Oleh Putra Niron
Katolikana.com – Tanggal 13 Mei bukan sekadar tanggal biasa dalam kalender liturgi umat Katolik. Hari itu adalah peringatan Santa Maria dari Fatima, Bunda yang menampakkan diri kepada tiga anak sederhana di sebuah dusun kecil di Portugal, membawa pesan pertobatan, doa, dan perdamaian kepada dunia.
Bagi umat Paroki St. Maria Fatima Betun, Kabupaten Malaka, NTT, tanggal ini memiliki makna ganda: ia adalah pesta pelindung paroki, sekaligus momen untuk melihat kembali wajah Gereja lokal—seberapa dalam iman hidup, seberapa jauh doa dijadikan aksi.
Namun sayangnya, seperti yang jamak terjadi di banyak tempat, pesta pelindung yang seharusnya menjadi puncak rohani komunitas terkadang berubah menjadi rutinitas formal belaka.
Misa dilaksanakan, petugas liturgi tampil, panitia sibuk menyusun acara. Tapi setelah itu, semuanya kembali seperti semula. Pertanyaannya: apakah kita sungguh hidup dalam terang Santa Maria Fatima? Ataukah kita hanya merayakan namanya tanpa menghayati pesannya?
Mengapa Maria dari Fatima?
Pemilihan Santa Maria Fatima sebagai pelindung paroki Betun tentu bukan kebetulan. Ia bukan hanya simbol dari devosi yang populer, tetapi juga pengingat keras tentang pertobatan sejati.
Pesan Maria di Fatima tidak romantik, tetapi profetik: dunia sedang berada dalam krisis moral dan spiritual, dan hanya melalui doa, tobat, dan pengorbanan diri dunia bisa diselamatkan.
Maria mengundang umat untuk mendaraskan Rosario, bukan sebagai rutinitas repetitif, melainkan sebagai doa kontemplatif yang mengubah hati. Ia mengajak kita untuk berdamai dengan Tuhan, sesama, dan ciptaan.
Pesan itu, yang disampaikan pada 1917, tetap relevan di tahun 2025. Dunia masih dipenuhi peperangan, luka batin, ketidakadilan, dan kemiskinan spiritual. Maka perayaan Pesta Pelindung bukan sekadar seremoni religius, tetapi peringatan akan misi profetik paroki ini: menjadi komunitas yang berani hidup dalam doa dan aksi kasih.
Dari Devosi Menuju Partisipasi
Pesta pelindung bukanlah panggung untuk kaum rohaniwan semata. Ini adalah kesempatan bagi seluruh umat untuk memperbarui panggilan mereka sebagai tubuh Gereja. Pertanyaannya: sejauh mana umat Betun—baik tua maupun muda—merasakan bahwa pesta ini milik mereka?
Umat dipanggil untuk tidak hanya hadir, tetapi juga terlibat: dalam novena, dalam pelayanan, dalam kegiatan sosial, dalam pertobatan pribadi. Apalah arti pesta pelindung jika itu tidak menyentuh kehidupan nyata? Jika Rosario tidak menuntun kita untuk lebih sabar di rumah? Jika Ekaristi tidak menginspirasi kita untuk lebih jujur di pasar atau kantor?
Perayaan iman sejati terjadi di luar gereja—di dapur, di ladang, di ruang kelas, dan di media sosial. Itulah panggung sejati pewartaan.
Dari Perayaan Menuju Pembaruan
Namun umat tidak bisa berjalan sendiri. Pimpinan paroki—pastor, dewan pastoral, dan para pemimpin komunitas basis—harus menjadi penggerak dan penjaga semangat rohani. Pesta pelindung tidak boleh direduksi menjadi agenda administrasi. Ia harus dirancang sebagai momentum transformasi.
Bagaimana caranya?
- Mendahului dengan persiapan rohani: Novena, retret singkat, malam pujian atau adorasi dapat menjadi ruang persiapan batin yang membangkitkan semangat umat.
- Melibatkan semua lapisan umat: Bukan hanya kelompok liturgi yang aktif, tapi juga OMK, ibu-ibu, bapak-bapak, dan bahkan anak-anak. Perayaan ini akan semakin hidup jika seluruh tubuh paroki ikut berdenyut bersama.
- Menghubungkan liturgi dan aksi sosial: Pesta Maria Fatima bukan hanya soal keindahan misa, tetapi juga panggilan konkret untuk bertobat. Bentukkan itu dalam aksi: kunjungan ke orang sakit, kampanye lingkungan, penggalangan dana untuk siswa miskin, atau pelayanan lintas iman.
- Merancang program kontekstual untuk generasi muda: Devosi Maria Fatima harus dijelaskan dengan bahasa yang dipahami generasi digital. Workshop, diskusi film, seni dan musik rohani bisa menjadi media pewartaan yang efektif.
- Menggali pesan Fatima dalam terang konteks lokal: Apa arti pertobatan bagi orang Betun hari ini? Bagaimana pesan damai dan doa Maria di Fatima bisa menjadi solusi di tengah konflik sosial, ekonomi, atau budaya yang dialami umat? Pesta ini harus menjawab realitas.
Sebuah Ajakan Bersama
Perayaan ini menuntut keterlibatan bersama—baik dari umat maupun pimpinan paroki.
Kita tidak bisa hanya berharap suasana pesta pelindung berubah dari tahun ke tahun jika umat tidak berubah dari pasif menjadi partisipatif, dan jika pimpinan paroki tidak berubah dari sekadar penyelenggara acara menjadi inspirator iman.
Pesta pelindung Santa Maria Fatima Betun adalah panggilan ganda: untuk berlutut dalam doa dan bangkit dalam pelayanan. Untuk mendaraskan Rosario dengan khusyuk, lalu merangkul orang yang tertolak. Untuk mengenang Maria, tapi juga meneladaninya. Dan untuk bersatu sebagai komunitas iman yang hidup, bukan sekadar komunitas yang hadir saat misa.
Jika pesta ini hanya menghasilkan dekorasi, tapi tidak membentuk pertobatan, kita sedang kehilangan intinya. Tetapi jika perayaan ini memunculkan gerakan cinta, doa yang setia, dan kesaksian hidup yang nyata—maka Santa Maria Fatima sungguh hadir di tengah kita.
Dengan semangat kolaboratif ini, semoga perayaan Pesta Pelindung Santa Maria Fatima, khususnya di Paroki Betun, menjadi momentum yang menggugah dan memperbarui iman—mendorong umat untuk lebih setia dalam doa, lebih peduli terhadap sesama, dan lebih berani menapaki hidup dalam terang kehendak Tuhan.
Semoga Paroki Betun tidak hanya dikenal karena namanya yang indah, tetapi karena semangatnya yang membara: dari doa menuju aksi, dari Rosario menuju misi. (*)
Penulis: Putra Niron, Umat Paroki St. Maria Fatima Betun, Malaka, NTT
Pegiat Literasi Komunitas AMI Malaka dan Komunitas Sosial Sasoka. Penulis Kumpulan Puisi Penyair bukan Kami (2017); Kami dan Perjamuan Terakhir (2018); Mata Cermin (2022)