Babadan, Katolikana.com – Ekstremisme tidak terbatas pada agama tertentu, melainkan bisa terjadi dalam agama apa pun. Karenanya, ia mendorong setiap orang untuk mengambil kebaikan dari berbagai kelompok tanpa jatuh ke dalam sikap ekstrem.
Hal ini disampaikan oleh Kamituwa Desa Wedomartani sekaligus tokoh Nahdhatul Ulama NU di Kecamatan Ngemplak, Sleman, H. Mujiburokhman, S.Ag., MA saat tampil sebagai narasumber dalam Sarasehan Kekatolikan yang diadakan di Paroki Santo Petrus dan Paulus Babadan, Minggu (23/3/2025).
Pada sarasehan ini, Camat Ngemplak Dakiri S.Sos., M.Si dan Romo Martinus Joko Lelono Pr juga hadir sebagai pembicara.
Konsep Dasar Keberagaman
Mujiburokhman menjelaskan sebagai seorang Muslim, khususnya sebagai kader Nahdlatul Ulama (NU), ada empat konsep dasar keberagaman yang menjadi pegangan. Konsep ini yang menjadikan umat Muslim, khususnya warga NU dekat dengan siapa pun.
Pertama, seorang Muslim berpegang teguh pada prinsip atau konsep tawasuth, atau sikap moderat atau i’tidal yang artinya tegak lurus, adil, dan konsisten pada hal-hal yang lurus, benar, dan tepat, seperti tercantum dalam Surat Al-Baqarah ayat 143.
“Umat Islam harus menjadi umat pertengahan yang bisa menjadi saksi atas umat manusia,” jelas Mujiburokhman.
Kedua, konsep tasamuh atau toleransi merupakan sikap menerima perbedaan sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. Tasamuh menjadi fondasi penting dalam keberagamaan dan kehidupan bermasyarakat, karena mengakui bahwa hidup di tengah perbedaan adalah realitas yang tak terelakkan.
Menurut Mujiburokhman, kita lahir dan hidup di Indonesia, sebuah bangsa yang sejak awal telah terlahir dalam keberagaman.
Bahkan sebelum agama-agama besar masuk, masyarakat Nusantara sudah hidup dengan berbagai perbedaan: bahasa yang beragam, pulau yang tersebar luas, suku yang berbeda-beda, dan kemudian agama yang juga beragam.
“Keberagaman ini adalah fakta historis dan sosiologis yang tidak bisa diingkari,” ujar Mujiburokhman.
Oleh karena itu, sambungnya, sikap paling tepat dan bijak dalam menyikapi realitas tersebut adalah menerima perbedaan itu secara terbuka—dengan tasamuh, dengan toleransi.
Menurutnya, perbedaan suku, agama, dan budaya adalah realitas yang telah ditetapkan oleh Tuhan. “Keberagaman ini adalah sunnatullah atau kehendak Tuhan yang harus kita terima dengan penuh penghormatan,” tambahnya.
Mujiburokhman juga menggunakan ilustrasi jari tangan untuk menjelaskan pentingnya menghargai perbedaan.
“Jika semua jari tangan kita sama bentuknya, maka tangan tidak akan maksimal fungsinya. Begitu pula perbedaan dalam masyarakat, justru perbedaan tersebut menjadi kekuatan jika bisa bersatu dalam harmoni,” paparnya.
Ketiga, konsep tawazun atau keseimbangan dan proporsionalitas menjadi poin penting dalam paparan Mujiburokhman. Dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat, beliau menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara keimanan, budaya, serta tradisi lokal yang hidup di tengah masyarakat.
Tawazun adalah sikap beragama dan bermasyarakat yang bersedia memperhitungkan berbagai sudut pandang, kemudian mengambil posisi yang seimbang dan proporsional. Inilah yang menjadi tantangan sekaligus keharusan di tengah masyarakat yang majemuk seperti Indonesia.
Mujiburokhman menyoroti kasus yang terjadi di Balong, Sleman, di mana satu kelompok masyarakat tidak bisa diterima kehadirannya bukan semata-mata karena perbedaan agama, tetapi karena ketidakhadiran sikap proporsional dan tidak adanya upaya membangun keseimbangan sosial dan budaya di tempat tersebut.
