Air Berkat di Pintu Gereja: Bukan Sekadar Air Biasa

Air berkat yang kuusap di lutut dan persendianku terasa bagaikan aliran kasih ilahi.
Ani Paga

Oleh Ani Paga

Katolikana.com — Sore itu, langit Jakarta mulai berubah warna. Aku berada di dalam TransJakarta, tergesa-gesa pulang dari tempat kerja, berharap bisa tiba tepat waktu untuk mengikuti ibadat Jalan Salib di paroki tempatku biasa beribadah.

Jadwal misa dimulai pukul 17.00 WIB, dan waktu terus berlari. Namun, bus yang kutumpangi terjebak dalam antrean panjang. Aku tahu, aku akan terlambat.

Dalam kekecewaan, aku memutuskan turun lebih awal. Daripada kehilangan seluruh momen doa, aku memutuskan mencari gereja terdekat.

Pilihanku jatuh pada Gereja Santa Theresia, Menteng—sebuah gereja yang lokasinya tak jauh dari halte M.H. Thamrin dan di belakang pusat perbelanjaan Sarinah.

Tepat ketika turun dari bus dan menginjakkan kaki di jalan, rasa sakit yang tajam menjalar di lutut kiriku.

Rasa nyeri itu begitu menusuk hingga membuatku hampir tak bisa berjalan. Dengan tertatih aku melangkah ke arah Sarinah, lalu berbelok menuju gereja. Dalam hati aku terus berdoa, “Tuhan, mampukan aku untuk sampai.”

Sesampainya di pos keamanan gereja, aku menanyakan jadwal Jalan Salib. Petugas mengatakan ibadat dimulai pukul 17.30 WIB. Aku menghela napas lega.

Masih ada waktu sekitar 30 menit untuk mempersiapkan diri. Aku duduk diam, mencoba menenangkan tubuh dan jiwaku, sambil terus menggosok lutut yang masih terasa nyeri.

Ketika lonceng gereja berbunyi menandakan dimulainya Jalan Salib, aku bangkit. Sakit di lutut masih terasa, tetapi aku memaksakan diri berdiri dan mengikuti tiap stasi. Di sepanjang ibadat, mataku tertuju pada salib Kristus di altar.

Dalam keheningan, aku memohon: “Yesus, aku percaya pada-Mu. Aku tahu Engkau menyembuhkan orang lumpuh, membuka mata orang buta, bahkan membangkitkan Lazarus dari kematian. Tolong, jamahlah lututku yang sakit ini. Pulihkanlah aku.”

Tanganku meremas bangku gereja. Air mata mengalir dalam doa tanpa suara. Tubuhku gemetar dalam keyakinan bahwa Tuhan sedang hadir. Rasa nyeri itu, perlahan tapi pasti, mulai berkurang. Seolah-olah darah-Nya yang kudus mengalir dan menjamah bagian tubuhku yang sakit.

Setelah misa usai, seperti biasa aku mengambil air berkat yang tersedia di pintu keluar gereja. Namun hari itu berbeda. Air berkat yang kuusap di lutut dan persendianku terasa bagaikan aliran kasih ilahi. Aku memercikannya ke tubuhku dengan keyakinan dan rasa syukur.

Tak lama setelah itu, aku benar-benar merasakan kesembuhan. Rasa sakit yang tadinya begitu mengganggu kini lenyap seolah tak pernah ada.

Langkahku ringan saat berjalan keluar dari gereja. Aku bahkan sempat duduk di sebuah kedai kopi di belakang Sarinah untuk berbuka puasa.

Di sana aku terdiam sejenak, teringat akan bisikan batinku di dalam gereja tadi: “Pulanglah, imanmu telah menyelamatkan engkau.”

Sebelum pulang, aku sempat berdevosi di depan gua Maria di samping gereja. Kutumpahkan seluruh rasa syukur dan kepasrahanku pada Bunda Maria. Aku percaya, doa-doaku didengarkan dan penderitaanku tak sia-sia.

Dalam perjalanan pulang naik TransJakarta, hatiku terasa ringan. Aku merenung: terkadang kita diberi tantangan yang tak terduga. Tapi sesungguhnya, itu adalah cara Tuhan menyiapkan kita untuk menjadi saksi kasih dan kuasa-Nya bagi sesama.

Air berkat di pintu gereja bukanlah sekadar air. Bagi yang percaya, itu adalah tanda nyata kasih Allah—yang menyentuh, menyembuhkan, dan menguatkan. (*)

Penulis: Ani Paga, warga Paroki St Yohanes Penginjil Blok B.

 

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

Air Suci
Comments (0)
Add Comment