Katolikana.com—Dulu saya beragama Katolik, kemudian berpindah ke Kristen. Setelah itu saya bertemu dengan suami saya, yang beragama Katolik. Ia meminta agar kami menikah secara Katolik, dengan kesepakatan bahwa setelah menikah, kami akan menjalankan ibadah sesuai agama masing-masing.
Kami menikah secara Katolik di Semarang, dan kini tinggal di Jakarta. Namun, seiring berjalannya waktu, suami mulai menuntut saya untuk kembali menjadi Katolik. Saya menolak, karena dia sendiri tidak pernah beribadah ke gereja Katolik.
Selain itu, dalam kehidupan rumah tangga, saya mulai merasakan perlakuan yang tidak sehat:
- Suami ingin menang sendiri dan membatasi pergaulan saya.
- Ia kerap melampiaskan kemarahan kepada anak kami, termasuk memukulnya.
- Ia melarang saya beribadah.
- Ia beberapa kali dekat dengan perempuan lain.
- Ia juga suka minum alkohol, bahkan pernah memberi anak kami (yang baru berusia 9 tahun) untuk mencicipi bir.
- Setiap kesalahan yang dia lakukan selalu dikatakan sebagai “khilaf” dan meminta dimaafkan, tetapi terus berulang.
- Ia berdalih bahwa karena kami menikah secara Katolik, maka tidak boleh ada perceraian, seberat apa pun masalahnya.
Melihat situasi ini, saya ingin bertanya: Apakah saya bisa mengajukan anulasi pernikahan menurut hukum Gereja Katolik? Terima kasih sebelumnya atas pencerahannya.
Novi – Jakarta
Ibu Novi, terima kasih atas pertanyaan Ibu. Semoga Ibu tetap kuat kendati menghadapi “badai besar” dalam hidup perkawinan. Saya usul agar Ibu Novi berkonsultasi kepada Romo paroki di Gereja Katolik suami atau di mana Ibu Novi tinggal.
Dalam konsultasi itu, Ibu Novi bisa menyampaikan secara seimbang informasi seputar suami, tidak hanya hal-hal negatif saja seperti yang sudah dikemukakan di atas, tetapi juga sikap-sikap positifnya.
Silakan informasikan juga seperti apa sikap suami dan apa yang dialami sebelum menikah. Mana tahu dari kisah ini, Romo paroki menemukan dasar kemungkinan untuk anulasi perkawinan Ibu Novi.
Menarik kisah Ibu Novi: dibaptis Katolik, kemudian pindah ke Kristen (saya harap agar dibiasakan penulisan yang benar, yakni: Kristen Protestan. Sebab Katolik pun adalah Kristen). Kemudian, menikah dengan pria Katolik secara Katolik.
Menariknya adalah Ibu Novi tidak mau kembali menjadi Katolik ketika diajak oleh suami kembali ke Katolik. Alasannya pun seolah masuk akal: “Saya menolak, karena dia sendiri tidak pernah beribadah ke gereja Katolik”. Lalu, Ibu Novi memaparkan “hal-hal negatif” tentang suami.
Saya usul kiranya Ibu Novi merenungkan: apakah perpindahan dari Katolik ke Kristen Protestan tidak didasari oleh “kebencian” atau “luka batin”, yang secara “tidak sadar” berakibat pada penilaian Ibu terhadap suami yang masih menganut agama Katolik?
Sebab, seseorang yang masih “luka batin” atau “benci” memiliki kecenderungan untuk melukai yang lain. Salah satu indikasinya adalah kecenderungan hanya melihat hal-hal negatif dari orang terdekat dan orang lain. Ini perlu disadari, mudah-mudahan Ibu Novi tidak demikian.
Saya usul, setelah membaca jawaban saya ini, silakan Ibu Novi ambil kertas folio atau buku lalu tuliskan kebaikan-kebaikan suami, sikap-sikap positifnya, talenta-talentanya. Setelahnya, tuliskan pula keburukan-keburukannya, sikap-sikap negatifnya. Timbang-timbang yang mana yang lebih dominan.
Kemudian, silakan Ibu Novi renungkan: apakah Ibu Novi sudah berjuang sekuat tenaga sebagai “penolong” bagi suami (bdk. Kej 2: 18) sehingga “kekurangan suami” bisa Ibu “tutupi” atau Ibu Novi “hadir” sebagai “penolong” bagi suami yang memiliki kekurangan itu sehingga suami pelan-pelan memperbaiki dirinya menjadi lebih baik.
Ibu Novi menikah sah secara Katolik. Dalam hukum Gereja Katolik, sangat jelas bahwa ‘sekali perkawinan dilangsungkan secara sah, bersifat sakramental (antara mereka yang dibaptis) dan disempurnakan dengan persetubuhan (consummatum), hanya kematian yang memisahkan keduanya (bdk. KHK Kanon 1141).
