Stereotipe Tontonan yang Membuat Anak Enggan Membaca dan Menghargai Intelektual

Sudah saatnya kita mengubah paradigma mengenai kutu buku, guru, ilmuwan, dan intelektual.
Susy Haryawan (Foto: Dokumentasi pribadi)

Katolikana.com—Indonesia menghadapi tantangan serius dalam bidang literasi. Hasil survei Programme for International Student Assessment (PISA) menunjukkan bahwa kemampuan membaca di Indonesia masih tertinggal jauh dibandingkan negara-negara lain.

Tak hanya itu, rata-rata nilai intelektual anak bangsa juga berada di bawah standar normal. Namun, banyak pihak yang masih menyangkal realitas ini dengan berbagai dalih.

Salah satu faktor yang berkontribusi terhadap rendahnya minat membaca adalah stereotipe yang terus diproduksi oleh tontonan, baik dalam bentuk sinetron televisi, film layar lebar, hingga konten digital di media sosial.

Anak-anak tumbuh dengan gambaran bahwa mereka yang suka membaca—atau sering disebut “kutu buku”—adalah sosok yang culun, pemalu, inferior, berkacamata tebal, dan tidak memiliki kehidupan sosial yang menarik. Stereotipe ini begitu melekat, seolah-olah kecerdasan dan ketekunan dalam membaca adalah sesuatu yang harus dihindari.

Kutu Buku

Dalam banyak film dan sinetron, karakter kutu buku selalu digambarkan sebagai sosok yang lemah, mudah dibully, dan minderan. Anak laki-laki yang rajin membaca sering kali diperlihatkan sebagai sosok yang penakut, kalah populer dibandingkan dengan anak-anak keren yang cenderung bodoh secara akademik. Sementara itu, anak perempuan yang hobi membaca biasanya tampil dengan kacamata tebal, rambut dikuncir dua, berpakaian jadul, dan pemalu. Mereka lebih sering berada di perpustakaan dan kesulitan bersosialisasi.

Kontrasnya, tokoh yang populer di sekolah adalah mereka yang ganteng atau cantik, gaul, pandai bergaul, namun sering kali digambarkan tidak cerdas secara akademik. Skenario ini memberikan pesan implisit bahwa menjadi pintar dan rajin membaca bukanlah sesuatu yang keren atau membanggakan.

Tentu saja, ini adalah konstruksi yang sangat keliru. Dalam kenyataan, mereka yang rajin membaca memiliki wawasan yang luas, kepercayaan diri yang tinggi, serta kemampuan berpikir kritis yang jauh lebih baik. Seharusnya, media dapat memberikan representasi yang lebih realistis dan positif tentang para intelektual muda.

Karakter Karikatural

Stereotipe negatif juga sering disematkan kepada para guru. Dalam banyak sinetron, guru digambarkan sebagai sosok pemarah, kaku, dan tidak menyenangkan. Ada yang selalu marah-marah di kelas, ada yang terlalu takut pada kepala sekolah atau yayasan, dan ada pula yang tidak dihormati oleh murid-muridnya. Penampilan mereka pun sering kali dibuat tidak menarik, dengan pakaian jadul dan sikap yang dianggap ketinggalan zaman.

Dulu, di era TVRI, ada tayangan yang menggambarkan seorang anak yang memiliki persewaan buku dan banyak membaca. Karakter ini digambarkan sebagai sosok yang rapi, intelektual, dan berani menghadapi teman-temannya. Namun, gambaran seperti ini jarang kita temui saat ini. Padahal, sosok cerdas dan rajin membaca seharusnya digambarkan sebagai pribadi yang smart, percaya diri, dan inspiratif.

Begitu pula dalam film yang pernah diperankan oleh Adi Kurdi. Ia berperan sebagai seorang guru laki-laki di sekolah perempuan. Awalnya, ia dijadikan bahan olokan oleh murid-muridnya, tetapi dengan kesabaran dan keilmuannya yang luar biasa, ia berhasil mengubah pandangan para siswinya dan mendapatkan penghormatan.

