Oleh Rm. Yudel Neno, Pr
Katolikana.com—Setiap pagi dan senja, bunyi lonceng gereja dan adzan dari masjid berkumandang di ruang hidup kita. Keduanya merupakan suara iman yang telah menjadi bagian dari denyut kehidupan masyarakat majemuk Indonesia.
Suara itu bukan sekadar seruan fisik, melainkan juga simbol spiritual dan identitas kultural yang mengakar kuat dalam kehidupan umat beragama.
Di sinilah percikan pertama dari nilai moderasi muncul: kesadaran bahwa ruang publik tidak pernah dan tidak akan pernah menjadi milik satu iman semata, melainkan ruang berbagi tempat semua yang beriman dan yang berbeda dapat hadir secara setara.
Namun, sayangnya, simbol yang semestinya menjadi jembatan persaudaraan ini, acap kali justru menjadi titik gesekan. Entah karena suara lonceng dianggap mengganggu, atau karena adzan dipolitisasi sebagai penguasaan ruang.
Bukan karena bunyinya yang terlalu nyaring, melainkan karena telinga kita tak lagi dibimbing oleh hati yang bijak dan batin yang terbuka. Ketika perbedaan iman mulai direspon dengan kecurigaan, kita sedang berjalan mundur dari cita-cita kebhinekaan itu sendiri.
Adzan dan Lonceng: Dua Seruan, Satu Tujuan
Bunyi lonceng dalam tradisi Katolik merupakan panggilan untuk masuk dalam ritme doa, waktu-waktu kudus dalam keseharian yang sarat kesibukan. Ia menjadi suara yang memanggil umat untuk berhenti sejenak, mengarahkan jiwa kepada Tuhan dan menyadari kembali bahwa hidup lebih dari sekadar rutinitas duniawi.
Sementara itu, adzan, yang dikumandangkan lima kali sehari dalam tradisi Islam, adalah suara pengingat akan keesaan Allah, sekaligus ajakan untuk bersujud dalam kekhusyukan.
Kedua suara ini adalah manifestasi dari spiritualitas komunitas—pengakuan bahwa ada kekuatan transenden yang memelihara dan memanggil manusia untuk hidup dalam kebaikan.
Maka, baik lonceng maupun adzan adalah suara-suara iman yang membawa pesan yang sama: bahwa hidup bukan semata milik kita, dan waktu bukan semata untuk bekerja, tetapi juga untuk mengingat, bersyukur, dan menyembah.
Namun, ketika suara itu dianggap “mengganggu”, sesungguhnya kita sedang memperlihatkan bahwa masyarakat belum selesai berdamai dengan pluralitas.
Yang terganggu bukan telinga, melainkan cara berpikir yang masih diliputi eksklusivisme dan keengganan untuk mengakui keberadaan yang lain.
Telinga Kita, Hati Kita
Allah menciptakan manusia dengan sepasang telinga, bukan hanya untuk mendengar suara yang disukai, tetapi juga untuk mengakui keberadaan orang lain. Telinga bukanlah ruang steril dari bunyi yang tidak kita setujui.
Ia adalah jendela yang memperkenalkan kita kepada kenyataan: bahwa dunia tidak hanya dihuni oleh “aku” dan kelompokku, tetapi juga oleh “yang lain” yang memiliki iman dan ekspresi sakral yang berbeda.
Namun, justru di sinilah tantangan terbesar keberagaman—kita sering kali tidak siap mendengar. Ketika suara adzan membuat kita marah, atau suara lonceng membuat kita risih, yang sedang bermasalah bukan volume suara itu, melainkan kebesaran jiwa kita. Kita belum cukup dewasa untuk menghidupi kebhinekaan sebagai rahmat, bukan sebagai beban.
Sebab itu, menjadi penting untuk mendengarkan dengan lebih dari sekadar telinga. Kita perlu mendengar dengan hati yang lapang dan batin yang penuh pengertian. Dalam dunia yang begitu mudah marah, mendengar bisa menjadi bentuk spiritualitas yang mendalam.
