Petani Tua di Tanah Kelahiran

Kebanyakan orang di desa yang memegang erat tradisi tidak mau percaya begitu saja kepada pasar.

Oleh Pitrus Puspito

Malam ini pintu rumahku diketuk seseorang. Seorang lelaki tua kira-kira berumur 73 tahun telah berdiri di depan pintu. Rambutnya yang putih terlihat karena sorot lampu dari dalam rumah. Kupersilahkan ia masuk.

Kini wajahnya yang keriput itu pun terlihat jelas ketika memasuki ruang tamu. Wajahnya tampak terkejut saat menatapku, matanya yang rabun mengamatiku penuh curiga, seolah aku pernah hadir di dalam hidupnya pada masa lalu.

“Silakan duduk, Pak,” sapaku mempersilahkannya duduk. Ia tersadar dari lamunannya.

“Bapakmu ada?” Tanyanya singkat.

“Bapak sedang ada musyawarah di balai desa,” jawabku sebelum kami duduk.

Wajah lelaki tua itu masih memperlihatkan keheranan sekaligus rasa penasaran. Tatapan matanya yang rabun seolah mengajukan pertanyaan “Siapakah anak muda ini?” Karena kasihan melihat sorot mata tuanya yang putus asa itu aku memperkenalkan diri.

“Ini saya Dimas, Pak.”

“Oh, kamu rupanya. Maklum sudah tua, saya pangling.” Mata tua yang rabun tadi seolah-olah menjadi baru dan jernih kembali. Mata yang mulai bening itu mulai memeriksaku lebih seksama lagi, dari atas kepala sampai ke kaki.

Lelaki tua itu meringis, maka terlihatlah dengan jelas giginya yang kuning dan mulai ompong itu. Gigi kuning itu mungkin karena asap rokok kegemarannya atau memang tidak pernah merawatnya.

Lelaki tua itu kukenal sebagai Pak Herman, petani yang dulu gagah dan pantang menyerah. Ia merupakan tipe petani yang gigih dan rajin. Di antara para petani, ia selalu berangkat ke sawah paling pagi, dan pulang menjelang petang.

Namun setelah 14 tahun tidak bertemu, kini kudapati Pak Herman yang menua. Di usianya yang senja itu, kata bapak, semangat Pak Herman tak pernah padam. Bahkan di usianya yang senja, Pak Herman tidak hanya menggarap sawah, tetapi memiliki kebun kopi yang tidak jauh dari rumahnya.

Jawabanku yang terdiri dari tiga kata tadi telah memecahkan tawa lelaki tua itu. Ia menepuk-nepuk pundakku dengan tangan tuanya yang masih bertenaga.

Ia lalu dengan riang menceritakan bagaimana masa kecilku yang rewel ketika diajak ke ladang dan kenangan-kenangan masa kecilku lainnya. Kenangan-kenangan itu ternyata terekam baik oleh Pak Herman. Ingatan masa lalu itu membuat mekar lelaki tua yang bersahaja itu.

“Oh, betapa sederhana dan murahnya membuat kebahagiaan di desa begini,”  pikirku.

***

Setelah lelaki tua itu puas tertawa, lantas kubuatkan dia kopi. Kopi Lampung dengan gelas belimbing yang berusia lebih tua daripada usiaku sendiri, gelas khas suasana pedesaan.

Kusuguhkan kopi itu, dia malah meminta asbak padaku, sebab sepeninggalannku di dapur, ia telah selesai melinting dua batang rokok.

Lihatlah lelaki tua ini, tetap konsisten dengan rokok lintingannya sendiri. Memang kebanyakan orang di desa yang memegang erat tradisi tidak mau percaya begitu saja kepada pasar. Kepada produk-produk yang dijual, termasuk rokok dan segala hal yang bisa dihasilkan oleh tanah sendiri.

Maka kutaruh kopi itu di atas meja kayu dan segera kucarikan asbak untuk Pak Herman. Setelah asbak kusuguhkan, kemudian aku duduk, mulailah kami bercakap-cakap.

Ia mulai menanyaiku kapan aku kembali? Berapa lama liburku? Dan lain sebagainya.

Kujawab pertanyaan itu satu per satu dengan detail. Tidak kusangka Pak Herman antusias menyimak ceritaku dan kesenangannya itu begitu asing bagiku sebab kebiasaan tinggal di kota besar ‘kebahagiaan dijual dengan harga mahal’.

Aku terjebur dalam kesenangan lelaki tua itu, kesenangan seperti ini telah menenggelamkanku pada masa lalu.

Obrolan kami semakin akrab dan aku mulai dapat menyesuaikan diri di kampung halamanku ini. Empat belas tahun aku pergi merantau. Sejak usiaku 18 tahun hingga 33 ini banyak hal telah berubah. Banyak hal yang hilang dan pergi seiring berjalannya waktu.

