Oleh Muhammad Azra Azzahiri
Katolikana.com—Langit Roma tampak lebih muram dari biasanya pada pagi itu. Angin menyapu halaman Basilika Santo Petrus dengan tenang, seolah enggan menyampaikan berita yang sesungguhnya telah ditunggu dengan doa dan harap, Paus Fransiskus telah wafat.
Dalam usia 88 tahun, pemimpin Gereja Katolik yang dikenal karena kelembutan hatinya itu menghembuskan napas terakhirnya di kediaman sederhana, Domus Sanctae Marthae, Vatikan.
Setelah melewati masa kritis akibat serangan stroke yang membawanya pada koma, ia akhirnya menyerah pada kegagalan jantung. Dunia terdiam. Umat Katolik, para pemimpin dunia, dan orang-orang kecil yang pernah disentuh hidupnya serentak merasa kehilangan.
“Terima kasih.” Dua kata itu menjadi warisan terakhirnya yang terdengar di bumi. Diucapkan pelan kepada asistennya, Massimiliano Strappetti, hanya beberapa jam sebelum beliau tak sadarkan diri.
Kata sederhana yang seolah menjadi simpul dari seluruh perjalanan hidupnya; terima kasih atas hidup, atas cinta, atas penderitaan, atas Gereja, dan atas dunia yang begitu sering ia bela dengan suara yang lembut tapi teguh.
Kematian itu datang tanpa teriakan. Tak ada drama. Hanya keheningan yang diisi dengan doa dan bisikan cinta dari orang-orang terdekat. Sebuah akhir yang pantas untuk seorang paus yang memilih berjalan di antara yang miskin, memeluk yang terluka, dan mendengarkan yang tak bersuara.
Sabtu, 26 April 2025. Hari ketika ratusan ribu orang memadati Lapangan Santo Petrus. Tak hanya umat Katolik, tapi juga pemimpin lintas agama, tokoh dunia, dan para imigran yang dulu pernah disentuh tangannya.
Tidak ada kemegahan yang berlebihan. Sesuai wasiatnya, pemakaman dilangsungkan secara sederhana. Peti jenazah Paus Fransiskus, diiringi popemobile, melewati jalanan kota Roma yang senyap. Tak ada karangan bunga mewah, tak ada taburan kemegahan Vatikan.
Ia dimakamkan di Basilika Santa Maria Maggiore, tempat ia biasa berdoa diam-diam, jauh dari sorot kamera, jauh dari hiruk-pikuk dunia.
Di atas makamnya, hanya sehelai mawar putih. Diam. Sederhana. Namun justru dari keheningan itu, seluruh dunia diajak mengenang: seorang pemimpin tak harus bersuara keras untuk mengguncang hati manusia.
Warisan yang Tidak Selesai
Paus Fransiskus tak pernah berusaha menjadi sempurna. Ia memilih menjadi gembala-menggembala, bukan menghakimi. Ia mencium penderita kusta, memeluk pengungsi, berdiri bersama mereka yang tertindas. Ia memaksa Gereja membuka jendela kepada dunia, bukan sekadar mengunci diri dalam liturgi.
Namun, warisan kemanusiaan itu tak luput dari bayang-bayang luka. Para penyintas kekerasan seksual dalam Gereja menyuarakan harapan yang belum tercapai.
“Kami belum mendapat keadilan,” ujar seorang korban dalam laporan media sesudah pemakaman.
Kritik itu tidak menghapus jasa Paus Fransiskus, tetapi menjadi pengingat bahwa cinta sejati menuntut keberanian untuk melanjutkan perjuangan, bahkan setelah sang pemimpin telah pergi.
Ia pernah berkata, “Gereja harus menjadi rumah sakit lapangan.” Dan benar, selama masa kepausannya, Vatikan tak lagi berdiri tinggi di menara, tapi turun ke jalan. Ia mengubah wajah Gereja menjadi lebih manusiawi, walau belum sepenuhnya sempurna.
Pesan Terakhir untuk Mereka yang Mau Mendengar
Beberapa hari setelah wafatnya, Vatikan merilis video terakhir Paus Fransiskus. Kepada generasi muda, ia berpesan:
“Belajarlah mendengarkan. Dunia tidak berubah karena banyak yang berbicara, tapi karena ada yang sungguh mendengar.”
Itu bukan hanya kalimat perpisahan. Itu warisan. Suatu prinsip hidup yang selama ini ia jalani; mendengarkan sebelum menilai, mengasihi sebelum mengoreksi.
Pesan itu menyentuh banyak orang. Seorang mahasiswa di Nairobi, seorang suster di Krakow, seorang pemulung di Rio de Janeiro; semua merasa ditinggalkan, tapi tidak kehilangan arah.
Karena suara Paus Fransiskus tidak berakhir saat nafasnya terhenti. Suaranya hidup dalam hati mereka yang mau membuka telinga dan mata untuk dunia yang terluka.
Dalam Sunyi, Ia Tetap Hadir
Kini, dunia memang terasa lebih sunyi. Tidak ada lagi senyum lembut di balkon Vatikan. Tidak ada lagi cuitan berbahasa sederhana dari akun resminya.
Tapi dalam kesunyian itu, ada gema yang tak henti, gema keberanian untuk mengasihi tanpa syarat, untuk merangkul tanpa memandang dosa, dan untuk hidup dalam kesederhanaan yang membawa damai. Paus Fransiskus memang telah pergi. Tapi warisannya masih berjalan. (*)
Penulis: Muhammad Azra Azzahiri, mahasiswa Pendidikan Sejarah yang fokus bergerak di bidang kemanusiaan dan lingkungan. Founder komunitas Ayo Berdampak yang konsern pada isu lingkungan dan sosial.
Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.