Katolikana.com—Di dunia yang terus bergerak cepat dan serba kompetitif, nama Don Bosco hadir bak oase. Ia bukan sekadar sosok dalam sejarah, melainkan nyala semangat yang terus hidup dalam hati jutaan orang di seluruh dunia—khususnya mereka yang pernah merasakan cinta tanpa syarat di tengah kerasnya hidup.
Nama lengkapnya, Giovanni Melchiorre Bosco, mungkin terdengar asing bagi banyak orang. Tapi sebutan “Don Bosco” telah menjadi simbol kasih, pendidikan, dan harapan.
Lahir pada 16 Agustus 1815 di Becchi, Italia, dari keluarga petani miskin, Don Bosco kecil tahu betul arti perjuangan. Namun, dari tanah yang keras dan kehidupan yang getir itulah tumbuh seorang pria yang menjadi “Bapa dan Guru Kaum Muda.”
Di tengah kemiskinan, ia menyalakan pelita—bukan hanya bagi dirinya, tetapi bagi ribuan jiwa muda yang tak punya tempat untuk berharap.
Melihat dengan Hati
Di tengah hiruk-pikuk kota Turin, Don Bosco melihat sesuatu yang tidak dilihat orang lain. Ia melihat anak-anak jalanan, remaja tanpa masa depan, dan pemuda-pemudi yang tertinggal. Tapi ia tak sekadar melihat “anak-anak nakal”.
Ia melihat jiwa—jiwa yang haus akan cinta, bimbingan, dan pengharapan. “Da mihi animas, cetera tolle,” katanya. “Berilah aku jiwa-jiwa, ambillah yang lainnya.”
Kalimat ini bukan semboyan kosong. Bagi Don Bosco, inilah doa, napas hidup, dan panggilan ilahi.
Ia hadir bukan untuk menggurui, melainkan menemani. Ia tidak mengangkat tangan untuk menghukum, melainkan membuka lengan untuk merangkul.
Lewat semangat cinta itu, ia mendirikan Kongregasi Salesian dan Serikat Puteri Maria Penolong Umat Kristiani—dua tonggak yang hingga kini meneruskan warisannya dalam dunia pendidikan dan pastoral kaum muda.
Mendidik dengan Kasih
Don Bosco percaya, pendidikan sejati lahir dari relasi, bukan dari aturan kaku. Ia menolak pendekatan represif yang menghukum anak-anak.
Sebagai gantinya, ia merintis Sistem Preventif—metode pendidikan berbasis akal budi, agama, dan kasih sayang. Disiplin bukan ditanamkan lewat ketakutan, tetapi melalui cinta yang membangun kepercayaan.
Bagi Don Bosco, seorang pendidik harus hadir sebagai sahabat. Ia pernah berkata, “Lebih mudah membuat anak-anak marah daripada membuat mereka mencintaimu.” Maka, ia memilih jalan yang lebih sulit: menjadi sahabat, ayah, dan gembala bagi mereka.
Don Bosco meyakini bahwa kekudusan bukanlah beban. Ia mengajak anak-anak bersukacita dalam iman, dalam belajar, dan dalam bermain.
Prinsipnya sederhana: Tuhan adalah sumber kegembiraan. Maka, hidup dalam kasih-Nya pun harus dipenuhi dengan tawa dan harapan. Paus Fransiskus dalam Christus Vivit pun menguatkan hal ini: “Tuhan adalah sukacita bagi kaum muda.”
Ia mengajarkan bahwa sukacita adalah bentuk kesaksian iman. Anak-anak diajak bukan hanya untuk percaya, tetapi untuk mencintai hidup dan melihat keindahan dalam hal-hal kecil.
Bagi Don Bosco, iman bukan menara gading, tetapi tanah subur di mana cinta, harapan, dan kebajikan tumbuh.
Kebijakan pastoral Don Bosco bukan teori indah di atas kertas. Ia hadir secara nyata—di jalan-jalan kota, di asrama-asrama, di ruang kelas. Ia tidak datang dengan doktrin yang menghakimi, melainkan dengan pelukan yang menyembuhkan.
Di masa muda para siswa yang rawan dan rapuh, Don Bosco menghadirkan rumah. Rumah yang penuh kasih, perlindungan, dan makna.
Warisannya kini terus hidup: sekolah, panti asuhan, komunitas dan asrama Salesian menjadi tempat di mana ribuan anak dari berbagai penjuru dunia merasakan pengalaman dicintai tanpa syarat.
Sahabat Jiwa Muda
Gelar “Don” bukan sekadar formalitas. Itu adalah sapaan kasih, gelar bagi seorang imam yang memilih untuk selalu berada di sisi anak-anak.
Nama “Bosco” menjadi identitas sebuah gerakan yang mencintai kaum muda tanpa batas. Ia meninggalkan bukan hanya jejak, tapi jalan yang bisa ditapaki oleh siapa pun yang ingin melayani dengan hati.
Don Bosco tidak membawa revolusi senyap, tapi transformasi penuh cinta. Ia tidak menggulingkan rezim, tapi menaklukkan kekerasan dengan kelembutan. Kepemimpinannya bukan pada jumlah pengikut, melainkan dalam jumlah hati yang ia sentuh.
Kini, pertanyaannya bukan lagi: siapa Don Bosco? Tetapi: apakah kita mau meneruskan semangatnya? Apakah kita siap menjadi pendidik yang melayani dengan kasih, pemimpin yang membawa harapan, dan sahabat yang setia menemani generasi muda menuju cahaya Kristus?
Don Bosco telah memulai. Kini giliran kita yang melanjutkan. Mari kita menjadi terang di dunia yang gelap, pelita di tengah kebingungan, dan suara kasih dalam dunia yang haus perhatian.(*)
Kontributor: Diah Ayu Suryani Sitanggang, Mahasiswa STP Santo Bonaventura KAM
Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.