Medan, Katolikana.com – Dalam upaya memperkuat semangat dialog antaragama di tengah masyarakat majemuk, Sekolah Tinggi Pastoral (STP) St. Bonaventura Keuskupan Agung Medan menyelenggarakan seminar internasional bertajuk “Meningkatkan Semangat Dialog Antaragama untuk Katekis Masa Depan”, pada Senin (26/5/2025).
Seminar ini menghadirkan RP. Markus Solo Kewuta, SVD—perwakilan Vatikan untuk dialog antaragama—dan diikuti lebih dari 400 peserta secara daring melalui kanal YouTube SEMA STP.
Dalam pemaparannya, RP. Markus Solo menegaskan bahwa dialog lintas iman bukanlah tambahan, melainkan bagian mendasar dari identitas Gereja. “Gereja tidak bisa tidak berdialog,” ujarnya.
Mengacu pada dokumen Nostra Aetate dari Konsili Vatikan II, ia mengingatkan bahwa Gereja Katolik menghargai semua yang benar dan suci dalam agama lain. Karena itu, seorang katekis harus siap hadir sebagai jembatan kasih yang menyatukan, bukan memecah.
Iman Tangguh Tumbuh dalam Dialog
Markus menyampaikan bahwa iman yang matang tidak tumbuh dalam isolasi, melainkan melalui keterbukaan terhadap perbedaan.
“Dialog bukan ancaman bagi iman, justru memperkaya dan meneguhkan keyakinan,” katanya.
Melalui dialog yang tulus dan penuh hormat, katekis masa kini dipanggil untuk menjadi penabur damai dan pembangun persaudaraan sejati di tengah masyarakat multikultural.
Salah satu sorotan utama dalam seminar ini adalah tantangan era digital. Media sosial, yang seharusnya menjadi ruang dialog, justru kerap dipenuhi ujaran kebencian dan polarisasi.
Markus menekankan bahwa dunia pendidikan pun berperan penting dalam membentuk pribadi yang mampu berdialog dan hidup bersama secara damai.
Pendidikan agama Katolik, menurutnya, perlu mengembangkan kemampuan berpikir kritis, empati, serta keberanian membela kebenaran secara elegan.
“Guru agama tidak cukup hanya menyampaikan doktrin, tetapi juga menjadi pembimbing rohani yang membentuk karakter dan membuka cakrawala,” tegasnya.
Berakar dan Terbuka
Markus menekankan dua kualitas esensial bagi seorang katekis masa kini: well-formed (berakar dalam iman) dan well-informed (terbuka pada ilmu pengetahuan dan realitas dunia).
Ia membagikan pengalamannya mempelajari bahasa Arab klasik dan memahami Islam sebagai bentuk penghormatan terhadap sesama umat beriman, tanpa mengurangi identitas Katoliknya.
“Katekis yang baik tidak takut pada perbedaan. Menghargai bukan berarti menyetujui, tetapi membuka hati untuk saling memahami,” katanya.
Markus memaparkan empat bentuk dialog lintas agama yang menjadi fondasi karya pastoral Gereja:
- Dialog kehidupan – hadir dalam relasi sehari-hari yang sederhana.
- Dialog kerja sama – keterlibatan bersama dalam aksi sosial.
- Dialog spiritualitas – saling mengenal kekayaan iman dan pengalaman religius.
- Dialog teologis – pertukaran pemikiran yang mendalam dengan semangat keterbukaan.
“Dialog bukan untuk menyeragamkan, tetapi untuk memperkaya. Kita menjaga iman sambil menghormati keyakinan orang lain,” ujarnya.
Pilar-pilar ini juga tercermin dalam Dokumen Abu Dhabi (2019) tentang Persaudaraan Manusia yang ditandatangani oleh Paus Fransiskus dan Imam Besar Al-Azhar. Dokumen tersebut menyerukan kerja sama lintas iman demi keadilan dan perdamaian global.
Katekis di Era AI
Tantangan baru juga hadir dari perkembangan teknologi, terutama kecerdasan buatan (AI). Dunia informasi yang penuh hoaks dan disinformasi membutuhkan katekis yang mampu membimbing umat memilah informasi dan membentuk suara hati yang peka.
“Kita butuh pendidikan iman yang menyentuh nalar, hati, dan tindakan,” kata RP. Markus.
“Katekis bukan sekadar guru agama, tetapi pembawa terang dalam dunia yang bingung.”
Menutup seminar, RP. Markus mengutip Paus Fransiskus dalam Evangelii Gaudium: “Buanglah kekerasan dari kata-kata dan pilihlah dialog sebagai dasar hidup bersama.” Menurutnya, Gereja bukan benteng tertutup, melainkan sahabat bagi semua.
Ia mengajak seluruh peserta—terutama calon katekis—untuk membangun budaya dialog dalam komunitas masing-masing. “Sudahkah komunitasmu menjadi ruang perjumpaan, bukan sekadar toleransi?” tanyanya.
Dialog sejati, lanjutnya, lahir dari hati yang rendah, telinga yang mau mendengar, dan iman yang terbuka. Inilah panggilan profetis bagi Gereja di zaman ini: menjadi jembatan kasih di dunia yang retak. (*)
Kontributor: Febriola Sitinjak, Mahasiswa STP St. Bonaventura KAM
Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.