Oleh T.H. Hari Sucahyo
Katolikana.com – Meskipun Paus Fransiskus telah wafat, dunia masih bergema dengan jejak spiritualitasnya yang lembut namun mendalam. Di antara berbagai warisan iman yang ditinggalkannya, ada satu benang merah yang mengikat seluruh kepausannya: cintanya yang tak tergoyahkan kepada Bunda Maria.
Bagi Paus Fransiskus, Maria bukan hanya figur teologis atau simbol liturgis. Ia adalah ibu yang nyata, pelindung umat, sahabat peziarahan rohani, dan terutama, pelita yang menuntun langkah dalam keheningan iman.
Dari hari pertama terpilih sebagai Uskup Roma, Fransiskus menyandarkan seluruh pelayanannya di bawah perlindungan Maria—terutama pada ikon Salus Populi Romani yang tersimpan di Basilika Santa Maria Maggiore.
Rumah Sunyi Sang Paus
Di tengah hiruk-pikuk Vatikan dan sorotan dunia, Paus Fransiskus kerap berjalan sendirian menuju basilika tua di jantung Roma itu. Tak perlu iring-iringan mewah atau publisitas besar.
Ia hadir dalam diam, berlutut di hadapan Maria, dan mempersembahkan segalanya: beban pelayanan, luka Gereja, harapan dunia. Santa Maria Maggiore bukan hanya tempat ziarah, melainkan rumah spiritual yang memeluknya dengan kasih keibuan.
Ketika terpilih pada Maret 2013, langkah pertama Fransiskus bukan menuju aula pers atau balkon St. Petrus, melainkan ke basilika Maria ini. Di sana, ia berdoa dalam senyap, mempersembahkan seluruh pontifikatnya kepada Bunda yang setia. Itulah gaya Paus Fransiskus: sederhana, tapi sarat makna.
Maria dalam Hidup Sehari-hari
Paus Fransiskus, yang tumbuh dalam tradisi devosi Marian di Argentina, membawa kebiasaan batinnya ke Roma. Devosi ini bukan bentuk sentimentalitas.
Ini adalah spiritualitas yang membumi. Dalam bayang-bayang Salus Populi Romani, ia melihat wajah Gereja: lembut, penuh belas kasih, dan terbuka bagi mereka yang rapuh.
Bagi Fransiskus, Maria adalah simbol Gereja yang merangkul—bukan menghakimi. Seorang ibu yang tahu pedihnya kehilangan, sunyinya penantian, dan dahsyatnya percaya dalam gelap. Maka tak heran, dalam setiap perjalanan kerasulan ke berbagai belahan dunia, ia selalu memulai dan menutupnya dengan doa di basilika ini.
Ziarah Fransiskus ke Santa Maria Maggiore adalah doa dalam bentuk tubuh. Bukan hanya ritual, tapi perjumpaan batin. Ketika dunia melihatnya di layar-layar media, Fransiskus justru mencari keheningan. Ia datang membawa air mata dunia dan pulang dengan wajah yang lebih damai.
Dalam Santa Maria Maggiore, Fransiskus belajar kembali menjadi anak. Seorang peziarah yang tahu batasnya, yang mengaku butuh rahmat, yang datang dengan segala letih dan pergi dengan kekuatan baru. Ia tahu, pelayanan bukan hanya tentang keputusan, tapi juga pengakuan akan ketergantungan pada kasih Allah.
Spiritualitas Maria, Spiritualitas Gereja
Di tengah tantangan zaman, Paus Fransiskus menunjukkan bahwa keheningan dan kelembutan bukan kelemahan, melainkan kekuatan rohani. Ketika Gereja diguncang krisis dan dunia kian terpecah, ia mengajak kita kembali ke dasar: mendengarkan, hadir, dan percaya. Tiga hal yang ia pelajari dari Maria.
Ia tidak pernah menyebut devosinya sebagai “agama Maria”, tetapi siapa pun yang memperhatikannya tahu: Maria hidup dalam tiap langkah pastoralnya. Dalam Maria, Fransiskus melihat teladan kesetiaan dan keberanian, dua pilar yang menopang Gereja sejati.
Santa Maria Maggiore kini menyimpan lebih dari sekadar sejarah panjang Gereja. Ia menyimpan jejak kaki Paus yang datang berkali-kali, bahkan tanpa diketahui media.
Ia menyimpan doa-doa yang tak terdengar, bunga-bunga yang tak tercatat, dan air mata yang tak terlihat. Semua menjadi bagian dari warisan rohani yang akan terus dikenang.
Bagi dunia, Paus Fransiskus adalah pemimpin Gereja. Tapi bagi Maria, ia adalah anak yang setia pulang ke rumah. Di basilika ini, ia tak membawa titel, hanya hati. Di kaki Maria, ia beristirahat bukan untuk lari dari dunia, tetapi untuk mengisi ulang kasih agar dapat kembali melayani.
Kini, ketika Paus Fransiskus telah tiada, basilika itu tetap berdiri. Namun setiap umat yang melangkah ke dalamnya, bisa ikut merasakan kehadiran Paus yang dahulu sering bersimpuh di sana.
Ziarahnya bukan milik pribadi, tapi warisan yang memanggil kita untuk meneladan: menghadirkan keheningan di tengah hiruk-pikuk, menjadikan Maria sebagai teman seperjalanan, dan percaya, bahkan di saat semua tampak gelap.
Dalam langkah sunyi menuju Maria, Fransiskus telah mengajarkan satu hal penting: bahwa cinta dan pengharapan tak pernah mati—selama kita berani berlutut dan percaya. (*)
Penulis: T.H. Hari Sucahyo, Umat Gereja St. Athanasius Agung, Paroki Karangpanas – Semarang
Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.