Putri Muslim Sambut Uskup: Potret Toleransi dan Harapan di Paroki Werang

Minggu Panggilan ke-62 di Keuskupan Labuan Bajo

Labuan Bajo, Katolikana.com—Sebuah momen langka dan mengharukan terjadi di Paroki St. Klaus Werang, Keuskupan Labuan Bajo, pada Hari Minggu Panggilan Sedunia ke-62, Minggu (11/5/2025).

Seorang siswi Muslim berhijab, Lidya, tampil dengan penuh percaya diri dalam barisan penyambutan Uskup Labuan Bajo, Mgr. Maksimus Regus. Ia mengalungkan selendang dan memakaikan topi adat Songke kepada Bapa Uskup—simbol penghormatan tertinggi dalam adat Manggarai.

“Saya merasa bangga sekali. Ini momen yang tak akan terulang,” tutur Lidya, siswi kelas X SMAN 2 Sano Nggoang. Dengan mata yang berbinar dan senyum tulus, Lidya menghadirkan wajah Indonesia yang rukun, di mana iman, adat, dan kemanusiaan saling menyapa dalam harmoni.

Pagi itu, pukul 06.30 WITA, rombongan Keuskupan Labuan Bajo yang dipimpin langsung oleh Mgr. Maksimus Regus bertolak menuju Werang.

Turut serta dalam rombongan: Tim Karya Kepausan Indonesia (KKI), para imam, biarawati, serta anak-anak dan remaja SEKAMI dari Paroki Katedral Roh Kudus Labuan Bajo dan Paroki Maria Bunda Segala Bangsa Wae Sambi.

Setelah menempuh perjalanan selama hampir tiga jam, rombongan tiba di perbatasan Paroki Rekas dan Werang dan disambut dengan upacara adat Manggarai. Prosesi kemudian berlanjut menuju gereja dengan iringan barisan warga yang menunggang kuda dan sepeda motor.

Di depan gapura gereja, penyambutan kembali digelar. Di sinilah Lidya, dengan tenang dan hormat, mewakili masyarakat Werang menyambut Uskup dengan penuh kasih dan simbol adat.

Lidya tampil dalam barisan penyambutan Uskup Labuan Bajo, Mgr. Maksimus Regus.

Anak-anak adalah Harapan Gereja

Sekitar 404 anak dan remaja SEKAMI dari tujuh paroki menghadiri Perayaan Ekaristi yang dipimpin oleh Mgr. Maksimus Regus. Mereka berasal dari Paroki Katedral, Wae Sambi, Longgo, Noa, Rekas, Nunang, dan Werang sebagai tuan rumah.

Dalam homilinya, Mgr. Maksi—begitu beliau akrab disapa—menggarisbawahi pentingnya memandang anak-anak bukan sebagai beban, tetapi sebagai benih harapan.

“Anak-anak adalah gambaran Gereja 30 tahun mendatang. Kita tidak bisa membangun Gereja tanpa mereka,” tegasnya.

Ia didampingi oleh “Paus Cilik” dan “Uskup Cilik”, simbol keterlibatan penuh anak-anak dalam misi Gereja. Hadir pula para imam dari berbagai paroki, tokoh masyarakat, serta umat yang memenuhi ruang Gereja.

Selebrasi, Penanaman Pohon, dan Pesan Harapan

Selepas Misa, acara berlanjut dengan pentas seni dan animasi misioner dari anak-anak SEKAMI. Dalam sambutannya, Mgr. Maksi mengajak semua pihak untuk berhenti memandang anak sebagai beban, melainkan sebagai anugerah hidup.

“Mereka bukan masalah. Mereka adalah anugerah yang dipercayakan Tuhan bagi masa depan dunia dan Gereja,” ujarnya tegas.

Sebuah aksi simbolik penanaman pohon dilakukan di halaman pastoran Werang. Yang menanam bukan hanya Bapa Uskup, tetapi juga Direktur KKI, Camat Sano Nggoang, dan perwakilan tokoh Muslim setempat.

Pohon itu bukan sekadar tanaman. Ia adalah akar harapan dan simbol kolaborasi lintas iman yang tumbuh di tanah Manggarai Barat.

Menjelang sore, tiga rombongan SEKAMI dari paroki berbeda melanjutkan perjalanan dengan ziarah ke Gua Maria Wae Lia, Paroki Longgo. Rosario didaraskan, lagu Tahun Yubileum dinyanyikan. Doa dan lagu menjadi penutup hari yang penuh syukur dan berkat, mengikat kebersamaan dalam benang iman dan harapan.

Toleransi, Bukan Slogan

Apa yang terjadi di Werang bukanlah sekadar agenda liturgi atau rutinitas pastoral. Di sana, Gereja benar-benar menjadi ruang terbuka bagi semua, tanpa batas identitas.

Kehadiran Lidya—siswi Muslim—dalam prosesi penyambutan Uskup menjadi simbol konkret toleransi yang bukan basa-basi. Ia adalah perwujudan Pancasila yang hidup. Ia adalah bukti bahwa kasih tak dibatasi tembok gereja atau warna kerudung.

Anak-anak SEKAMI, umat paroki, para imam, dan tokoh masyarakat membentuk mozaik persaudaraan yang tulus. Inilah wajah Gereja masa depan—Gereja yang merangkul, bukan menghakimi; yang merawat, bukan memisahkan.

Paroki Werang telah memberi teladan tentang bagaimana Gereja dan masyarakat bisa berjalan bersama dalam semangat dialog dan persaudaraan. Di tengah dunia yang sering kali terkoyak oleh prasangka, intoleransi, dan kekerasan simbolik, Werang bersaksi bahwa perjumpaan yang tulus bisa menyembuhkan luka-luka sosial kita.

Hari Doa Sedunia untuk Panggilan ke-62 di Werang bukan hanya tentang doa dan panggilan, tetapi juga tentang keberanian untuk merawat Indonesia: dengan kasih, dengan semangat kebersamaan, dan dengan harapan yang tidak lekang oleh perbedaan.

Karena di tangan-tangan kecil seperti Lidya, dan di langkah-langkah kecil anak-anak SEKAMI, benih masa depan tengah ditaburkan. Dan Gereja, bersama masyarakat, bertumbuh di atas tanah kasih yang sejati. (*)

Kontributor: Vinsensius Patno, dari Labuan Bajo

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

Hari Minggu PanggilanSekami
Comments (0)
Add Comment