Katolikana.com—Pertanyaan: Apakah kalo suami sudah berzina pernikahan bisa dibatalkan? Agata, Jakarta
Ibu Agata yang baik, terima kasih atas pertanyaan Anda. Pertanyaan semacam ini sudah sering diajukan kepada saya. Jawaban singkat saya: perkawinan yang sah, tidak bisa dan tidak boleh dibatalkan karena suami/istri berzinah.
Dalam Gereja Katolik memang ada “hukum pembatalan perkawinan”. Namun, mesti kita pahami secara benar hukum tersebut.
Pembatalan (anulasi) perkawinan hanya dimungkinkan untuk “perkawinan yang tidak sah sejak semula”. Artinya, sebelum melangsungkan perkawinan, ada hal-hal yang membuat perkawinan tidak sah. Jika perkawinan sah, maka tidak bisa dibatalkan atau tidak bisa dianulasi.
Kesimpulan ini tentu punya dasar, sebagai berikut: Pertama, Kitab Hukum Kanonik (KHK) atau Hukum Gereja Katolik.
Gereja Katolik menegaskan bahwa sekali perkawinan dilangsungkan secara sah dan disempurnakan dengan persetubuhan, tidak dapat diputus oleh kuasa manusia manapun dan atas alasan apa pun selain oleh kematian (bdk. KHK Kanon 1141).
Sebab, perkawinan merupakan perjanjian antara seorang pria dan seorang perempuan untuk membentuk persekutuan seluruh hidup yang bertujuan demi kebaikan suami-istri, keterarahan pada kelahiran anak dan pendidikan anak secara Katolik (bdk. KHK Kanon 1055 §1).
Perkawinan Katolik bersifat unitas (monogami) dan indissolubilitas (tidak dapat diputuskan/tidak dapat diceraikan). Perkawinan antara mereka yang dibaptis selain bersifat unitas dan indissolubilitas, juga bersifat sakramental, hanya kematian yang memisahkan keduanya (bdk. KHK Kanon 1055 §2; Kanon 1056).
Kedua, Kitab Suci. Ajaran Gereja Katolik tentang perkawinan yang dipaparkan dalam Kitab Hukum Kanonik sebenarnya hanya mengulang apa yang sudah disabdakan oleh Tuhan Allah dalam Kitab Suci. Dalam Kitab Perjanjian Lama, Allah sangat jelas melarang perceraian (bdk. Maleakhi 2: 16).
Tuhan Yesus dalam Injil pun melarang perceraian. Misalnya, Injil Matius 19: 5-6: “Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” (baca juga Injil Markus 10: 7-9).
Ajaran Sesat Pembenaran Perceraian karena Perzinahan
Kendati dalam Kitab Suci sudah sangat jelas bahwa Tuhan Allah melarang percerian, tetapi ternyata masih ada beberapa yang mengaku pengikut Kristus yang menafsirkan secara tidak benar Injil Matius 19: 9 (dan Matius 5: 32): “Barangsiapa menceraikan isterinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah.”
Dari ayat ini, lalu mereka menyimpulkan: Tuhan Yesus sendiri memperbolehkan perceraian jika pasangan melakukan zinah. Tafsiran mereka bahwa Yesus memperbolehkan perceraian karena zinah, sudah tersebar luas di media sosial. Akibatnya, ada umat Katolik yang meyakini tafsiran yang salah tersebut.
Apakah benar bahwa Yesus memperbolehkan perceraian? Apakah Matius 19: 9 dapat ditafsirkan bahwa Yesus memberi pengecualian bahwa jika terbukti berzinah lalu boleh bercerai?
Tentu, tafsiran itu tidaklah benar, dengan minimal dua alasan, sebagai berikut:
Pertama, “kalimat ‘kecuali karena zinah’ dalam Injil Matius 19: 9, tidak dicatat dalam Injil Sinoptik lainnya, yakni dalam Injil Markus 10: 1-12 dan Injil Lukas 16: 18. Jadi, jika dalam Matius 19: 9 itu muncul kalimat “kecuali karena zinah”, pasti ada maksud lain.
