Katolikana.com — Di banyak paroki, pembangunan gedung gereja sering kali dirayakan bak pesta besar. Spanduk dibentang, panitia dibentuk, dan umat ramai-ramai bergotong-royong: ada yang menyumbang dana, ada yang menjual makanan, ada pula yang menggalang doa novena demi kelancaran proyek.
Semua terlihat aktif dan hidup. Gereja baru seolah menjadi simbol kebangkitan iman.
Tapi tunggu dulu.
Satu pertanyaan sederhana patut diajukan: setelah gedung gereja berdiri megah, apakah umatnya juga ikut bertumbuh dalam iman? Ataukah kita terlalu sibuk membangun dinding dan atap, sementara dinding rohani komunitas malah retak tanpa suara?
Gedung gereja memang penting. Liturgi memang butuh ruang yang layak. Tapi Gereja yang sesungguhnya bukanlah gedung. Gereja adalah umat Allah. Dan itu yang sering kali terlupakan.
Bukan Sekadar Bangunan
Rasul Paulus sudah lama mengingatkan kita: “Kamu adalah bait Allah dan Roh Allah diam di dalam kamu” (1 Kor 3:16). Ini bukan sekadar ayat hafalan anak BIA, ini adalah pengingat tajam bagi kita semua. Gereja bukan urusan arsitektur, melainkan tentang komunitas yang hidup dalam Roh.
Sayangnya, antusiasme umat sering kali memuncak saat penggalangan dana dan seremonial peresmian. Setelah itu? Sepi. Ruang-ruang yang tadinya riuh oleh rapat dan gotong royong mendadak lengang. Apakah semangatnya menguap bersamaan dengan selesainya proyek bangunan?
Gedung gereja bisa dibangun dalam hitungan bulan atau tahun. Tapi membangun umat? Itu pekerjaan seumur hidup. Tidak cukup dengan Misa Minggu atau retret setahun sekali. Kita butuh proses yang sabar dan tekun: katekese yang berkelanjutan, pendalaman iman, pelayanan sosial, formasi keluarga, dan penguatan kaum muda.
“Batu hidup” dalam Gereja adalah orang-orangnya. Dan batu ini harus terus diasah, dibentuk, dan dikuatkan. Tanpa itu, menara lonceng setinggi apapun akan kosong gema.
Jangan Salah Fokus
Pembangunan fisik itu nyata, bisa dilihat, difoto, dipamerkan. Tapi pertumbuhan iman? Itu tak kasat mata, tak bisa diukur dengan kamera drone. Maka godaan terbesar Gereja hari ini adalah menyamakan pertumbuhan iman dengan pertumbuhan infrastruktur.
Padahal, gereja yang megah tapi umatnya dingin, eksklusif, dan apatis itu seperti rumah indah yang kosong. Indah dilihat dari luar, tapi hampa di dalam. Kita butuh gereja yang hidup: yang ramah pada orang baru, yang hadir bagi yang sakit, yang mendengarkan jeritan diam umat kecil.
Sering kali, justru setelah gedung selesai, tantangan sesungguhnya dimulai. Bagaimana memastikan gereja itu bukan sekadar tempat, tapi rumah? Bagaimana menjadikan bangunan itu ruang perjumpaan, ruang pertumbuhan, dan ruang pengutusan?
Inilah saatnya kita balik fokus: dari mengumpulkan bata dan semen ke mengumpulkan hati dan semangat. Dari mengecat dinding ke mewarnai hidup bersama. Dari membangun altar fisik ke membangun altar kasih.
Ayo, Bangun Gereja yang Hidup!
Pembangunan gereja sejati bukan proyek satu kali, tapi perjalanan bersama. Kita semua dipanggil untuk menjadi tukang bangun: bukan hanya menyumbang uang, tapi juga menyumbang waktu, perhatian, dan cinta.
Gereja bukan sekadar tempat kita datang dan duduk selama satu jam. Gereja adalah tempat kita dibentuk, dipanggil, dan diutus. Dan semua itu tidak bisa terjadi kalau kita hanya mengandalkan megahnya gedung.
Karena pada akhirnya, ukuran kesuksesan pembangunan gereja bukan dari tingginya menara atau luasnya bangunan, tapi dari dalamnya iman dan luasnya kasih umat yang hidup di dalamnya.
Dan itu, saudara-saudari sekalian, hanya bisa dibangun kalau kita mau ikut serta: bukan cuma dalam pembangunan fisik, tapi dalam pertumbuhan rohani. Dari dalam hati, dari dalam hidup. Mulai sekarang.
Kontributor Katolikana.com di Nabire, Papua Tengah. Gemar sepedaan dan bermusik. Alumnus FEB Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Bisa disapa via Instagram @reinaldorahawarin