Oleh Yulianus Gunawan Mamput
Katolikana.com—Di tengah situasi global yang kian mengkhawatirkan akibat krisis ekologi, kita semakin sadar bahwa bumi—rumah bersama umat manusia—sedang menjerit. Mulai dari peningkatan suhu global, mencairnya es kutub, hingga punahnya ribuan spesies setiap tahunnya.
Realitas ini bukan sekadar gejala alam, melainkan buah dari ketimpangan cara manusia memperlakukan alam: eksploitatif, serakah, dan kehilangan arah. Maka pertanyaannya: di mana letak harapan?
Salah satu jawabannya bisa ditemukan pada kesadaran ekologis yang tumbuh dalam masyarakat dan inspirasi dari tradisi-tradisi lokal yang menghargai relasi harmonis antara manusia dan alam.
Sekolah Budaya sebagai Wadah Kesadaran Ekologis
Kesadaran ekologis bukanlah sekadar narasi ilmiah, melainkan sikap hidup yang lahir dari refleksi atas krisis. Kita bisa belajar dari model “Sekolah Budaya”—suatu ruang pendidikan yang membangun kembali relasi manusia dan alam lewat pendekatan holistik.
Dalam sekolah seperti ini, anak-anak dan warga komunitas tidak hanya diajarkan tentang ilmu lingkungan, tetapi dihidupkan kembali warisan nilai dan ritual tradisional yang menempatkan alam sebagai mitra, bukan objek.
Kearifan lokal ini menjadi dasar yang kuat untuk merekonstruksi sikap manusia yang terlalu lama menganggap dirinya superior atas ciptaan.
Inspirasi ini sejatinya bukan hal baru. Aldo Leopold dengan “etika tanah” dan Rachel Carson dengan Silent Spring telah lama menabuh genderang perlindungan alam sebagai wujud moralitas.
Lalu muncul Arne Naess dengan deep ecology-nya yang menegaskan bahwa manusia harus membongkar logika antroposentris demi sebuah harmoni kosmik. Maka, sekolah budaya dengan landasan nilai komunitas lokal adalah salah satu bentuk nyata dari deep ecology yang membumi.
Eksploitasi Berbasis Rasionalitas dan Ekonomi
Krisis ekologis saat ini tak lepas dari dua pendekatan destruktif: logika mekanistis-reduksionistis dan logika ekonomi. Yang pertama lahir dari filsafat Barat modern yang memandang alam sebagai mesin—terpisah dari manusia dan bisa dikendalikan sesuka hati. Yang kedua melihat alam semata sebagai komoditas. Hutan menjadi industri, sungai jadi pembuangan limbah, dan udara jadi ruang eksklusif bagi emisi karbon.
Logika seperti ini melahirkan ilusi superioritas manusia atas ciptaan lain. Manusia tidak lagi menjadi penjaga bumi, melainkan predatornya. Bahkan dalam pendekatan pembangunan, alam hanya dianggap sebagai sumber daya, bukan sebagai entitas yang hidup dan layak dihormati.
Dalam kondisi seperti ini, refleksi ekologis tidak cukup dilakukan di laboratorium atau ruang seminar, melainkan harus dilatih sejak dini melalui pengalaman hidup dan pembentukan karakter berbasis ekologi.
Sekolah budaya atau sekolah alam berbasis komunitas lokal menjadi tempat yang sangat strategis untuk menanamkan nilai kesadaran ekologis kepada generasi muda.
Belajar dari Tradisi: Manggarai, Taoisme, dan Kearifan Asli
Berbagai tradisi lokal telah membuktikan betapa manusia bisa hidup berdampingan secara harmonis dengan alam.
Dalam budaya Manggarai, mitos penciptaan menyatakan bahwa langit dan bumi adalah tempat kehadiran Ilahi. Maka, merusak alam sama saja dengan melukai Tuhan. Ritual dan pemahaman kosmologis ini menjadi pengikat moral komunitas agar selalu menjaga lingkungan.
