Oleh: Fr. Yohanes Jemiandro Bala Kelen
Katolikana.com—Film Conclave, yang diadaptasi dari novel Robert Harris, membawa kita ke dalam dunia konklaf Vatikan yang penuh misteri dan intrik. Meskipun dikemas sebagai karya fiksi, film ini menimbulkan pertanyaan tentang sejauh mana ia mencerminkan realitas pemilihan paus yang sesungguhnya.
Di satu sisi, Conclave jelas merupakan sebuah spekulasi yang menggambarkan konspirasi, ambisi pribadi para kardinal, serta penyederhanaan konflik ideologi dalam Gereja. Film ini bahkan mempertanyakan dogma-dogma agama dengan cara yang cukup kontroversial.
Namun, di sisi lain, film ini tetap memiliki akar dalam realitas, yakni pada tradisi konklaf itu sendiri. Conclave menyoroti ketegangan antara kekuasaan dan integritas moral, serta tantangan yang dihadapi Gereja Katolik di era modern.
Dalam kajian ini, kita akan melihat sejauh mana film ini mencerminkan realitas atau hanya sekadar fiksi belaka. Di satu sisi, film ini menawarkan refleksi menarik tentang iman, tetapi di sisi lain juga dapat dipandang sebagai kritik terselubung terhadap Gereja Katolik.
Konklaf: Transisi Kepemimpinan dalam Gereja Katolik
Konklaf adalah pertemuan tertutup yang diadakan oleh Dewan Kardinal untuk memilih paus baru setelah tahta lowong. Pemilihan paus bukan sekadar prosesi formal, tetapi sebuah ritual sakral yang telah berlangsung selama lebih dari delapan abad.
Secara tradisional, konklaf dimulai 15 hingga 20 hari setelah wafatnya Paus. Waktu ini ditetapkan sejak abad pertengahan, mengingat perjalanan menuju Roma pada masa itu bisa memakan waktu berminggu-minggu.
Beberapa fakta penting tentang konklaf:
- Dilakukan secara rahasia di Kapel Sistina, dengan keamanan ketat.
- Hanya kardinal berusia di bawah 80 tahun yang dapat memilih.
- Seseorang membutuhkan dua pertiga suara mayoritas untuk terpilih menjadi Paus.
- Setelah pemungutan suara, surat suara dibakar. Jika belum terpilih, asap hitam keluar dari cerobong Kapel Sistina. Jika sudah terpilih, asap putih akan mengepul sebagai tanda bahwa Gereja memiliki paus baru.
Konklaf terakhir terjadi pada tahun 2013, ketika Jorge Mario Bergoglio terpilih sebagai Paus Fransiskus menggantikan Paus Benediktus XVI.
Proses ini menjadi momen sakral, di mana para kardinal tidak hanya mempertimbangkan faktor manusiawi, tetapi juga memohon bimbingan Roh Kudus.
Pemimpin Gereja Harus Memiliki Moralitas Tinggi
Pemimpin Gereja—termasuk paus, uskup, dan imam—diharapkan menjadi teladan dalam iman dan moralitas.
Mengapa moralitas tinggi penting?
- Membangun Kepercayaan Umat
- Umat membutuhkan pemimpin yang dapat dipercaya dan berintegritas.
- Menyampaikan Ajaran dengan Otoritas
- Seorang pemimpin yang bermoral dapat mengajarkan iman dengan keyakinan dan kejujuran.
- Menjadi Suri Teladan
- Pemimpin Gereja harus hidup sesuai dengan nilai-nilai Kristiani agar dapat menjadi panutan bagi umat.
Moralitas tinggi bukan sekadar harapan, tetapi kebutuhan mendasar bagi setiap pemimpin Gereja. Dengan integritas, etika, dan komitmen terhadap ajaran Kristus, mereka dapat membimbing umat dan menghadapi tantangan zaman dengan bijaksana.
Fiksi atau Realitas?
Film Conclave adalah karya fiksi yang terinspirasi dari realitas, tetapi bukan representasi akurat dari konklaf yang sesungguhnya.
Film ini mengandung unsur provokatif dan sensitif, menampilkan konspirasi yang seolah menyudutkan Gereja Katolik. Salah satu elemen kontroversial dalam film ini adalah penggambaran para kardinal sebagai tokoh yang ambisius dan tidak bermoral, yang bertolak belakang dengan realitas bahwa pemimpin Gereja harus memiliki moralitas tinggi.
Robert Harris, penulis novel yang menjadi dasar film ini, dikenal sebagai pengarang thriller politik yang menggabungkan unsur fiksi dan sejarah. Strategi ini menimbulkan rasa penasaran di kalangan penonton mengenai apa yang terjadi di balik pintu tertutup Kapel Sistina.
Dengan demikian, Conclave adalah fiksi spekulatif yang menyajikan konspirasi dalam pemilihan paus, namun tetap menyisakan kesan provokatif terhadap Gereja Katolik.
Catatan Kritis
Sangat naif jika kita menganggap film ini sebagai kisah nyata. Film ini adalah interpretasi subjektif dari Robert Harris tentang proses konklaf, yang ia kaitkan dengan politik dunia.
Tentu saja, pemilihan paus tidak bisa disamakan dengan politik duniawi. Gereja Katolik percaya bahwa konklaf dipimpin oleh Roh Kudus, bukan oleh ambisi pribadi atau permainan politik.
Meskipun begitu, ada beberapa hal yang dapat kita refleksikan:
- Film ini mengingatkan kita akan tantangan yang dihadapi Gereja di era modern.
- Menjadi pemimpin Gereja bukan hanya soal kekuasaan, tetapi juga soal tanggung jawab moral dan spiritual.
- Kritik terhadap Gereja harus dilihat dengan bijak, agar tidak serta-merta menimbulkan kesalahpahaman.
Sebagai umat beriman, kita diajak untuk bersikap kritis, selektif dalam menyaring informasi, dan tidak mudah terpengaruh oleh narasi yang dapat melemahkan iman.
“Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaruan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada-Nya, dan yang sempurna.” (Roma 12:2)
Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.