Leo XIV: Kala “Predator” Menjadi Gembala, Sebuah Paradoks yang Menggugah

Ia adalah singa, tetapi memilih berjalan bersama domba.
Susy Haryawan (Foto: Dokumentasi pribadi)

Oleh Susy Haryawan

Katolikana.com—Konklaf telah usai. Dunia Katolik kini memiliki Paus baru: Paus Leo XIV, sebelumnya dikenal sebagai Kardinal Robert F. Prevost.

Ia bukan nama yang banyak dijagokan sebelumnya. Seperti kilat yang menyambar dari Timur, kemunculannya mengejutkan dan sekaligus menyampaikan pesan mendalam: bahwa Roh Kudus bekerja melampaui peta politik Vatikan dan spekulasi media.

Ia lahir di Amerika Serikat—simbol kuasa global—namun justru tumbuh sebagai imam dan misionaris di Peru—sebuah negeri dunia ketiga yang jauh dari hiruk-pikuk imperialisme.

Kombinasi darah Spanyol, Prancis, dan Italia memperkaya akar identitasnya. Tapi lebih dari itu, ia memilih jalan sunyi: tinggal bersama kaum migran, memperjuangkan martabat buruh, serta menyuarakan suara mereka yang dibungkam.

Seorang misionaris Ordo Santo Agustinus (OSA), dengan rekam jejak pelayanan di tempat yang sering luput dari perhatian dunia. Seorang Leo—singa—yang justru menggembalakan domba.

Antara Nama dan Paradoks

Nama Leo bukan nama sembarangan. Sudah 14 Paus sebelumnya yang mengusung nama ini. Bandingkan: Fransiskus baru satu. Paulus belum mencapai dua digit. Tapi Leo adalah nama yang menggema dari masa ke masa.

Terakhir, Leo XIII dikenal karena keterbukaannya pada ajaran sosial Gereja dan relasinya dengan dunia modern. Kini, Leo XIV datang di era digital, di mana algoritma menggantikan akal budi, dan kapitalisme menyamar sebagai spiritualitas baru.

Leo—raja rimba. Tapi kali ini, si predator justru memikul tugas sebagai gembala. Sebuah paradoks yang sangat Kristiani. Bukankah kita menyembah Allah yang disalib, bukannya dimahkotai? Bukankah Kristus sendiri, Sang Raja, justru mencuci kaki para murid-Nya di malam sebelum Ia disalibkan?

Paus, seperti Yesus, adalah “servus servorum Dei”—hamba dari para hamba Allah. Inilah kebesaran sejati: bukan yang paling keras bersuara, tapi yang paling setia melayani dalam diam.

Ketika Singa Menuntun Domba

Bayangkan Mzm. 23 dibacakan dengan latar seekor singa yang menggiring domba ke padang yang hijau. Tidak masuk akal. Tidak cocok dengan insting. Tapi inilah logika Injil: kekuatan dibungkus kelembutan, kekuasaan dibingkai pengorbanan.

Dunia modern, yang dirasuki semangat predatorik—mereka yang lemah dimangsa, mereka yang lambat tertinggal—dihadapkan pada sosok Leo XIV: singa yang tidak memangsa, melainkan memelihara.

Paus Leo XIV, dengan rekam jejak pastoral di akar rumput, menjadi jawaban atas krisis kepemimpinan spiritual hari ini. Ia bukan CEO, bukan influencer, bukan bintang media sosial. Ia misionaris. Ia datang dari jalan berdebu dan wajah-wajah kaum tertindas. Dan justru karena itu, ia punya otoritas moral yang kokoh.

Gereja dan Dunia yang Retak

Saat ini, dunia sedang kehilangan arah. Konflik geopolitik, krisis moral, perang identitas, dan polarisasi merajalela. Gereja Katolik pun tidak lepas dari luka internal: skandal pelecehan seksual, clericalism, dan kemunduran partisipasi umat di Barat. Maka kita tak hanya butuh Paus yang karismatik, tapi Paus yang bisa merangkul dunia yang retak—dengan kelembutan sekaligus ketegasan.

Leo XIV lahir dari paradoks ini. Ia adalah bagian dari dunia adikuasa, tetapi lebih memilih hidup di pinggiran. Ia adalah singa, tetapi memilih berjalan bersama domba. Ia berasal dari hiruk-pikuk Chicago, namun menemukan jati diri dalam keheningan Peru.

Dan justru karena itulah, ia dapat berbicara keras namun lembut. Ia dapat memberi arah tanpa menggurui. Ia dapat menyembuhkan tanpa menghakimi.

Sebuah Harapan

Kita belum tahu akan ke mana Leo XIV akan membawa Gereja. Tapi satu hal pasti: dunia membutuhkan Gembala yang tak hanya mampu menggiring domba ke padang hijau, tetapi juga berani menantang singa lain yang kelaparan kekuasaan dan kemegahan.

Leo XIV bukan jawaban semua persoalan Gereja. Tapi ia adalah tanda bahwa Allah masih bekerja. Bahwa konklaf bukan hanya kalkulasi, tetapi juga peristiwa iman. Dan bahwa, dalam dunia yang penuh paradoks ini, seorang “singa” bisa menjadi gembala.

Kini, semua mata tertuju pada jendela balkon Basilika Santo Petrus. Seorang pria berdiri di sana—diam, tenang, membawa nama Leo. Tapi suara yang ia bawa bukan auman, melainkan panggilan: “Ikutlah Aku. Dan gembalakanlah domba-domba-Ku.” (*)

Penulis: Susy Haryawan, bukan siapa-siapa.

 

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

Paus Leo XIV
Comments (2)
Add Comment
  • Antonius Yosef Ratmono

    Menika waosan ingkang sae saestu.
    Saestu sae menika waosan bab Paus enggal.
    Lanjutken! 😮☝🏻👍🏻👍🏻🥓☕👍🏻

    • Susy

      Sae Pater