Perkawinan mesti dipelihara dan dibentuk untuk seluruh hidup (bdk. KHK Kanon 1055-1056). Sebenarnya Hukum Gereja tersebut hanya menegaskan ulang Sabda Tuhan Yesus yang melarang para pengikutNYa melakukan perceraian (bdk. Mat. 19: 5-6; Mark. 10: 7-9).
Dari paparan di atas, maka sangat jelas bahwa dalam Gereja Katolik tidak ada perceraian. Betul bahwa Gereja Katolik memiliki ajaran tentang “anulasi perkawinan”. Akan tetapi, kita mesti memahami secara benar anulasi perkawinan itu.
Anulasi bukan perceraian dan tidak seperti perceraian sipil. Sederhananya, anulasi perkawinan adalah pembatalan perkawinan yang sejak semula tidak sah. Dengan kata lain, hanya perkawinan yang “tidak sah sejak semula” yang terbuka kemungkinan untuk dianulasi. Sedangkan perkawinan sah, tidak bisa dianulasi.
Pertanyaannya, apa yang membuat perkawinan tidak sah sejak semula? Jawabannya ada banyak, kita rangkum dalam tiga kategori.
Ketegori pertama, terkena salah satu halangan perkawinan, antara lain: kurang umur, impotensi (sederhananya adalah tidak bisa melakukan hubungan seksual sama sekali), ikatan perkawinan terdahulu (pernah menikah dan tidak pernah dianulasi); beda agama, hubungan darah (misalnya: masih saudara/i sepupu; anak paman), kaul kekal kemurnian, tahbisan suci, penculikan, hubungan semenda garis lurus (menantu-mertua), hubungan adopsi (anak-orangtua adopsi), pembunuhan, dll.
Ketegori kedua, cacat kesepakatan nikah, antara lain: gila, idiot, punya penyakit psikis, cacat berat dalam berdiskresi (menilai), salah orang, penipuan, ketakutan, paksaan, pura-pura menikah, menikah karena ada yang dijanjikan pada masa yang akan datang, menolak punya anak (childfree), menolak 3 tujuan perkawinan (kebaikan suami istri, kelahiran anak, pendidikan anak), dll.
Ketegori ketiga, cacat tata peneguhan perkawinan, antara lain: umat Katolik menikah di luar Katolik tanpa dispensasi (misalnya menikah di KUA/Kantor Urusan Agama), saksi perkawinan kurang dari dua orang, dll.
Ketiga kategori yang membuat perkawinan tidak sah ini harus sudah ada sebelum menikah, kendati baru lebih dominan setelah menikah. Jika kita amati paparan sikap-sikap negatif suami di atas, tentu tidak ada satu pun yang menyatakan bahwa ada hal-hal yang membuat perkawinan tidak sah antara Ibu Novi dengan suami “sejak semula”.
Istilah “sejak semula” itu dapat dipahami secara sederhana, yakni: “sebelum melangsungkan perkawinan”, dan bukan “setelah melangsungkan perkawinan”.
Setelah membaca kasus Ibu Novi ini, saya terdorong menegaskan dua hal yang mesti diperhatikan:
Pertama, perkawinan yang terbuka kemungkinan untuk dibatalkan (dianulasi) hanyalah perkawinan yang tidak sah sejak semula atau sejak awal dan kemudian tidak bisa disahkan serta tidak mungkin dipulihkan hidup bersama pasutri.
Dengan demikian, jika hanya berdasarkan kisah Ibu Novi di atas, maka saya bisa mengambil kesimpulan bahwa perkawinan Ibu Novi tidak bisa dianulasi.
Kedua, perkawinan yang sah, tetapi ada berbagai macam kesulitan dan kegagalan, misalnya, salah satu atau keduanya tidak setia, atau tidak menafkahi pasangannya, tidak peduli kepada anak, memukul anak, tidak rajin ke Gereja dan suka minum alkohol, dan lain sebagainya.
Di dalam hidup perkawinan sah semacam ini, yang diusahakan adalah perdamaian. Pasutri mesti berjuang memaafkan (bukan karena pasangan layak dimaafkan), dan tidak dengan emosional menghadapi berbagai permasalahan itu.
Pasutri mesti selalu dengan rendah hati mengakui bahwa tidak ada pasangan yang sempurna; tidak ada pula perkawinan yang sempurna; dan tidak ada keluarga yang sempurna.
Itu sebabnya, dalam janji perkawinan, pasutri saling menyatakan bahwa mereka setia menjadi pasangan satu sama lain dalam untung dan malang, waktu sakit dan sehat. Ketika ada kekurangan suami, itulah situasi “malang” yang semestinya Ibu Novi tetap berjuang setia sebagai pasangan baginya. Tuhan memberkati.
Roma, 28 Maret 2025
Pastor Postinus Gulö, OSC adalah penulis buku: “Kasus-Kasus Aktual Perkawinan: Tinjauan Hukum dan Pastoral” (Penerbit Kanisius, tahun 2022). Kini, mahasiswa Doktoral Hukum Gereja di Pontificia Universitá Gregoriana, Roma, Italia.