Live In atau Barak Militer: Dua Jalan Menuju Pendidikan Karakter

Mendidik dengan Kesadaran, Bukan Tekanan

Oleh Juster Donal Sinaga

Katolikana.com—Ketika Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi mengusulkan program pembinaan berbasis militer bagi remaja bermasalah, banyak pihak menyambutnya sebagai solusi cepat atas keresahan sosial yang makin menguat.

Tawuran, perundungan, geng motor, konsumsi minuman keras dan narkoba, kecanduan game dan internet, hingga ekspresi gender dianggap sebagai indikator kegagalan sistem pendidikan dalam membentuk karakter generasi muda.

Solusinya? Memisahkan mereka dari lingkungan sosial dan menempatkan mereka di barak militer. Disiplin dan aturan ketat dijadikan andalan untuk membentuk kepatuhan.

Namun pertanyaannya: apakah karakter bisa dicetak seperti prajurit? Apakah kepatuhan yang muncul dari tekanan adalah bentuk perubahan sejati? Jika pendidikan dimaknai sebagai pembentukan manusia secara utuh, pendekatan militeristik patut dikritisi.

Dari perspektif psikologi, pendekatan ini terlalu behavioristik. B.F. Skinner, pelopor teori behaviorisme, memang percaya bahwa perilaku bisa dibentuk lewat sistem reward dan punishment. Tapi dalam konteks perkembangan karakter, pendekatan ini hanya efektif di permukaan.

Lawrence Kohlberg dalam teori perkembangan moral menunjukkan bahwa kepatuhan yang lahir karena takut hukuman atau ingin diterima hanyalah level moralitas konvensional—belum menyentuh kesadaran etis sejati.

Amerika Serikat telah mencoba model seperti ini melalui juvenile boot camps sejak 1985. Hasilnya? National Institute of Justice (1996) menyatakan bahwa meskipun tampak efektif selama pelatihan, banyak remaja kembali pada perilaku lama setelah keluar dari sistem.

Di Tiongkok, program serupa untuk remaja kecanduan internet juga menuai kritik. Kasus di Yuzhang Academy yang menyebabkan kekerasan dan trauma psikologis adalah contoh nyata bahwa pendekatan militer tidak bebas risiko.

Seorang pelajar SMA yang sedang live in di keluarga pemulung di Jakarta. Ilustrasi: AI

Pendidikan Humanis dan Program Live In

Berbeda dengan pendekatan militeristik, banyak sekolah Katolik menawarkan alternatif pendidikan karakter yang lebih manusiawi.

Salah satu metode yang menonjol adalah program live in—program tinggal bersama masyarakat akar rumput yang mengalami kesulitan ekonomi dan sosial. Tujuannya bukan untuk menakut-nakuti, tapi membangun kesadaran lewat pengalaman langsung, refleksi, dan pendampingan.

Program live in menekankan pembelajaran melalui pengalaman. Siswa diajak menyaksikan bagaimana hidup dijalani dengan kerja keras, solidaritas, dan keterbatasan.

Dalam suasana ini, nilai-nilai seperti empati, tanggung jawab, dan penghargaan terhadap sesama tumbuh dari dalam. Bukan karena takut dihukum, tetapi karena menyadari bahwa hidup bukan hanya tentang diri sendiri.

Perbedaan utama dengan pendekatan militer adalah pada proses internalisasi. Di sekolah Katolik, perubahan tidak datang dari perintah, melainkan dari pemahaman.

Remaja diajak berdialog, merefleksikan pengalaman, dan didampingi secara psikososial agar pertumbuhan karakter berjalan berkelanjutan. Seperti dikatakan Romo Nicolaus Driyarkara, SJ: “Pendidikan adalah upaya memanusiakan manusia.”

Gubernur Jabar Dedi Mulyadi berbincang dengan siswa saat program pendidikan karakter dan kedisiplinan di Dodik Bela Negara Rindam III Siliwangi, Bandung, Jawa Barat. Foto Tim Media KDM

Mendidik dengan Kesadaran, Bukan Tekanan

Program berbasis disiplin militer mungkin menjanjikan perubahan cepat, tetapi bersifat semu dan sementara. Sementara itu, pendekatan humanistik, meskipun lambat, menghasilkan transformasi karakter yang lebih dalam dan bertahan lama.

Jika tujuan kita adalah membentuk manusia, bukan hanya menciptakan ketertiban, maka pendidikan karakter harus membangun kesadaran, bukan sekadar menanamkan kepatuhan. Sistem pendidikan kita perlu bergerak dari pola hukuman ke ruang pembelajaran reflektif. Dari pengendalian ke penyadaran. Dari barak ke komunitas.

Pendekatan yang telah dijalankan sekolah-sekolah Katolik melalui live in dan pendampingan psikososial adalah bukti bahwa perubahan sejati dimulai dari perjumpaan, bukan pemisahan; dari pengertian, bukan tekanan.

Kita perlu bertanya kembali: apakah kita ingin remaja berubah karena ketakutan, atau karena pemahaman?

Jika jawabannya adalah yang kedua, maka pendidikan kita membutuhkan lebih banyak ruang refleksi, pengalaman konkret, dan pendampingan empatik. Hanya dengan cara inilah pendidikan akan benar-benar memanusiakan manusia. (*)

Penulis: Juster Donal Sinaga, Konselor, tinggal di Yogyakarta

 

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

Comments (0)
Add Comment