Flores, Inilah Ibumu!

Kontekstualisasi Sabda Yesus dari Salib sebagai Mandat Ekologis untuk Merawat Bumi

Oleh Yovendi Mali Koli

Katolikana.com—Pada Jumat Agung (18/4/2025), umat Katolik Paroki Santo Yohanes Pembaptis Wolosambi di Kabupaten Nagekeo, Flores, mempersembahkan sebuah tablo penyaliban Yesus yang unik dan menggugah.

Tablo ini tidak hanya merefleksikan kisah sengsara Yesus secara liturgis, tetapi juga mengusung tema ekologis yang sangat kontekstual dengan kondisi lingkungan hidup Flores hari ini.

Di tengah bentangan bukit, hutan, dan ladang yang kini terancam eksploitasi energi panas bumi, umat menelusuri jalan salib Yesus sambil mengingat sabda-Nya yang menggetarkan: “Inilah ibumu!”

Sabda ini, yang dalam Injil Yohanes disampaikan Yesus dari atas salib kepada murid yang dikasihi-Nya, telah lama dimaknai sebagai bentuk kasih-Nya yang terakhir kepada Maria.

Namun, dalam terang Laudato Si’, ensiklik Paus Fransiskus tentang ekologi integral, sabda ini dapat dibaca lebih dalam: Maria, sang ibu, menjadi representasi dari bumi—rumah bersama yang memberi kehidupan, menopang, merawat, dan pada akhirnya menerima kita kembali dalam kematian.

Maka, ketika Yesus bersabda “Inilah ibumu!”, Ia bukan hanya menitipkan Maria kepada murid-Nya, tetapi juga menyerahkan bumi kepada kita semua untuk dijaga dan dikasihi.

Bumi Flores yang Terluka

Flores hari ini berdiri di persimpangan jalan antara kelestarian alam dan ambisi pembangunan. Kekayaan panas buminya, yang berasal dari gunung-gunung berapi aktif yang membentang dari ujung timur ke barat, menjadikan pulau ini sebagai ladang subur bagi proyek pembangkit listrik tenaga panas bumi (geothermal).

Pemerintah pusat mencanangkan Flores sebagai “Pulau Geothermal”, dengan alasan mendukung kemandirian energi nasional dan transisi energi hijau.

Namun di balik jargon “energi bersih”, tersembunyi luka ekologis yang nyata. Di banyak lokasi seperti Ulumbu dan Poco Leok, pembangunan geothermal telah memicu dampak serius: suhu lokal meningkat, air tanah surut, hasil pertanian menurun drastis, dan rumah-rumah penduduk mulai retak karena aktivitas pengeboran.

Rakyat kecil kehilangan tanah, hutan, dan sumber air yang selama ini menjadi tumpuan hidup mereka.

Dalam banyak kasus, proyek ini dijalankan tanpa konsultasi memadai, menyingkirkan masyarakat adat, dan bahkan menggunakan kekuatan koersif terhadap warga yang menolak.

Ironisnya, pembangunan ini dijustifikasi atas nama kemajuan, padahal dampaknya menyingkirkan dan mengorbankan masyarakat lokal.

Seperti tubuh Yesus yang disesah, dicambuk, dan digantung di salib, tubuh bumi Flores pun tengah dilukai oleh tangan-tangan yang tak mengenal belas kasih.

Jalan Salib di Tengah Proyek Eksploitasi

Tablo Jalan Salib yang dipentaskan umat Paroki Wolosambi menjadi sebuah kritik profetik. Umat tidak berjalan di dalam gereja, tetapi menapaki jalur perbukitan, hutan dan kebun—alam yang kini terancam.

Di sepanjang rute, mereka membentangkan spanduk-spanduk dengan pesan penolakan terhadap proyek geothermal yang eksploitatif.

Di setiap perhentian salib, Yesus bukan hanya memikul salib dosa umat manusia, tetapi juga memikul luka-luka bumi yang tercabik akibat kerakusan.