Demikian pula dalam Taoisme yang menekankan hidup selaras dan sederhana. Prinsip wu wei atau tidak campur tangan secara berlebihan menjadi kritik keras terhadap eksploitasi modern.
Bahkan, daftar larangan dari Lao Tze sangat relevan hingga hari ini!
- Jangan membunuh atau melukai suatu bentuk kehidupan apapun
- Jangan merusak sangkar burung dan binatang.
- Jangan dengan seenaknya memanjat pohon untuk menghancurkan sarang-sarang.
- Jangan mencambuk hewan piaraan.
- Jangan seenaknya menebang pohon-pohon.
- Jangan menyingkirkan dan mencuri bunga.
- Jangan membakar sawah dan hutan secara liar.
- Jangan dengan seenaknya berebut tanah.
- Jangan menghancurkan gunung-gunung dan sungai-sungai.
- Jangan menguras sumber air sampai kering.
Pesannya jelas: manusia adalah bagian kecil dari ekosistem semesta, bukan penguasa mutlak.
Kita juga belajar dari masyarakat asli Amerika Utara yang menyebut tanah sebagai “ibu” dan langit sebagai “ayah.” Tanah adalah tempat kesucian, bukan ruang yang bisa digadaikan demi pembangunan. Dalam spiritualitas mereka, segala sesuatu saling terhubung, dan merusak satu bagian berarti mencederai keseluruhan.
Tradisi-tradisi ini bukan sekadar romantisme masa lalu. Mereka adalah sumber inspirasi yang relevan dalam menjawab tantangan zaman. Karena dalam setiap relasi ekologis yang sehat, selalu ada kesadaran bahwa kehidupan tidak bisa berjalan sendiri-sendiri.
Dari Kesadaran Menuju Tindakan Kolektif
Namun, penting untuk diingat bahwa tradisi lokal dan kesadaran spiritual hanya menjadi retorika jika tidak diterjemahkan dalam gerakan nyata. Seperti dikatakan Arne Naess, perjuangan ekologi harus sampai ke pusat kekuasaan yang menentukan kebijakan.
Maka, gerakan masyarakat berbasis kearifan lokal mesti bersatu dan bersuara, tidak hanya untuk konservasi simbolik, tetapi juga untuk advokasi politik dan ekonomi yang berkeadilan.
Pendidikan ekologi bukan hanya soal menanam pohon, melainkan menanam nilai-nilai dalam hati generasi muda. Pendidikan yang bukan sekadar mengisi kepala, tetapi membentuk sikap batin yang menghargai alam sebagai ciptaan Tuhan. Di sini, peran sekolah, gereja, komunitas iman, dan lembaga-lembaga publik menjadi sangat penting.
Upaya membangun tata dunia yang lebih sehat dan ramah lingkungan menuntut komitmen politik yang berpihak pada bumi. Gereja dan umat beriman memiliki tanggung jawab moral untuk tidak tinggal diam. Menghidupi iman di era krisis ekologis berarti juga menjadi penjaga bumi dan suara bagi mereka yang tak bersuara: pohon, hewan, air, dan udara.
Iman Ekologis dan Ekologi Profetik
Krisis ekologis adalah krisis spiritual. Maka, responsnya harus spiritual sekaligus politis. Gereja tidak boleh hanya bicara tentang ciptaan dalam homili, tetapi juga mendorong umatnya menjadi pelaku pelestarian lingkungan. Kita diajak untuk menyatu dalam gerakan penyelamatan bumi—mulai dari keluarga, komunitas, sekolah, hingga ke kebijakan publik.
Belajar dari sekolah budaya dan tradisi lokal seperti di Manggarai, kita tidak sedang melangkah mundur, melainkan sedang menggali akar agar bisa tumbuh lebih kuat. Karena bumi bukan sekadar ruang tinggal, melainkan rumah yang harus kita jaga bersama.
Bumi tidak sedang butuh penyelamat. Bumi hanya butuh manusia yang berhenti menjadi perusak. (*)
Penulis: Yulianus Gunawan Mamput, Mahasiswa Fakultas Teologi, Universitas Sanata Dharma
Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.