Perusakan Nisan Bersalib dan Kebangkitan yang Tercoreng

Ketika Gereja Tak Lagi Menegur
Susy Haryawan (Foto: Dokumentasi pribadi)

Oleh Susy Haryawan

Katolikana.com – Kita baru saja merayakan Hari Kebangkitan Nasional. Seremoni, pidato, karangan bunga. Tapi apa makna kebangkitan kalau kenyataan kita terus terjebak dalam pengulangan luka lama: intoleransi, diskriminasi, dan ketakutan yang disembunyikan di balik jargon “damai dan harmoni”?

Miris!

Kabar perusakan makam bersalib baru-baru ini bukanlah kejadian pertama—dan sayangnya, mungkin bukan yang terakhir.

Seolah-olah, ratusan tahun kemerdekaan belum cukup menanamkan nilai dasar yang kita hapal sejak SD: bahwa Indonesia merdeka karena persatuan, bukan karena keseragaman. Tapi hari ini, persatuan itu dilucuti dari akarnya: identitas dan ekspresi iman.

Salib, Ancaman?

Dua belas tahun silam, saya mengalaminya langsung. Kami sekeluarga adalah satu-satunya umat Katolik di desa itu. Bapak kami meninggal, dan sebagai warga desa sejak 1961, ia ingin dimakamkan di tanah tempat ia mengabdi. Tapi satu syarat diminta oleh tokoh masyarakat: tidak boleh ada salib di makamnya.

Saya setuju. Bukan karena lemah, tapi karena saya tahu, salib itu telah lebih dulu ditanam di dada kami. Dan tiga tahun kemudian ketika bapak wafat, para tetangga yang dulu keberatan, justru datang menggali kubur dan membantu memakamkan dengan penuh hormat.

Namun, suara sumbang tetap ada. “Tahlilan kalian tidak sampai pada Allah, karena kalian kafir,” ujar seorang kerabat. Kami tidak sakit hati. Kami anak-anak Allah. Tapi saya kecewa… sebagai anak Pancasila.

“Damai” nan Palsu

Pola-pola ini terus terulang. Perusakan simbol iman, penolakan pemakaman, pembatasan ibadah. Lalu, apa solusi yang diberikan? Klise dan basi: “salah paham,” “sudah damai,” “masih dalam proses.” Negara tak pernah benar-benar hadir. Gereja sering memilih diam.

Forum-forum seperti FKUB tampil seolah jadi penengah, tapi sering justru jadi panggung sandiwara: rilis pers berbalut senyum plastik dan konperensi damai penuh eufemisme. Mereka bilang ini bagian dari rekonsiliasi. Saya menyebutnya pengkhianatan terhadap luka yang nyata.

Apa gunanya berbicara harmoni kalau itu dibangun di atas tumpukan ketidakadilan yang disapu ke bawah karpet merah?

Damai tanpa keadilan hanyalah penundaan konflik. Bom waktu yang terus berdetak.

Mana Suara Kenabian?

Gereja pun tak luput dari kritik. Umat berteriak, netizen bergerak, namun para pemimpin sering memilih jalur aman. Mereka ikut berdansa dalam irama negara: “semua dalam penanganan,” “mari saling mengampuni,” “kita jaga kondusifitas.” Tapi di mana suara kenabian itu?

Yesus sendiri menegur murid-muridnya. Menghardik Petrus, menantang Tomas, bahkan membalik meja para pedagang di Bait Allah. Gereja bukan lembaga relasi publik yang hanya mencitrakan harmoni. Gereja adalah suara kebenaran.

Dan kebenaran itu terkadang perlu disuarakan lantang, bahkan jika menyakitkan.

Sejumlah nisan makam kristen di Bantul, Yogyakarta dirusak orang. Foto: X @merapi_uncover

Tak Butuh Simpati Kosong

Kami, umat biasa, hanya ingin kepastian. Kami ingin tahu bahwa iman kami tidak akan diusir bahkan setelah kami mati. Bahwa kami tidak akan dihina karena tanda salib yang kami genggam. Bahwa Gereja akan berdiri bersama kami, bukan hanya mengusap air mata setelah semuanya usai.

Kami ingin pemimpin Gereja yang bukan hanya “mengayomi”, tapi juga menegur. Kami ingin gembala, bukan manajer reputasi. Kami ingin kehadiran, bukan keheningan yang dibungkus dalih kerendahan hati.

Gereja, Jangan Jadi Farisi

Yesus mengutuk kemunafikan. Ia tak segan menelanjangi kemunafikan para Farisi yang menepuk dada dan berdoa di jalanan, tapi menindas dalam senyap. Hari ini, ketika kita membungkam jeritan umat demi “toleransi versi negara”, ketika kita menyingkirkan kebenaran demi stabilitas sosial, kita tak beda dari para Farisi.

Apa Gereja sekarang sama seperti itu? Berpura-pura baik, tapi lupa bahwa suara kenabian adalah bagian dari misi? Diam saat salib dipatahkan, dan hanya bersuara saat suasana sudah tenang?

Jika iya, maka Gereja telah kehilangan nyalinya. Dan Hari Kebangkitan Nasional hanya jadi slogan kosong—sementara salib, simbol cinta dan pengharapan kami, terus dianggap ancaman. (*)

Penulis: Susy Haryawan, bukan siapa-siapa.

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

NisanPerusakan MakamSalib
Comments (0)
Add Comment