Nabire, Katolikana.com — Dalam dua pekan terakhir, sejak 12 hingga 26 Mei 2025, tiga kabupaten di Provinsi Papua Tengah—Intan Jaya, Puncak, dan Dogiyai—kembali dilanda konflik bersenjata antara aparat keamanan TNI-POLRI dan kelompok bersenjata TPNPB-OPM.
Konflik ini menyebabkan jatuhnya korban jiwa dari kalangan sipil serta gelombang pengungsian ribuan warga dari kampung halaman mereka.
Sebagai bentuk keprihatinan dan solidaritas, Pemuda Katolik Komisariat Daerah (Komda) Papua Tengah mendirikan Posko Kemanusiaan di Gereja Kristus Sahabat Kita (KSK) Nabire, sejak 23 Mei hingga 5 Juni 2025. Posko ini difokuskan untuk menggalang bantuan kemanusiaan bagi warga sipil yang terdampak langsung oleh konflik bersenjata.
Ketua Bidang Bencana dan Tanggap Darurat Komda Papua Tengah, Kristianus Madai, dalam konferensi pers menyatakan bahwa Pemuda Katolik hadir murni untuk misi kemanusiaan, bukan berpihak kepada kelompok manapun.
“Kami hadir sebagai wujud belas kasih dan solidaritas. Warga yang trauma dan panik di daerah konflik adalah saudara kita. Kepedulian mereka adalah kepedulian kita semua,” ujarnya.
Menurut Kristianus, fokus utama bantuan diarahkan kepada warga sipil yang mengungsi dari Distrik Gome (Kabupaten Puncak) dan Kampung Itadipa (Kabupaten Intan Jaya), yang menjadi titik-titik terparah dari konflik bersenjata belakangan ini.
Wujud Belarasa
Melalui posko ini, Pemuda Katolik mengajak umat Katolik di lima dekenat Keuskupan Timika serta berbagai pemerhati kemanusiaan lainnya untuk ikut berbela rasa. Bantuan yang dikumpulkan meliputi bahan makanan, minuman, pakaian layak pakai, obat-obatan, perlengkapan sekolah, serta dana sukarela.
Kristianus mengutip motto tahbisan Uskup Timika, Mgr. Bernardus Bofitwoa Baru, OSA: “Ego Sum Ostium” (Akulah pintu bagi domba-domba-Ku), sebagai inspirasi gerakan ini. “Kami percaya bahwa ‘domba-domba’ itu adalah warga sipil tak bersalah yang menjadi korban konflik ini,” katanya.
Dialog dan Gencatan Senjata
Pastor Yanuarius Yogi, Pr, Dekan Dekenat Moni-Puncak, menyampaikan bahwa situasi di Intan Jaya dan Puncak masih sangat mencekam. Ia menegaskan perlunya tindakan nyata dan mendesak pemerintah serta kelompok bersenjata untuk segera mengakhiri konflik melalui jalan damai.
“Kami mendukung seluruh bentuk bantuan, baik dari pemerintah, mahasiswa, maupun Pemuda Katolik. Namun, yang lebih penting adalah dialog damai untuk mengakhiri penderitaan rakyat sipil,” kata Pastor Yance.
Dalam pernyataan sikapnya, Pemuda Katolik Papua Tengah mengeluarkan empat tuntutan utama:
- Gencatan senjata segera antara TNI-POLRI dan TPNPB-OPM di Intan Jaya dan Puncak.
- Penarikan pasukan militer organik dan non-organik dari wilayah konflik.
- Penyelesaian masalah melalui pendekatan damai, humanis, dan bermartabat.
- Pembukaan ruang dialog antara negara dan seluruh pihak yang bertikai.
Senjata Memusnahkan Kasih
Pesan perdamaian juga disuarakan oleh Pastor Senior Keuskupan Timika, Pastor Amandus Rahadat, Pr, dalam homilinya pada Minggu Paskah V di Gereja Katedral Timika.
“Senjata tidak pernah menghasilkan damai. Korban terus berjatuhan, baik dari aparat keamanan, TPN-OPM, maupun warga sipil. Semua kematian itu menyisakan luka dalam bagi keluarga,” ujarnya.
Pastor Amandus menolak prinsip usang “si vis pacem, para bellum” (jika ingin damai, bersiaplah untuk perang), seraya menekankan bahwa dialog adalah jalan berbudaya untuk menciptakan perdamaian.
“Dialog tidak mahal. Yang mahal adalah gengsi. Maka mari kita, baik negara, TNI-POLRI, maupun TPN-OPM, menanggalkan gengsi dan duduk bersama. Berdialoglah, demi kemanusiaan,” tegasnya.
Dalam situasi yang masih genting ini, suara-suara dari akar rumput—terutama dari Gereja dan komunitas pemuda Katolik—menjadi sinyal kuat bahwa masyarakat Papua Tengah mendambakan perdamaian. Misi kemanusiaan yang dipimpin Pemuda Katolik Komda Papua Tengah menjadi contoh konkret bagaimana Gereja hadir bersama umat dalam situasi krisis.
Dengan mengedepankan cinta kasih, solidaritas, dan dialog, harapan akan Papua yang damai dan adil masih mungkin terwujud. (*)
Kontributor Katolikana.com di Paniai, Papua. Lahir di Ibumaida, Paniai, tahun 1989. Penulis bekerja di Komisi Keadilan dan Perdamaian Keutuhan Ciptaan Paroki Kristus Sang Gembala (KSG) Wedaumamo, Keuskupan Timika. Ia juga aktif di organisasi Pemuda Katolik Komisariat Cabang di Kabupaten Paniai.