Oleh Susy Haryawan
Katolikana.com—Di tengah upaya bersama mencerdaskan kehidupan bangsa, hadir satu ironi yang justru menimbulkan kegelisahan baru: putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang melarang sekolah menarik pungutan dari peserta didik dengan alasan bahwa pendidikan dasar telah didanai negara.
Sepintas, ini tampak seperti kemenangan besar bagi masyarakat—sebuah langkah maju menuju pendidikan yang lebih inklusif.
Namun jika ditelaah lebih dalam, putusan ini bak pisau bermata dua: menguntungkan sekolah negeri yang diguyur anggaran negara, namun berpotensi mematikan sekolah swasta yang justru menjadi garda terdepan di banyak wilayah tertinggal.
Sekolah Swasta yang Dilupakan
Mari kita mulai dengan sebuah fakta sederhana: sekolah negeri dibangun, difasilitasi, dan digaji oleh negara. Guru-gurunya adalah ASN atau PPPK yang digaji lewat APBN.
Operasionalnya ditopang pemerintah pusat maupun daerah. Bahkan gedung dan infrastruktur pun berasal dari anggaran publik.
Bandingkan dengan sekolah swasta—terutama yang dikelola oleh lembaga keagamaan atau yayasan kecil di pelosok negeri.
Gaji guru sering jauh di bawah UMR. Gedung bisa jadi nyaris ambruk. Sumber dana utama? Uang sumbangan siswa yang kerap disebut “pungutan.” Tanpa itu, sekolah bisa mati.
Sebutlah dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Di sekolah swasta, dana ini jauh dari cukup. Jika satu siswa mendapatkan Rp1 juta per tahun, dan sekolah hanya memiliki 240 siswa, total hanya sekitar Rp20 juta per bulan.
Bila ada 10 guru dan satu penjaga sekolah, bahkan sekadar menggaji mereka pun sudah defisit—belum listrik, fotokopi, kapur, air, atap yang bocor, atau jendela yang pecah.
Apakah MK mempertimbangkan realitas ini sebelum memutuskan larangan pungutan?
Paradoks
Mirisnya, justru di sekolah negeri-lah praktik pungutan liar marak terjadi—berlabel “uang gedung”, “uang kursi”, hingga “infak sukarela” yang nominalnya tak kalah fantastis dari SPP sekolah swasta elite.
Belum lagi penjualan LKS, buku paket, seragam, hingga perpisahan bernilai jutaan rupiah. Bahkan ada kisah mengiris: seorang biro perjalanan diminta memberi sepeda motor sebagai “tanda jadi” oleh kepala sekolah agar terpilih mengatur study tour. Ini terjadi di sekolah pinggir hutan—bukan di Jakarta Selatan.
Ironis, bukan? Sekolah negeri yang dibiayai negara justru melanggengkan pungutan. Sekolah swasta yang hidup dari partisipasi orang tua, justru dibatasi.
Apakah ini keadilan? Ataukah ini bentuk lain dari pemiskinan lembaga pendidikan berbasis masyarakat?
Bukan Gratisan Kosong
Sering kita terjebak dalam dikotomi keliru: kalau tidak gratis, berarti komersial. Padahal pendidikan, sebagaimana kata pepatah Jawa “jer basuki mawa bea”—kebaikan itu perlu biaya.
Memang negara harus menjamin akses seluas-luasnya, tapi bukan berarti semua hal menjadi gratis tanpa mempertimbangkan mutu dan daya dukung.
Gratis hanyalah nama lain dari subsidi silang atau beasiswa. Yang seharusnya gratis adalah pendidikan untuk keluarga miskin, anak yatim, atau yang terdampak bencana.
Namun jika semua digratiskan, siapa yang menjamin mutu? Siapa yang memelihara semangat partisipasi? Siapa yang mendanai guru-guru swasta yang mengabdi di desa-desa?
Justru pendidikan yang benar adalah kolaborasi: negara hadir sebagai penjamin kebijakan dan subsidi, dan masyarakat ikut serta sebagai penanggung jawab etis dan moral.
Atur, Bukan Larang
Alih-alih melarang semua bentuk pungutan, negara seharusnya mengatur dan membimbing. Jika seragam disalahgunakan sebagai ladang bisnis, atur harga dan penyediaannya.
Jika perpisahan menjadi ajang pamer kekayaan, arahkan pada gaya hidup sederhana—pakai aula sekolah, makan bersama seadanya, cukup baju putih hitam dan lagu-lagu kenangan.
Solusi tidak terletak pada pelarangan total, tapi pada edukasi publik dan pengawasan yang cerdas.
Demikian pula halnya dengan sekolah swasta. Bukannya dilarang memungut, seharusnya negara justru memberi insentif kepada sekolah swasta kecil dan keagamaan yang terbukti melayani wilayah terpencil dan komunitas marjinal.
Banyak dari mereka bukan lembaga bisnis, tapi lembaga pelayanan. Menyamaratakan sekolah elite dan sekolah pelosok dalam satu aturan adalah tindakan tak arif yang kontraproduktif.
Berpihak pada yang Lemah
Jika benar kita mau bicara keadilan, mari kita berpihak pada yang tidak bersuara: sekolah-sekolah kecil di pedalaman, guru-guru yang gajinya setengah UMR, anak-anak yang masih harus menyeberangi sungai atau menembus hutan untuk belajar.
Jangan biarkan putusan hukum berdiri di atas kertas, tapi mematikan kehidupan nyata di lapangan.
Seperti kata Paus Fransiskus, “Tidak ada keadilan tanpa kasih. Tidak ada kebijakan tanpa keberpihakan pada yang lemah.”
Dan dalam konteks ini, kasih itu berarti mengakui kenyataan sekolah swasta, memberdayakan mereka, bukan menutup pintu lewat larangan yang kaku. (*)
Penulis: Susy Haryawan, bukan siapa-siapa.
Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.