Gabriel Sanata Putra: Dalang Muda yang Menyulam Iman, Budaya, dan Keteladanan

Wayang dan iman Katolik saya bukan dua dunia yang berbeda. Justru keduanya saling menyatu, mengajarkan saya untuk menjadi manusia yang utuh.

Katolikana.com — Di balik sosok remaja berwajah teduh dari Surakarta ini, tersembunyi semangat besar yang menyala dalam dirinya.

Dialah Gabriel Sanata Putra, 17 tahun, seorang dalang muda berbakat, misdinar yang tekun, dan anggota Orang Muda Katolik (OMK) Paroki Santo Aloysius Gonzaga Mojosongo. Dalam dirinya menyatu harmonis kecintaan pada budaya Jawa yang adiluhung dan iman Katolik yang membumi.

Gabriel Sanata aktif sebagai Misdinar.

Perjalanan Sanata menapaki dunia pedalangan dimulai sejak usia belia. Ia pertama kali menyentuh wayang kulit saat duduk di bangku kelas 2 SD Pangudi Luhur Santo Valentinus Surakarta. Sejak itu, kegemarannya berubah menjadi panggilan hidup.

Dengan penuh semangat, ia belajar dari satu sanggar ke sanggar lain: Sarotama di Palur Karanganyar, Dhemes di Polokarto Sukoharjo, dan Lemah Ireng di Pedan Klaten. Di sana ia berguru langsung kepada para dalang senior, menyerap teknik, pakem, dan nilai-nilai kehidupan dari dunia pewayangan.

Kini, Sanata melanjutkan pendalaman bakatnya di SMK Negeri 8 Surakarta, mengambil jurusan Pedalangan.

Di sekolah ini, ia bukan hanya mengasah teknik sabet dan suara, tetapi juga belajar menjadi pemimpin. Ia dipercaya menjabat sebagai Ketua OSIS, bukti bahwa kepemimpinan dan keteladanan sudah tumbuh kuat dalam dirinya.

Mendalang dan Melayani Tuhan

Lebih dari sekadar seniman, Sanata adalah pribadi yang menghayati iman Katoliknya secara mendalam. Ia menjalani laku prihatin dengan puasa Senin-Kamis, aktif sebagai misdinar, dan terlibat aktif dalam kegiatan OMK paroki. Bagi Sanata, mendalang dan melayani Tuhan bukanlah dua hal yang terpisah.

“Dengan mendalang, saya belajar menghayati kehidupan, mengenal nilai-nilai luhur seperti kejujuran, keberanian, dan pengorbanan. Sama seperti iman yang mengajarkan saya menjadi terang di tengah dunia,” ujarnya.

Tokoh wayang favorit Sanata adalah Ontoseno, seorang ksatria yang dikenal karena kejujurannya. Karakter ini bukan sekadar tokoh panggung baginya, tetapi panutan hidup yang ia coba teladani dalam keseharian.

Prestasi Sanata pun tidak main-main. Ia pernah meraih Juara 1 kategori Sabet dan Juara Umum 2 dalam Festival Dalang Anak se-Solo Raya tahun 2018. Terakhir, ia tampil dalam pementasan semalam suntuk dengan lakon “Sumantri Ngenger” di Sekip Kadipiro Surakarta pada perayaan HUT RI ke-79 tahun 2024 lalu.

Repertoar lakon yang telah ia bawakan sangat beragam dan sarat nilai moral: Anoman Duta, Dewa Ruci, Babad Alas Wana Marto, Wahyu Cakraningrat, Wirata Parwa, Pandu Swarga, hingga Kikis Tunggarana. Semua ia mainkan bukan sekadar untuk hiburan, tetapi untuk menghidupkan kembali warisan budaya Jawa di kalangan muda.

Perjalanan Sanata menapaki dunia pedalangan dimulai sejak usia belia. Ia pertama kali menyentuh wayang kulit saat duduk di bangku kelas 2 SD Pangudi Luhur Santo Valentinus Surakarta.

Wayang dan Iman Katolik

Sanata tinggal bersama ayahnya Joko Sudarwanto, ibu Suryani, dan adik perempuannya Angel Dwi Cantika di Balong Lama, Kelurahan Wonorejo, Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar. Dukungan keluarga menjadi sumber kekuatan dan semangatnya untuk terus melangkah.

Ke depan, Sanata bercita-cita menjadi dosen pedalangan di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, agar bisa terus menginspirasi generasi muda mencintai budaya sendiri. Namun lebih dari itu, ia ingin terus mengabdi kepada Tuhan dan sesama melalui talenta yang dimilikinya.

“Wayang dan iman Katolik saya bukan dua dunia yang berbeda. Justru keduanya saling menyatu, mengajarkan saya untuk menjadi manusia yang utuh,” ucap Sanata, penuh keyakinan.

Dalam sosok Sanata, kita melihat harapan: bahwa warisan budaya dan iman tidak akan pernah punah selama masih ada anak-anak muda yang bersedia memeluk keduanya dengan cinta dan kesungguhan. (*)

 

Katekis di Paroki Kleco, Surakarta

Comments (0)
Add Comment