Di akhir perarakan, saat Yesus digambarkan tergantung di kayu salib, umat mendengar sabda-Nya: “Inilah ibumu!” —sebuah pesan yang menggema lebih keras dari sebelumnya.

Bagi masyarakat Flores, pesan ini menjadi mandat untuk mencintai tanah kelahiran mereka bukan hanya sebagai sumber daya, tetapi sebagai ibu yang layak dihormati, dirawat, dan dibela.

Ekologi Sebagai Spiritualitas Inkarnasional

Dalam Gereja Katolik, teologi ekologis tidak berhenti pada aspek moral dan etis, tetapi menukik hingga spiritualitas. Mencintai bumi berarti menghayati iman yang inkarnasional: bahwa Allah sungguh hadir dalam ciptaan.

Tubuh manusia berasal dari tanah, dan dalam sakramen Ekaristi pun kita menerima tubuh Kristus dalam unsur bumi—roti dan anggur.

Paus Fransiskus dalam Laudato Si’ menekankan bahwa bumi bukan “sumber daya” yang bisa dipakai sesuka hati, tetapi “saudari” dan “ibu” yang melahirkan dan menopang kehidupan.

Ketika bumi dilukai, kita pun terluka. Ketika bumi kehilangan kesuburannya, kita kehilangan masa depan.

Maka, dalam konteks Flores, proyek geothermal yang tidak disertai dengan pertimbangan etis dan keberpihakan pada masyarakat adat adalah bentuk penghianatan terhadap sabda Yesus sendiri.

Menolak Pembangunan yang Tidak Berhati

Tentu saja, umat Flores tidak menolak pembangunan. Mereka hanya menolak pembangunan yang membabi buta, pragmatis, dan tanpa hati. Pembangunan yang menafikan keadilan ekologis dan sosial adalah pembangunan yang cacat moral.

Proyek besar seperti geothermal hanya akan layak dijalankan jika ia berakar pada dialog yang mendalam dengan masyarakat, riset ekologis yang jujur, dan partisipasi sejati dari komunitas lokal.

Sayangnya, di Indonesia, banyak proyek dijalankan dengan semangat industrialisme yang dingin. Kajian AMDAL menjadi formalitas, suara warga dibungkam, dan kerusakan alam dijadikan “resiko yang wajar”.

Dalam sistem seperti ini, bumi menjadi korban, dan warga kecil menjadi martirnya. Sama seperti Yesus yang disalibkan karena kritik-Nya terhadap tatanan sosial-politik yang timpang, masyarakat adat hari ini pun disalibkan oleh sistem yang menuhankan profit.

Persoalan Ekologi sebagai Persoalan Keluarga

Sabda Yesus di atas salib bukan hanya liturgi. “Inilah ibumu!” adalah undangan konkret untuk menjadikan persoalan ekologis sebagai urusan keluarga kita.

Ia bukan urusan aktivis, ilmuwan, atau pemerintah semata, tetapi panggilan semua orang beriman. Kita tidak sedang berbicara tentang tanah yang jauh, tapi tentang halaman rumah kita sendiri, tentang masa depan anak-anak kita, tentang iman yang hidup.

Yesus mempercayakan Maria kepada murid-Nya bukan sekadar simbol kasih, tetapi mandat untuk merawat yang paling rentan. Maka, mari kita rawat bumi seperti kita merawat ibu sendiri—dengan hormat, kasih, dan kesetiaan. Flores adalah ibu kita. Jangan biarkan ia menangis sendirian di kaki salib kapitalisme.

Selamat Hari Raya Paskah. Semoga kebangkitan Kristus juga membangkitkan kesadaran ekologis kita semua. Sebab tak mungkin kita mengaku mencintai Sang Pencipta, jika kita mengkhianati ciptaan-Nya. (*)

Penulis: Yovendi Mali Koli, mahasiswa Teologi Universitas Sanata Dharma, aktif dalam advokasi sosial-ekologis dan pendampingan masyarakat adat di Flores.

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

FloresLaudato siTablo
Comments (0)
Add Comment