentuk pastoral demikian membuat Gereja dapat menunjukkan kepada umat bahwa kepedulian Gereja bukan supaya umat bisa memenuhi kebutuhan materialnya saja. Akan tetapi, Gereja juga mampu menciptakan ruang bagi umat untuk saling berbagi pengalaman hidup dan, mungkin saja, mencari penyelesaiannya bersama. Gereja bisa memakai pendekatan Teologi Inklusif yang menempatkan semua individu sebagai bagian dari komunitas iman akan memperkuat kesadaran umat akan kesetaraan di hadapan Tuhan.
Pendekatan tersebut membuat Gereja tidak hanya memfasilitasi individu kaya merasa diterima di dalam Gereja. Lebih dari itu, Gereja juga bisa menjembatani umat untuk bisa memberi dukungan satu sama lain dalam menjalani tantangan hidup yang beragam. Pendekatan ini dapat membuka ruang dialog yang sehat dan saling mendengarkan serta membangun empati antar warga Gereja dari berbagai latar belakang sosial.
Dengan membangun solidaritas yang tulus dan bukan transaksional, Gereja idealnya bisa benar-benar berfungsi sebagai agen transformasi sosial yang positif, di mana setiap individu merasa dihargai dan didengar. Ini akan menghasilkan lingkungan yang lebih sehat bagi semua warga Gereja, terlepas dari status ekonomi mereka. (*)
Penulis: Fidelis Roy Maleng, mahasiswa ilmu filsafat Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero, tinggal di Ritapiret, Maumere
Editor: Ageng Yudhapratama
Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.