Oleh Josep Sianturi
Katolikana.com—Pluralisme bukanlah musuh, tetapi ia menuntut ketegasan iman. Di tengah dunia yang semakin terbuka, beragam, dan cair dalam hal kepercayaan, satu pertanyaan mendasar menggema di hati setiap orang Katolik: Apakah kita masih percaya bahwa Yesus Kristus adalah satu-satunya Penyelamat dunia?
Pada 6 Agustus 2000, Kongregasi bagi Ajaran Iman, di bawah pimpinan Kardinal Joseph Ratzinger (kelak menjadi Paus Benediktus XVI), menerbitkan dokumen Dominus Iesus, yang menegaskan ulang inti iman Kristiani di tengah gelombang pluralisme religius dan relativisme kebenaran yang kian merasuki ruang publik maupun ruang hati.
Dokumen ini bukanlah alarm ketakutan, melainkan panggilan sadar untuk tidak kehilangan jati diri sebagai pengikut Kristus.
Dalam dokumen itu ditegaskan: keselamatan hanya ada dalam Yesus Kristus. Bahwa hanya dalam Dia, umat manusia memperoleh jalan menuju Allah, karena “tidak ada nama lain di bawah langit yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan” (Kis 4:12).
Membela Dialog yang Jujur
Pernyataan ini, bagi sebagian orang modern, terdengar tidak populer. Di zaman di mana toleransi sering disamakan dengan relativisme, pengakuan semacam itu seolah mengganggu kenyamanan pluralisme yang “damai”—namun kosong dari kebenaran.
Padahal, Dominus Iesus tidak menolak dialog antaragama. Sebaliknya, dokumen ini justru membela dialog yang jujur: dialog yang lahir bukan dari kebingungan, tetapi dari keyakinan. Kita berdialog bukan karena ragu pada Yesus, melainkan karena kita ingin menghadirkan-Nya dengan kasih dan kerendahan hati.
Dialog sejati tidak menuntut kita melucuti iman, tetapi menantang kita untuk semakin menghidupinya secara otentik.
Sayangnya, di tengah masyarakat modern yang memuja efisiensi dan menyamakan semua kebenaran, banyak umat Katolik justru terseret dalam logika “agama-agama sama saja.”
Yesus ditempatkan setara dengan tokoh spiritual lain, bukan sebagai Tuhan yang hidup. Relativisme ini menyusup pelan-pelan—dari ruang diskusi akademik, kebijakan publik, hingga ruang keluarga.
Ini adalah tantangan iman yang sunyi tapi mematikan: bukan serangan langsung, melainkan pengikisan perlahan terhadap keunikan Kristus dan peran Gereja.
Bukan Menanggalkan Identitas
Pluralisme adalah realitas sosial yang harus diterima dan dirawat. Tetapi pluralisme bukan berarti menyeragamkan kebenaran atau menanggalkan identitas. Iman Kristiani berdiri bukan di atas sikap eksklusif, melainkan pada perjumpaan yang menyelamatkan: bahwa Allah sungguh masuk dalam sejarah manusia melalui pribadi Yesus dari Nazaret, dan bahwa keselamatan adalah anugerah yang diteruskan oleh Gereja sebagai sakramen keselamatan.
Gereja Katolik tidak pernah menutup diri terhadap agama-agama lain. Konsili Vatikan II dalam Nostra Aetate mengakui adanya unsur kebenaran dan kebaikan di dalam tradisi-tradisi keagamaan lain.
Tetapi, pengakuan ini bukanlah pembenaran untuk menyamakan semuanya. Justru di sinilah letak tanggung jawab Gereja: untuk menjaga api iman tetap menyala, seraya merangkul sesama dalam kasih dan pengharapan.
Kita tidak boleh kehilangan orientasi iman di tengah arus keberagaman. Kita boleh bersaudara dalam kemanusiaan, tetapi tidak boleh melupakan siapa Kristus dalam kehidupan kita. Kita boleh bekerja sama dalam membangun masyarakat, tetapi tidak boleh menukar identitas kita dengan kenyamanan sosial.
Menyentuh Hati
Inilah panggilan Dominus Iesus: membela kebenaran Kristus bukan dengan suara keras, tetapi dengan kehidupan yang meyakinkan. Menjadi saksi Kristus bukanlah menjadi penguasa argumen, tetapi menjadi pembawa terang yang menyentuh hati. Di tengah dunia yang lapar akan makna, Gereja—dan kita sebagai anggotanya—dipanggil untuk menjadi tanda kasih yang bersumber dari kebenaran.
Maka, apakah menjadi Katolik di tengah pluralisme berarti menjadi eksklusif? Tidak. Menjadi Katolik berarti menjadi terang—dan terang tidak pernah menyembunyikan dirinya. Kita tidak perlu takut untuk berkata: Aku percaya pada Kristus. Iman bukan untuk dikompromikan, tetapi untuk dihidupi. Iman yang hidup tidak memusuhi yang lain, tapi juga tidak rela larut dalam kebingungan zaman.
Pluralisme bukanlah akhir dari iman. Ia justru lahan misi. Tantangan zaman ini bukan sekadar mempertahankan ajaran Gereja, tetapi mewujudkan wajah Kristus dalam dunia yang terluka, bingung, dan lapar akan kebenaran. Di sanalah kita dipanggil—untuk tidak hanya berkata “Tuhan, Tuhan”, tetapi hidup sebagai saksi bahwa hanya di dalam Yesus Kristus, ada hidup yang sungguh bermakna dan abadi.
“Doakan Gereja, doakan imanmu sendiri, agar kita tidak menjadi abu yang dingin di tengah dunia yang haus api.”
Penulis: Josep Sianturi, Mahasiswa STP St. Bonaventura KAM
Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.