Pejamkan Mata dari Dunia Digital

Merenungi Ulang Hidup dalam Era Zapping
Melki Deni S.Fil

Oleh Melki Deni, S.Fil.

Katolikana.com—Kita hidup di zaman di mana membuka mata berarti menatap layar, dan menutup mata seringkali berarti kehilangan koneksi.

Kita terhubung tanpa henti, tetapi kehilangan arah. Kita dibanjiri informasi, namun kehilangan kemampuan untuk memahami. Kita tahu segalanya, tetapi tidak mengenal diri sendiri.

Pertanyaannya sederhana namun menantang: beranikah kita keluar sebentar dari media sosial?

Pertanyaan ini mungkin terdengar seperti ajakan nostalgia. Tapi sesungguhnya, ia adalah seruan eksistensial yang sangat kontemporer.

Dunia digital, dengan seluruh kecanggihan dan kecepatan yang ditawarkannya, telah mengubah cara kita hidup, berpikir, dan bahkan mencintai. Namun di tengah gemuruh algoritma dan ledakan konten, kita mesti bertanya ulang: masihkah kita manusia yang mampu merenung, merasa, dan mendengar suara hati?

Dunia Tanpa Jeda

Byung-Chul Han, filsuf asal Korea Selatan yang kini menetap di Jerman, menyebut zaman ini sebagai era kelelahan. Kita kelelahan bukan karena tekanan luar, tetapi karena tuntutan untuk terus terhubung, terus aktif, terus tampil.

Dalam karyanya “El aroma del tiempo”, Han menunjukkan bahwa dunia digital telah menghancurkan “kemampuan menunda.” Kita tak lagi sabar. Kita tak lagi mengenal proses. Yang ada hanya instan: scroll, like, next.

Fenomena ini ia sebut sebagai zapping existence—keberadaan yang berpindah cepat dari satu konten ke konten lain, dari satu kesan ke kesan lain, tanpa kedalaman, tanpa akar.

Kita jadi manusia yang terseret oleh arus kecepatan, tetapi kehilangan orientasi. Kita tahu begitu banyak hal, tapi kehilangan arah eksistensial. Kita punya data tentang Tuhan, tetapi kehilangan kerinduan untuk berjumpa-Nya.

Kapitalisme Digital dan Kematian Kontemplasi

Kapitalisme digital memperparah semuanya. Kecepatan adalah nilai utama. Keheningan dianggap stagnasi. Istirahat dianggap pemborosan. Waktu tak lagi dihayati, tapi dikejar dan dikapitalisasi. Pikiran pun menjadi korban dari sistem ini—didesak untuk bereaksi cepat, tapi tak pernah diberi ruang untuk mendalam.

Han dengan tajam mengatakan bahwa dunia digital adalah musuh dari vita contemplativa—hidup yang dibangun dalam keheningan, refleksi, dan ketekunan.

Pikiran, kata Han, adalah buah dari keheningan. Ia dilahirkan dalam jeda, dibesarkan dalam sunyi, dan matang dalam kesabaran. Tapi apa yang terjadi ketika hidup kita justru dibentuk oleh aliran notifikasi dan ledakan informasi?

Kita menjadi makhluk yang gelisah. Kita tidak tahan terhadap kekosongan. Kita cemas jika tidak ada suara, tidak ada gambar, tidak ada sesuatu untuk disentuh. Dalam kondisi itu, bagaimana kita bisa sungguh-sungguh mendengar suara Allah?

Dari Gadget ke Getaran Jiwa

Hari ini, perhatian kita dikendalikan oleh algoritma. TikTok, Instagram, Facebook—semuanya dirancang bukan untuk memperdalam, tetapi untuk mempertahankan atensi sejenak, lalu segera digantikan dengan konten berikutnya.

Kita berpindah dari satu stimulasi ke stimulasi lain. Kita tidak lagi menikmati keindahan satu wajah, satu kata, satu peristiwa. Kita ingin lebih. Kita ketagihan next.

Inilah tragedi manusia digital: ia kehilangan kemampuan untuk berlama-lama dengan sesuatu yang penting. Ia kehilangan kontak dengan dirinya sendiri.

Ia tak sempat bertanya, “Apa yang sedang aku rasakan? Mengapa aku merasa hampa? Ke mana hidup ini membawaku?” Padahal pertanyaan-pertanyaan itu adalah gerbang menuju kedewasaan spiritual dan eksistensial.

Media sosial menawarkan koneksi, tapi mengaburkan kehadiran. Ia menghubungkan, tapi tidak mempertemukan. Kita berbicara lebih banyak, tetapi mendengarkan lebih sedikit. Kita menunjukkan lebih banyak wajah, tetapi kehilangan wajah sejati kita.

Berhenti, Diam, dan Memikirkan

Di tengah dunia yang semakin gaduh, ajakan untuk “menutup mata” bukanlah sikap anti-teknologi. Ini adalah panggilan untuk kembali menjadi manusia. Mata yang terus terbuka akan selalu melihat ke luar. Mata yang terpejam memungkinkan kita melihat ke dalam.

Menutup mata bukan berarti menyerah. Ia adalah langkah radikal untuk memulihkan kesadaran. Ia memberi jarak. Dan dalam jarak itulah kita bisa membedakan mana yang sejati, mana yang palsu; mana yang hakiki, mana yang manipulatif.

Dalam spiritualitas Kristiani, keheningan bukan sekadar ruang kosong, melainkan tempat perjumpaan dengan Sang Sabda. Allah berbicara dalam keheningan, bukan dalam ledakan notifikasi.

Kitab Suci mengajarkan bahwa Yesus seringkali menarik diri dari keramaian untuk berdoa. Ia tidak mencari suara, melainkan sumber suara. Ia tidak mengejar pengaruh, melainkan perjumpaan.

Apakah kita masih bisa seperti itu?

Kembali ke Keheningan, Menemukan Kembali Diri

Mungkin sudah saatnya kita melakukan puasa digital. Bukan karena teknologi jahat, tetapi karena kita ingin menjaga integritas batin. Bukan karena media sosial buruk, tapi karena kita ingin memberi ruang bagi suara yang lebih dalam.

Mari ambil waktu untuk benar-benar diam. Letakkan ponsel. Pejamkan mata. Dengarkan detak hati. Rasakan nafas. Biarkan pikiran kita menyentuh pertanyaan-pertanyaan mendasar: Siapa saya? Untuk apa saya hidup? Apa yang sungguh-sungguh penting? Apa yang sedang Tuhan katakan dalam keheningan ini?

Menutup mata bukan akhir dari dunia. Ia mungkin awal dari dunia yang lebih utuh. Dunia di mana kita tidak lagi dikuasai oleh likes, tetapi oleh kasih. Dunia di mana kita tidak hidup dalam pencitraan, tetapi dalam kebenaran. Dunia di mana kita kembali menjadi makhluk yang merenung, memuji, dan mencinta.

Pejamkanlah matamu dari dunia digital. Mungkin di sana, dalam gelap yang sunyi itu, cahaya akan kembali menyapa. (*)

Penulis: Melki Deni, S.Fil., Alumni Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero, sedang menempuh studi Teologi di Universidad Pontificia Comillas, Madrid, Spanyol.

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

puasa digitalzapping
Comments (0)
Add Comment