Dan maksud itu bukan memperbolehkan perceraian dan bukan juga bertujuan memberikan celah atau alasan untuk melakukan perceraian dalam perkawinan yang sah.
Kesimpulan ini, bisa kita baca dari tafsiran salah seorang ahli Kitab Suci dan imam Katolik bernama R.P. Francis Bruce Vawter, CM, dalam tulisannya: “Divorce and the New Testament”, dalam The Catholic Biblical Quarterly, vol. 39/4 (1997), 528-542.
Kedua, memahami istilah “zinah” yang muncul dua kali dalam Matius 19: 9 (terjemahan Bahasa Indonesia). Para ahli tafsir Kitab Suci dari kalangan terpelajar Katolik meyakinkan kita bahwa Yesus tidak pernah memperbolehkan perceraian dalam perkawinan yang sah dan sakramental berdasarkan Injil Matius 19: 9.
Salah seorang ahli tafsir Kitab Suci yang patut kita rujuk adalah Joseph Bonsirven, SJ, dengan judul buku: “Le divorce dans le Nouveau Testament” (Perceraian dalam Perjanjian Baru). Buku berbahasa Prancis tersebut diterbitkan pada tahun 1948.
Menurut Bonsirven, dalam kalimat “kecuali karena zinah”, Matius tidak memakai kata Yunani “moicheia,” yang berarti perzinahan. Dalam kalimat itu, Matius memakai kata Yunani “porneia,” yang berarti hubungan seksual yang tidak sah (sexual immorality atau fornication).
Terjemahan kata “porneia” yang lebih tepat bukan zinah tapi cabul (percabulan). Percabulan berarti persetubuhan yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak terikat dengan perkawinan sah. Oleh karena itu, hubungan seksual yang dilakukan oleh mereka yang hanya kumpul kebo disebut “porneia” (berbuat cabul) atau melakukan hubungan seksual dalam prostitusi.
Sementara dalam kalimat “lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah”, Matius memakai kata “moicheia” (moichatai) yang diartikan “zinah” dan bukan “percabulan”. Perzinahan (moicheia) merupakan hubungan seksual yang dilakukan oleh pria atau wanita yang sudah menikah sah, dengan orang lain.
Yesus melarang perceraian dalam perkawinan yang sah, kendati di antara pasangan melakukan perzinahan (moicheia). Jadi, orang yang sudah menikah sah tetapi melakukan perselingkuhan dan persetubuhan, tetap tidak bisa menjadi alasan perceraian.
Kesimpulan
Jadi, Matius 19: 9 tersebut justru membedakan “perkawinan yang sah” dan “kumpul kebo” (kokubinat). Hubungan seksual yang dilakukan oleh mereka yang hanya “kumpul kebo” disebut “porneia” (percabulan).
Mereka ini tentu bisa dipisahkan karena memang tidak ada ikatan perkawinan yang sah di antara mereka. Namun, jika seorang pria dan wanita telah kawin sah, maka ikatan perkawinan itu tidak dapat dipisahkan (tak terceraikan), kendati salah satu atau keduanya melakukan perzinahan (moicheia).
Berdasarkan penafsiran Kitab Suci yang benar ini, maka Gereja Katolik terus konsisten mengajarkan bahwa perkawinan yang sah dan sakramental, tidak dapat diputuskan atau tak terceraikan, bahkan jika salah satu pihak berbuat dosa perzinahan (moicheia).
Seperti yang dikatakan dalam Matius 19:6, “Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” (*)
Pastor Postinus Gulö, OSC adalah penulis buku: “Kasus-Kasus Aktual Perkawinan: Tinjauan Hukum dan Pastoral” (Penerbit Kanisius, tahun 2022). Kini, mahasiswa Doktoral Hukum Gereja di Pontificia Universitá Gregoriana, Roma, Italia.