Oleh Susy Haryawan
Katolikana.com—Bayangkan sebuah negeri di mana foto-foto pejabat tak lagi mendominasi dinding-dinding kantor, digantikan oleh potret anak, istri, atau orang tua mereka.
Bayangkan para birokrat memandang wajah orang yang mereka cintai sebelum menandatangani sebuah dokumen, mengambil keputusan, atau—lebih jauh lagi—menyelewengkan anggaran.
Gagasan ini bukan fiksi moral, melainkan kebijakan nyata dari Presiden Senegal, Bassirou Diomaye Faye, presiden termuda yang kini menyedot perhatian dunia bukan karena retorika bombastis, tetapi karena standar etika yang menyentuh akar nurani manusia.
Ingatlah Keluargamu
Dalam sebuah podcast bersama Andy F. Noya, kebijakan ini dibahas sebagai pendekatan moral yang sederhana namun revolusioner: membangun integritas dari ruang terdalam manusia—keluarga.
Diomaye tidak memaksa moralitas lewat ancaman hukum semata, melainkan menanamkan pengingat personal dan emosional: “Ingatlah keluargamu sebelum berbuat salah.”
Pesan ini, bila dipahami secara lebih dalam, bukan hanya ajakan untuk menghindari korupsi, tetapi undangan untuk merawat harkat kemanusiaan pejabat publik.
Gagasan ini begitu relevan dengan wajah Indonesia hari ini. Di tengah derasnya kasus korupsi yang menyeret tokoh dari berbagai latar belakang, termasuk tokoh Katolik, muncul pertanyaan mendasar: mengapa iman tidak selalu menjamin integritas?
Ecclesia Domestica
Gereja Katolik memiliki sebuah ajaran mendalam yang dikenal sebagai Ecclesia Domestica—Gereja mini yang hidup dalam keluarga. Konsep ini menegaskan bahwa keluarga adalah fondasi Gereja, tempat pertama di mana nilai-nilai iman, kasih, dan kejujuran ditanamkan.
Namun, ketika rumah tangga justru menjadi ladang subur bagi semangat hedonistik dan konsumerisme, maka jangan heran jika iman tak mampu mengakar kuat. Anak-anak yang tumbuh dalam atmosfer “tampilan adalah segalanya” akan menginternalisasi bahwa pencitraan lebih penting dari kejujuran.
Andy F. Noya menyentuh poin penting: keluarga bisa menjadi benteng integritas, namun juga bisa menjadi penyokong perilaku korup. Ketika gaya hidup yang diidamkan tidak sebanding dengan gaji yang dimiliki, korupsi pun tampak seperti jalan keluar yang “masuk akal.”
Maka, pertarungan melawan korupsi sejatinya bukan hanya soal regulasi dan penegakan hukum, tetapi juga perihal pembentukan karakter—dan karakter dibentuk, pertama-tama, di dalam rumah.
Dalam konteks ini, keluarga Katolik memikul tanggung jawab moral yang besar. Iman Katolik tidak hanya berbicara tentang ritual dan doa, tetapi juga hidup yang utuh dan menyatu antara keyakinan dan tindakan.
Maka, ketika ada pejabat publik Katolik yang terjerat kasus korupsi, itu bukan hanya persoalan individu, melainkan juga cermin kegagalan kolektif kita dalam menghadirkan iman yang berbuah dalam kehidupan publik.
Sayangnya, terlalu sering kita menyederhanakan persoalan dengan dalih klasik: “Itu bukan salah agamanya, tapi orangnya.”
Padahal, jika agama hanya menjadi pelengkap administratif dalam kartu identitas, tanpa pengaruh nyata dalam perilaku sosial dan politik, maka kita sedang menjalani iman yang tumpul dan kehilangan daya transformatifnya.
Momen Paskah, yang baru saja kita rayakan, menawarkan narasi spiritual yang kuat: pengorbanan, kebangkitan, dan pengharapan. Pantang dan puasa bukanlah diet rohani semata, tetapi latihan konkret untuk hidup secukupnya.
Doa Bapa Kami
Dalam doa Bapa Kami, Yesus mengajarkan kita memohon, “berilah kami rezeki pada hari ini,” bukan untuk menumpuk harta tujuh turunan. Itulah spiritualitas cukup—ugahari—yang hari ini makin langka di tengah budaya konsumsi yang melampaui batas.
Bayangkan jika keluarga Katolik sungguh-sungguh menjalani hidup sederhana, jujur, dan penuh kasih. Jika setiap rumah tangga menjadi tempat pembibitan integritas, lalu menciptakan pejabat yang tidak hanya pintar tetapi juga rendah hati.
Dalam konteks ini, Ecclesia Domestica bukan jargon liturgis, melainkan strategi kultural untuk menyelamatkan bangsa dari krisis moral yang akut.
Mulai dari Lingkup Kecil
Perubahan besar selalu dimulai dari lingkup yang kecil—dari ruang makan, dari doa malam bersama, dari obrolan jujur tentang uang, kekuasaan, dan tanggung jawab. Seperti gerakan bola salju, praktik-praktik baik yang dimulai dari rumah dapat menggulung menjadi kebiasaan kolektif yang menyehatkan bangsa.
Gereja Katolik dipanggil untuk menjadi garam dan terang. Dan garam itu pertama-tama ditaburkan dalam keluarga. Jika rumah-rumah Katolik bisa menjadi ruang etika dan kasih yang hidup, maka bangsa ini pun akan mencicipi rasa kebaikan yang sejati.
Mungkin Indonesia belum seperti Senegal. Tapi siapa tahu, dari ruang-ruang keluarga Katolik yang kecil dan tersembunyi, akan lahir Diomaye-Diomaye baru. Bukan karena mereka ingin menjadi presiden, tapi karena mereka tahu siapa yang paling mereka cintai—dan tidak ingin mengecewakannya.
Selamat Paskah. Semoga kebangkitan Kristus juga menjadi kebangkitan etika publik kita. Mari mulai dari rumah. (*)
Penulis: Susy Haryawan, bukan siapa-siapa.
Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.