Obrolan kami yang akrab dan hangat ini diselingi suara kodok dan jangkrik yang merayakan kegelapan malam. Angin malam yang dingin masuk melalui jendela yang terbuka, menyingkap korden dan memenuhi ruang tamu ini.

Lelaki tua itu telah menyalakan rokok keduanya, dengan setia ia menghisap rokoknya dengan penghayatan yang diam dan dalam. Sesekali ia menyeruput kopinya yang mulai dingin.

***

Pak Herman dan Bapak adalah lelaki dengan kearifan lokal yang kokoh. Mereka tenang dan tetap menjadi diri sendiri di tengah zaman yang pesat berkembang.

Bapak tiba di rumah, ketika Pak Herman menyalakan batang rokoknya yang ketiga. Bapak dan Pak Herman sama-sama telah berubah meski mereka adalah dirinya.

Para lelaki berubah, dan perubahan itu seperti angin sepoi-sepoi yang mengibarkan musim-musim. Perubahan pada kedua lelaki itu juga tampak pada rasa sakit yang mereka rasakan. Atau bahkan berbentuk kejenuhan menanti hasil panen dan penantian-penantian yang lain.

Bapak dan Pak Herman adalah tetangga beda generasi. Namun mereka adalah petani yang gigih penuh dedikasi. Mereka berdua menjalani hidup dengan lunak dan menyenangkan yang menimbulkan rasa iri dalam hati orang-orang.

Bapak dan Pak Herman sangat mencintai tanah pertanian meraka. Mereka merawat segala tanaman dengan kasih sayang sehingga alam pun seolah membalas cinta mereka.

Bapak dan Pak Herman bertahan hidup, sebaik hidup yang mereka butuhkan atau inginkan. Mereka ramah kepada setiap orang sehingga kebahagian yang selalu mereka dapatkan.

Bapak dan Pak Herman adalah pengurus kelompok tani. Malam ini mereka berbincang mengenai bibit padi dan pupuk, penjualan hasil panen dan harga di pasaran.

Aku menyimak dengan saksama, mereka selalu memikirkan kepentingan para petani, khususnya anggota kelompok tani mereka.

Pak Herman yang berpengalaman sangat dibutuhkan nasihat-nasihat bijaknya, sedangkan Bapak yang usianya lebih muda sangat paham perihal harga dan pemasaran hasil panen.

Mereka berdua dicintai dan dibutuhkan teman-temannya, para petani di desa kami ini. Alangkah benar-benar sedikit petani yang tidak memikirkan diri sendiri namun juga kepentingan petani lain.

Sejak dulu, Bapak selalu berpesan padaku untuk menjadi berguna bagi orang lain, walaupun sekecil apa pun. Bapak berpesan, jika kita dipercaya dan dicintai banyak orang, hidup akan selalu aman dan bahagia. Aku memahami nashihat itu ketika bertahun-tahun menjalani hidup di kota.

Para lelaki sepertinya dilahirkan untuk hal-hal besar. Untuk menanggung tanggung jawab kepada keluarga dan orang-orang di sekitarnya. Begitu yang dapat kupelajari dari Bapak dan Pak Herman malam ini.

Aku masih duduk di samping Bapak, merekam semua percakapan yang hangat dan dalam ini. Percakapan yang ringan dan memilik manfaat yang nyata.

Aku merasa damai malam ini, aku merasa tak asing lagi di kampung halamanku ini. Nilai-nilai yang kudapat malam ini merupakan fondasi baru bagi hidupku selanjutnya.

Pak Herman dan Bapak adalah lelaki dengan kearifan lokal yang kokoh. Mereka tenang dan tetap menjadi diri sendiri di tengah zaman yang pesat berkembang.

Di luar angin menghempaskan daun-daun dan ranting pohon. Suara kodok mulai tak terdengar, hanya jangkrik dan serangga malam lainnya yang masih berjaga.

Banyak hal yang dapat aku pelajari malam ini, aku belajar tentang kesederhanaan, kedamaian, dan ketulusan. Lelaki tua itu lantas pamit setelah menghabiskan segelas kopi dan tiga batang rokok.

Pak Herman megerayangi pintu untuk berpegangan, kakinya meraba mencari sandalnya yang sejak tadi dilepas di dekat keset bertuliskan Selamat Datang. Kami bersalaman, ia berbalik melangkah lantas pergi. (*)

Pitrus Puspito adalah guru dan penulis. Ia menempuh pendidikan terakhirnya di Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (USD). Selain menulis puisi, ia juga menulis beberapa cerita anak dan esai. Buku tunggalnya yakni kumpulan puisi berjudul Yang Hilang (2018). Dapat disapa melalui akun instagram: @pitruspiet.

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

Petani
Comments (0)
Add Comment