Mendengar dengan hati adalah tindakan kontemplatif yang memungkinkan kita mengenali jejak Tuhan dalam suara-suara dari iman lain.
Moderasi Bukan Netralitas Kosong
Banyak yang menyalahpahami moderasi sebagai posisi abu-abu yang tidak berpihak. Padahal, moderasi adalah sikap aktif dalam memperjuangkan keadilan dan penghargaan terhadap perbedaan.
Moderasi tidak menuntut semua orang menjadi sama, tetapi mendorong setiap orang untuk menerima kenyataan bahwa perbedaan itu nyata, perlu, dan bermakna.
Lonceng dan adzan adalah simbol-simbol penting dari nilai-nilai ini. Ketika keduanya bisa hidup berdampingan dalam satu kota, satu desa, atau bahkan satu lorong perkampungan, di sanalah kita melihat potret indah dari Indonesia yang sesungguhnya.
Namun jika salah satunya mulai dipermasalahkan, didiskreditkan, atau dilarang karena tekanan mayoritas, kita sedang menyaksikan kemunduran spiritual yang serius.
Moderasi beragama adalah kemampuan untuk menahan diri, untuk tidak memaksakan, untuk tidak merampas ruang iman orang lain. Jika adzan dikumandangkan, dan kita diam penuh hormat, itu bukan tanda kekalahan, tapi kemenangan atas egoisme.
Jika lonceng berdentang dan kita membiarkannya mengalun, itu bukan berarti kita menerima ajarannya, tetapi kita sedang merawat damai yang lebih besar.
Simbol-Simbol yang Dirawat, Bukan Dihapuskan
Sebagai bagian dari kehidupan umat beragama, suara adzan dan lonceng adalah warisan spiritual yang tidak boleh dibisukan. Mereka bukan hanya milik masa lalu, tetapi juga milik masa kini dan masa depan. Sebab dalam simbol-simbol ini, hidup bersama menemukan nadanya.
Kehadiran lonceng di tengah masyarakat yang mayoritas Muslim atau adzan di tengah komunitas yang mayoritas Kristen bukan gangguan, tapi pertanda bahwa pluralitas itu hidup dan nyata.
Ketika kita berusaha membungkam salah satunya, sesungguhnya kita sedang menghancurkan dasar dari rumah bersama kita. Rumah ini bernama Indonesia, dan ia dibangun di atas pengakuan akan keberagaman.
Bukan sekadar dalam slogan, tetapi dalam praktik sehari-hari yang konkret—seperti bersedia mendengar bunyi yang bukan dari kelompok kita.
Menuju Kesadaran Baru
Sudah saatnya kita memiliki kesadaran baru tentang keberagaman iman. Kita tidak bisa lagi hidup dengan cara pikir lama yang sempit dan curiga terhadap simbol yang berbeda.
Kita perlu membangun narasi baru—bahwa damai hanya akan hadir bila kita siap menampung banyak suara.
Masyarakat yang moderat bukan masyarakat yang semua orangnya berpikiran sama, tetapi masyarakat yang tahu caranya hidup damai dalam perbedaan.
Dan nilai ini tidak diajarkan dengan teori-teori besar, tetapi dimulai dari hal kecil: bagaimana kita bersikap saat adzan berkumandang, atau saat lonceng berdentang.
Apakah kita menutup telinga dengan marah, atau membiarkannya menggema sebagai pengingat bahwa kita tak hidup sendiri?
Belajar Mendengar, Belajar Hidup Bersama
Percikan nilai moderasi tidak lahir dari seminar atau pidato panjang. Ia lahir ketika seseorang bersedia duduk diam, dan mendengarkan suara yang bukan miliknya.
Dalam suara lonceng dan adzan, kita diajak untuk tidak hanya mendengar, tapi mengerti. Bukan untuk menyetujui, tetapi untuk hidup berdampingan.
Itulah makna terdalam dari moderasi: membiarkan bunyi dari yang lain tetap hidup, sebagai bagian dari irama rumah kita bersama. (*)
Penulis: Rm. Yudel Neno, Pr, Pastor Katolik, pemerhati dialog antaragama dan toleransi lintas iman di Indonesia.
Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.