Apakah Sakramen Kehilangan Makna Kala Pemberi Sakramen Jatuh Dalam Dosa?

Katolikana.com — Iman Katolik sudah mengajarkan bahwa sakramen merupakan jalan yang menyalurkan rahmat Allah dan menjadi tanda kehadiran-Nya dalam kehidupan manusia. Dalam dan melalui sakramen, Allah berkenan hadir untuk menyapa, menebus dan menghantarkan manusia ke dalam kerajaan-Nya.

Namun dalam kehidupan yang konkret, pemahaman umat tentang sakramen kadang belum terlalu ideal. Sering dijumpai umat hanya mengaitkan sakramen dengan karakter individu sang pemberi sakramen dan bukan dengan Allah. Banyak umat melihat kekudusan sakramen itu tidak melekat dalam diri Allah sebagai pemilik sakramen, tetapi hanya sebatas pada laku hidup klerus yang memberikan sakramen.

Pemahaman yang kurang tepat seperti ini sering kali menimbulkan berbagai polemik dalam kehidupan umat beriman. Misalnya saja, ketika seorang klerus yang melayani sakramen (sebut saja sakramen pernikahan) jatuh ke dalam dosa, sebagian umat mengira bahwa sakramen yang pernah ia terima dari klerus tersebut juga kehilangan kesuciannya. Bahkan, sebagian orang menganggap bahwa dosa klerus tersebut dapat berpengaruh terhadap kehidupan pernikahan mereka di masa yang akan datang.

Tentu saja, pandangan seperti ini dapat dikatakan keliru. Karena itu, tulisan ini hendak menggugah pemikiran umat untuk bisa memahami secara lebih mendalam tentang makna sakramen Gereja.

 

Apa itu Sakramen?

Menurut Katekismus Gereja Katolik, sakramen berasal dari kata bahasa Yunani, “musterion” (rahasia) yang kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Latin, “mysterium” dan “sacramentum“. Dalam tafsiran selanjutnya, mysterium merujuk pada sesuatu yang tak kelihatan. Sedangkan sacramentum merujuk pada tanda kelihatan dari keselamatan yang tak kelihatan (bdk. KGK. 774).

Dari pengertian ini, dapat dikatakan bahwa sakramen adalah suatu peristiwa konkret yang menandai dan menampakkan kasih Allah yang menyelamatkan.

Kitab Suci Perjanjian Baru menekankan keberadaan sakramen ada di dalam diri Yesus Kristus yang bekerja untuk memberikan rahmat-Nya, sehingga manusia bisa mengambil bagian dalam kehidupan ilahi (Bdk. KGK 127; 129). Dalam seluruh perjalanan-Nya di dunia, Yesus sudah menjadi tanda nyata kehadiran Allah di tengah umat-Nya. Sehingga dapat dikatakan bahwa Yesus Kristus adalah sakramen itu sendiri.

Sejarah pernah mencatat bahwa Gereja pernah mengenal banyak sakramen jauh di masa lampau. Namun, sejak Konsili Trente (1545–1563), Gereja hanya mengakui tujuh buah sakramen seperti yang dikenal sampai hari ini, sementara yang lainnya tetap diakui sebagai “sakramentali” (tanda yang menyerupai sakramen).

Ketujuh sakramen tersebut, yaitu: baptis (lih. KGK 1213-1284), krisma (lih. KGK 1285-1321), ekaristi (lih. KGK 1321-1419), pengakuan dosa (lih. KGK 1422-1498), pengurapan orang sakit (lih. KGK 1499-1532), imamat (lih. KGL 1536-1600), dan perkawinan (lih. KGK 1601-1666). Semua sakramen di atas memiliki makna teologis yang berbeda dalam mengungkapkan kehadiran Allah.

 

Kapan Sakramen Disebut Sah?

Teologi sakramen menekankan bahwa, sakramen adalah “peristiwa konkret duniawi” yang menyatakan kehadiran Allah. “Peristiwa konkret duniawi” itu kemudian lebih ditampakkan dalam bentuk benda materiil (materia) dan perkataan pengukuhan (forma). Kedua hal ini menjadi struktur dasar yang membentuk sebuah sakramen.

Materia merujuk pada tanda-tanda badaniah yang dapat diindrai. Tanda-tanda ini digunakan untuk mengungkapkan kehadiran Allah secara nyata, dalam wujud yang manusiawi. Dalam perwujudan manusiawi itulah kita mengalami cinta ilahi Allah.

Selain itu, perlu juga untuk disadari bahwa tanda atau perbuatan konkret manusiawi itu hanya akan mendapatkan maknanya sebagai sakramen Kristus melalui forma ketika tanda itu digunakan. Forma merujuk pada struktur kalimat/perkataan yang digunakan oleh klerus ketika dia menjalankan ritus pelayanan sakramen.