“Sebagai orang Indonesia, terlebih sebagai orang Jawa, identitas kita tidak hanya dibentuk oleh agama, tetapi juga oleh budaya, tradisi, dan nilai-nilai lokal yang sudah mengakar,” ujar Mujiburokhman.
Ia menegaskan, agama apapun yang hadir di suatu wilayah, harus mampu berdialog dengan budaya dan tradisi yang ada di tempat itu. Menolak atau menentang tradisi setempat, atau bahkan mencoba menggantikannya dengan cara-cara eksklusif, hanya akan menimbulkan penolakan sosial.
Dengan kata lain, keseimbangan dalam kehidupan bersama—antara iman dan budaya, antara keyakinan dan kearifan lokal—adalah prasyarat bagi harmoni. Tawazun mengajarkan bahwa menjadi religius bukan berarti menafikan akar budaya dan tradisi, justru keduanya harus dihayati secara selaras dan saling memperkaya.
“Di Wedomartani, Sleman, tempat saya tinggal, keharmonisan ini nyata dengan berbagai tempat ibadah yang saling berdampingan secara damai. Kita perlu menjaga keseimbangan ini agar tercipta kehidupan sosial yang harmonis,” ujar Mujiburokhman.
Keempat, konsep amar ma’ruf nahi munkar—yang berarti mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran—merupakan ajaran universal yang berlaku dalam semua agama.
Dalam paparannya, Mujiburokhman menekankan bahwa ajaran ini tidak hanya eksklusif milik Islam, tetapi juga terdapat dalam ajaran agama-agama lain, termasuk Kristen.
“Saya yakin dalam Injil pun terdapat larangan terhadap judi, perzinahan, tindakan semena-mena terhadap sesama, termasuk menelantarkan anak,” ujarnya.
Menurutnya, semua bentuk kemungkaran itu pada prinsipnya dilarang oleh setiap agama. Begitu juga dengan ajaran untuk mengasihi sesama, menghargai martabat manusia, serta menebarkan kasih—semuanya juga merupakan bagian penting dalam ajaran Kristen.
Dengan demikian, ketika seseorang benar-benar menghayati ajaran agamanya, secara otomatis ia akan menjalankan prinsip amar ma’ruf nahi munkar. Ini bukan semata-mata kewajiban moral, tetapi konsekuensi logis dari keimanan yang sejati.
Namun, Mujiburokhman mengingatkan agar jangan sampai konsep amar ma’ruf nahi munkar disalahartikan dan disalahgunakan sebagaimana terjadi pada sebagian kelompok ekstrem.
Ia menegaskan, ajaran ini tidak boleh dijadikan pembenaran untuk melakukan tindakan kekerasan, seperti merusak toko, menyerang tempat ibadah, atau mengatasnamakan agama untuk tindakan intoleran.
“Amar ma’ruf nahi munkar bukanlah seruan yang membenarkan kekerasan dengan mengatasnamakan ‘Allahu Akbar’ sambil merusak gereja,” ujarnya tegas. Sebaliknya, ajaran ini seharusnya diwujudkan dalam semangat kasih, kedamaian, dan dialog antarmanusia.
Sebagai kader NU dan tokoh masyarakat, Mujiburokhman mengaku telah menerapkan prinsip-prinsip tersebut dalam berbagai kegiatan lintas agama di wilayahnya, termasuk dalam forum komunikasi antarumat beragama dan kegiatan budaya yang melibatkan berbagai elemen masyarakat.
Mujiburokhman menutup paparannya dengan pesan kepada umat Katolik untuk sepenuhnya menjadi Katolik sekaligus warga negara Indonesia yang baik.
“Dengan menjadi Katolik 100 persen dan 100 persen NKRI, kita akan memperkuat persatuan bangsa dalam keberagaman,” tutupnya. (*)
Yohanes Widodo alias masboi. Guru jurnalisme di Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Ayah dua puteri: Anjelie dan Anjani. Bisa dihubungi melalui fb.com/masboi, Twitter @masboi, atau IG @idmasboi.