Oleh Febriola Sitinjak
Katolikana.com—“Dunia berubah bukan hanya oleh teknologi, tetapi juga oleh kata-kata yang dilucuti dari kebencian.”
Pernyataan ini bukan sekadar kalimat retoris, melainkan peringatan sekaligus harapan dari Paus Leo XIV dalam audiensinya bersama para jurnalis dunia, hanya empat hari setelah pemilihannya sebagai Paus ke-267 di Aula Paulus VI, Vatikan, Senin (12/5/2025).
Melalui kanal resmi Vatican News, pesan ini menyeruak seperti cahaya yang menembus kabut zaman: saat komunikasi telah menjadi arena pertempuran, dan kata-kata berubah menjadi peluru.
Alih-alih mengawali masa kepausannya dengan pidato dogmatik, Paus Leo XIV memilih berbicara tentang komunikasi—sebuah pilihan yang mencerminkan kepekaan mendalam terhadap realitas manusia modern.
Ia tahu benar bahwa sebelum gereja dapat menjawab panggilan zaman, ia terlebih dahulu harus mendengarkan, berbicara dengan kasih, dan menjembatani jurang.
Komunikasi: Jalan Menuju Perdamaian
Di hadapan para jurnalis dari seluruh dunia, Paus menggarisbawahi bahwa komunikasi bukanlah senjata untuk mendominasi, melainkan jalan menuju perdamaian. Ia mengajak agar setiap kata yang kita ucapkan dan setiap narasi yang kita bangun menjadi bagian dari upaya menyembuhkan, bukan melukai.
“Tidak mencari konsensus dengan segala cara, tidak menggunakan kata-kata agresif, tidak mengikuti budaya persaingan,” tegasnya, sambil mengingatkan bahwa kasih dan kerendahan hati adalah kompas etis dalam membangun komunikasi yang otentik.
Gema pesan ini sejalan dengan semangat Gaudium et Spes, terutama pada butir ke-1 dan ke-23. Dokumen Konsili Vatikan II ini menegaskan bahwa kebahagiaan dan kesedihan manusia adalah kebahagiaan dan kesedihan Gereja. Maka Gereja tidak bisa menutup diri dari medan komunikasi. Ia harus menjadi aktor aktif yang membawa nilai keadilan dan kasih ke dalam setiap ruang pertukaran pesan.
Namun Paus Leo XIV tidak berhenti pada ranah spiritual. Ia melangkah ke titik paling genting hari ini: kebebasan pers. Di tengah banyaknya jurnalis yang menjadi korban penindasan, penjara, bahkan kematian, Paus menyerukan pembebasan mereka.
“Hanya orang yang memiliki informasi yang benar, yang bisa membuat pilihan yang bebas,” katanya.
Seruan ini bukan basa-basi. Ia adalah suara kenabian yang menyuarakan nilai-nilai Inter Mirifica No.5 tentang kebebasan informasi sebagai pilar keputusan moral yang bertanggung jawab.
Jurnalisme Sebagai Panggilan Moral
Lebih jauh, ia mengingatkan bahwa jurnalisme dan komunikasi bukan tugas netral. Mereka adalah panggilan moral. Dalam dunia yang dibanjiri hoaks, manipulasi, dan narasi penuh kebencian, setiap pesan adalah pilihan etis.
Maka, dalam semangat Fratelli Tutti No.66, Paus mengajak semua orang—bukan hanya jurnalis—untuk menjadikan komunikasi sebagai sarana membangun komunitas yang saling menguatkan, bukan mencabik.
Tak kalah menggugah adalah ketika Paus Leo XIV berbicara tentang “Menara Babel modern”—dunia yang diliputi hiruk pikuk informasi tetapi miskin makna.
Di tengah banjir data dan ledakan kecerdasan buatan, kata-kata kehilangan daya heningnya, dan kasih berubah menjadi algoritma. Maka, menurut Paus, AI pun harus dipandu oleh nilai-nilai etika. Teknologi tak bisa berdiri di atas puing-puing kemanusiaan. Seperti ditegaskan dalam Gaudium et Spes, teknologi harus diabdikan untuk kebaikan bersama, bukan menjadi alat dominasi.
Kata Sebagai Benih Kehidupan
Pada akhirnya, Paus Leo XIV tidak sedang menawarkan solusi teknis, melainkan membangkitkan kesadaran moral dan spiritual yang radikal. Ia mengajak semua orang—pewarta, content creator, pengguna media sosial—untuk melihat kata sebagai benih kehidupan atau senjata kematian. Komunikasi bukan sekadar transmisi informasi, tetapi penciptaan dunia.
Kata-kata bisa menyembuhkan, atau menghancurkan. Maka, kata Paus, “Lucutilah kata-kata dari kebencian, dan kita akan membantu melucuti dunia.” Sebuah seruan yang mendalam, menyentuh jantung zaman.
Paus Leo XIV bukan hanya berbicara kepada para jurnalis. Ia berbicara kepada dunia. Kepada Anda. Kepada saya. Ia mengajak kita berhenti sejenak, bertanya: apa yang telah kita bagikan hari ini—pengharapan atau perpecahan? Informasi atau fitnah? Cinta atau caci maki?
Komunikasi yang membebaskan tidak lahir dari strategi digital, tetapi dari hati yang berakar pada kasih.
Maka, mari kita jadikan setiap kata sebagai jalan menuju pembebasan, bukan penghakiman. Sebab seperti dikatakan Santo Agustinus, yang dikutip oleh Paus Leo XIV: “Hiduplah dengan baik, maka zaman akan menjadi baik. Kitalah zaman itu.” (*)
Penulis: Febriola Sitinjak, Mahasiswa STP St. Bonaventura KAM
Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.