Contohnya, dalam sakramen baptis, kita dapat menemukan unsur materia dalam rupa air yang digunakan dalam ritus tersebut. Sementara itu, unsur forma dapat ditemukan dalam rumusan “(Nama katekumen), aku membaptis engkau, dalam nama Bapa, dan Putera, dan Roh Kudus.

Dalam buku Perayaan Sakramen Baptis dan Krisma, J.D. Chricton menerangkan bahwa seorang klerus tidak dapat mengucapkan rumusan tersebut tanpa menuangkan air ke atas kepala katekumen (Chircton, 1990: 82). Sebaliknya, klerus juga tidak dapat menuangkan air tanpa mengucapkan rumusan itu. Kedua unsur di atas harus dijalankan secara bersamaan ketika ritus pembaptisan.

Persatuan kedua unsur inilah yang menjadi struktur dasar sebuah sakramen dan menentukan sah atau tidaknya pemberian sebuah sakramen. Terlepas dari keadaan diri sang klerus, ketika sudah memenuhi syarat materia dan forma, sakramen tersebut dikatakan sah dan mengikat penerimanya secara kekal.

 

Allah Pemilik Sakramen

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, sakramen adalah rahmat yang diberikan secara cuma-cuma oleh Allah kepada manusia. Titik tolak sakramen itu adalah Allah sendiri. Oleh karena itu, konsekuensinya jelas: Kekudusan sakramen itu dihasilkan ex opere operato (karena ritus yang dilaksanakan) dan bukan ex opere operantis (karena jasa orang yang melaksanakannya).

Georg Kircherberger, seorang teolog dan misionaris Katolik, dalam karyanya Allah Menggugat: Sebuah Dogmatil Kristen menyebutkan bahwa nilai dan daya guna dari suatu sakramen tidaklah bergantung dari kekudusan pribadi pelayan sakramen, melainkan ada dari dalam sakramen itu sendiri (Kircherberger, 2020: 480-481).

Lebih lanjut, dalam teologi Katolik dikatakan bahwa suatu sakramen dapat diterima secara sah jika pemberi sakramen sedikitnya sudah bermaksud untuk berbuat apa yang dikehendaki Allah melalui Gereja (pada waktu sakramen diberikan). Kalau pun di kemudian hari diketahui bahwa pemberi sakramen ternyata sedang berada dalam keadaan dosa berat (baik sebelum, saat, maupun sesudah memberikan sakramen), sakramen itu tetap sah.

Hal yang perlu disadari adalah bahwa ketika menerima sakramen kita sebenarnya sedang merasakan kesetiaan Allah yang menyelamatkan dan menguduskan manusia. Karena itu, diperlukan suatu sikap iman yang baik dari manusia untuk menanggapi setiap sakramen itu. Sehingga ia bisa memiliki daya guna yang penuh (Kircherberger, 2020: 481).

Terdapat pula dua unsur yang perlu dilihat dalam memaknai daya guna sebuah sakramen. Pertama, sacramentum tantum alias tanda lahiriah, yaitu ritus sebagai perbuatan manusiawi beserta formulanya sebagai sarana yang ditetapkan Allah, yang di dalamnya kita bisa bertemu dengan Allah dan memperoleh keselamatan. Kedua, res sacramenti yang artinya peristiwa rahmat, yaitu terjadinya pertemuan antara umat manusia dengan Allah.

Sacramentum tantum ditetapkan secara objektif dan merupakan rahmat yang pasti dari pihak Allah. Sedangkan, res sacramenti merupakan pertemuan personal dan hanya terjadi bila si penerima sakramen sungguh siap untuk bertemu dengan Allah dan mempunyai sikap batin yang sesuai dengan peristiwa Kudus itu. Peristiwa personal itu mengandalkan suatu sikap batin yang terbuka untuk menanggapi kehadiran Allah.

Berhubungan dengan sakramen-sakramen yang hanya diterima satu kali, seperti sakramen baptis, krisma, dan imamat, diajarkan bahwa sakramen-sakramen ini merupakan murni sebagai kekuatan dari Allah untuk mengadakan hubungan cinta, memberikan rahmat yang menguduskan.

Konsekuensinya, meskipun sakramen itu diberikan saat si penerima tidak memiliki sikap batin yang baik, daya guna sakramen itu akan tetap berjalan dan akan mencapai kepenuhan saat orang yang bersangkutan mengubah sikap batinnya dan rela menerima rahmat itu. Artinya, tawaran Allah bisa diaktualisasi saat itu seolah-olah dihidupkan dan sakramen menghasilkan rahmatnya (Kircherberger, 2023: 483). (*)

Mahasiswa Program Sarjana Ilmu Filsafat Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif (IFTK) Ledalero, Maumere.

Comments (0)
Add Comment