Karakter guru seperti ini seharusnya lebih sering ditampilkan, sehingga murid-murid dapat kembali melihat sosok pendidik sebagai figur yang dihormati dan dikagumi.

Sayangnya, dalam realitas saat ini, profesi guru kian dipandang sebelah mata. Jika ditanya kepada anak-anak tentang cita-cita mereka, jarang sekali yang ingin menjadi guru. Bahkan, guru sering kali menjadi bahan olokan, baik di dunia nyata maupun dalam berbagai tayangan di media massa.

Tidak hanya kutu buku dan guru, bahkan ilmuwan dan akademisi pun tak luput dari stereotipe negatif. Dalam berbagai film dan sinetron, mereka yang berkecimpung di laboratorium digambarkan sebagai sosok berkacamata tebal, berantakan, kurang rapi, dan hanya bisa hidup dalam dunia sains tanpa kemampuan sosial yang baik. Karakter ilmuwan sering kali diperlihatkan sebagai orang yang aneh dan sulit berinteraksi dengan orang lain.

Di sisi lain, para pengusaha justru digambarkan sebagai orang-orang yang rapi, sukses, dermawan, dan religius. Gambaran ini tentu tidak sepenuhnya salah, tetapi juga tidak sepenuhnya benar. Tidak semua pengusaha memiliki moral yang baik, dan tidak semua ilmuwan adalah sosok yang sulit bersosialisasi. Namun, bagi anak-anak, apa yang mereka lihat di layar kaca sering kali dianggap sebagai kebenaran mutlak.

Narasi Positif

Seharusnya, tontonan yang dikonsumsi oleh anak-anak tidak hanya menghibur, tetapi juga mendidik. Media memiliki peran besar dalam membentuk pola pikir dan aspirasi generasi muda. Oleh karena itu, perlu ada representasi yang lebih adil dan seimbang dalam menggambarkan berbagai profesi dan peran sosial.

Bayangkan jika dalam sebuah film atau sinetron, seorang anak pintar yang sering dibully akhirnya menantang para pembully-nya dalam kompetisi akademik dan berhasil membuktikan bahwa kecerdasan lebih unggul daripada sekadar popularitas. Atau seorang guru yang digambarkan sebagai sosok yang inspiratif, penuh wibawa, dan dihormati oleh murid-muridnya. Hal-hal seperti ini akan membantu membangun citra positif bagi para intelektual muda dan tenaga pendidik.

Contohlah penampilan Ibu Retno Marsudi, Ibu Sri Mulyani, atau almarhum BJ Habibie—figur-figur yang cerdas, berpenampilan profesional, dan sangat dihormati. Mereka adalah bukti nyata bahwa membaca, belajar, dan berpikir kritis tidak membuat seseorang menjadi “culun” atau “kudet,” tetapi justru menjadikannya luar biasa.

Ubah Paradigma

Sudah saatnya kita mengubah paradigma mengenai kutu buku, guru, ilmuwan, dan intelektual. Mereka yang rajin membaca dan memiliki wawasan luas seharusnya digambarkan sebagai sosok yang percaya diri, sukses, dan inspiratif. Begitu pula dengan profesi guru dan ilmuwan, yang perlu mendapatkan representasi lebih baik dalam media.

Media dan industri hiburan memiliki tanggung jawab moral untuk menciptakan tontonan yang tidak hanya menghibur, tetapi juga membangun karakter bangsa. Jika citra akademisi dan intelektual terus-menerus dikesampingkan dan diberikan label negatif, bagaimana mungkin kita berharap generasi muda akan tumbuh dengan semangat belajar dan mengembangkan ilmu pengetahuan?

Tantangan kita saat ini bukan hanya meningkatkan angka literasi, tetapi juga mengubah cara pandang anak-anak terhadap dunia pendidikan dan ilmu pengetahuan. Dengan menghadirkan tontonan yang lebih positif, kita bisa membentuk generasi yang menghargai ilmu, menghormati guru, dan berani bermimpi besar. ***

Penulis: Susy Haryawan, bukan siapa-siapa

 

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

BJ Habibiekutu bukuPISARetno MarsudiSri Mulyani
Comments (0)
Add Comment