Katolikana.com—Dalam dunia yang begitu mengagungkan kemandirian, kekuatan, dan pencapaian, kita sering diajarkan untuk menjadi seperti pohon: berakar kuat, menjulang tegak, dan memberi manfaat bagi sekitarnya.
Kita ingin menjadi pribadi yang tidak merepotkan orang lain, yang sanggup menanggung beban sendiri, yang mampu berdiri meski diterpa badai kehidupan. Namun, hidup tak selalu berjalan dalam garis lurus menuju idealisme itu.
Ada kalanya kita rapuh. Ada waktunya kita tersesat, lelah, kehilangan arah dan pegangan. Dalam momen-momen seperti itulah, kita mungkin berubah menjadi sesuatu yang sering kita hina, kita tolak, atau bahkan kita takutkan: benalu.
Benalu, Simbol Ketergantungan?
Secara biologis, benalu adalah tumbuhan parasit yang hidup dengan menempel pada pohon lain, menyerap air dan nutrisi dari inangnya. Ia tidak tumbuh dari tanah, tetapi dari ketergantungan.
Karena sifatnya yang menyerap tanpa memberi, benalu sering dianggap sebagai hama. Dalam kehidupan sosial, sebutan “benalu” kerap digunakan untuk menggambarkan seseorang yang menumpang hidup, membebani orang lain, atau tidak mandiri.
Namun, jika kita berhenti sejenak dan merenung lebih dalam, benalu bisa menjadi cermin yang jujur bagi manusia. Bukankah kita semua, pada satu titik dalam hidup, pernah menjadi benalu?
Saat kita jatuh dan butuh bahu untuk bersandar. Saat kita menggantungkan semangat pada doa orang tua, pelukan pasangan, atau tawa sahabat. Saat kita menggenggam tangan orang lain agar tidak tenggelam dalam kecemasan yang sunyi. Apakah itu membuat kita lebih hina?
Tidak. Itu membuat kita manusia.
Ketergantungan Bukan Kelemahan
Dalam filsafat eksistensial, manusia dipahami sebagai makhluk yang rapuh dan terbatas. Kita tidak pernah benar-benar mandiri. Bahkan bayi yang baru lahir tidak bisa hidup tanpa pelukan hangat dan dekapan kasih.
Orang tua yang renta pun, pada akhirnya, akan menggantungkan diri pada orang-orang di sekitarnya. Ketergantungan bukanlah kelemahan; ia adalah bagian dari kodrat kita. Dan dalam ketergantungan itulah, kita menemukan kasih, empati, dan kerendahan hati.
Namun, ada perbedaan besar antara menjadi benalu yang merusak dan benalu yang tahu diri. Benalu yang merusak adalah mereka yang menghisap tanpa henti, yang tak peduli pada luka tempat ia bersandar. Ia menuntut, bukan menerima. Ia menyedot energi tanpa pernah belajar memberi.
Sebaliknya, benalu yang baik sadar akan keberadaannya. Ia tahu bahwa ia bergantung, dan karena itu ia menjaga. Ia tidak menyedot secara rakus, tetapi menempel dengan penuh kesadaran. Ia belajar—bukan hanya tentang bertahan, tapi tentang memberi kembali, meski dengan cara yang kecil dan sederhana: ketulusan, rasa terima kasih, atau kesetiaan yang tidak goyah.
Benalu yang Tahu Diri
Menjadi benalu yang baik adalah kesediaan untuk tidak malu mengakui bahwa kita butuh orang lain. Bahwa ada saatnya kita tidak sanggup sendirian. Namun, di saat yang sama, itu juga berarti tidak kehilangan kehormatan diri. Kita bertumpu, tapi juga tumbuh. Kita menerima, tapi juga belajar. Kita bergantung, tapi tidak lupa bersiap untuk menopang yang lain ketika waktunya tiba.
Seperti benalu yang pada akhirnya bisa menjadi tempat bertengger burung kecil, tempat bersembunyi serangga, bahkan kadang digunakan dalam pengobatan tradisional—ia pun bisa memiliki fungsi yang memberi makna.
Seseorang yang pernah menjadi benalu dengan bijaksana akan lebih peka saat melihat orang lain yang sedang rapuh. Ia tahu rasanya berada di titik terendah. Ia tidak mudah menghakimi, tidak gampang merasa lebih tinggi. Ia menawarkan tempat untuk bersandar—karena ia tahu, suatu hari nanti, ia pun mungkin kembali membutuhkan hal yang sama.
Dan di situlah lingkaran kasih berjalan. Kita saling menopang, saling menguatkan, saling menampung luka dan harapan. Bukan karena kita lemah, tapi karena kita satu tubuh.
Jika hari ini kamu merasa lemah, sedang menggantungkan harapan pada orang lain, jangan merasa malu. Dunia tidak selalu membutuhkan orang yang kuat, tapi selalu membutuhkan orang yang tahu kapan harus berpegang dan kapan harus melepaskan.
Biarlah kita menjadi benalu yang tahu diri. Yang menempel dengan lembut, yang tidak membuat inangnya lelah, yang suatu hari belajar memberi. Karena dalam dunia yang menuntut kita menjadi segalanya sendiri, memilih menjadi benalu yang baik adalah bentuk keberanian. Bentuk kebijaksanaan.
Dan barangkali, di mata Tuhan, menjadi benalu yang tahu caranya bersyukur, justru lebih berharga dari menjadi pohon yang sombong karena berdiri sendiri.
“Saling menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus.”
(Galatia 6:2) (*)
Kontributor Katolikana.com di Nabire, Papua Tengah. Gemar sepedaan dan bermusik. Alumnus FEB Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Bisa disapa via Instagram @reinaldorahawarin