Paroki St. Paulus Kleca dan Paroki St. Antonius Padua Purbayan Solo Rayakan  Ekaristi 1 Sura

Ajak Umat Warisi Budaya Jawa

Surakarta, Katolikana.com – Tanggal 1 Sura merupakan hari pertama dalam kalender Jawa. Tradisi masyarakat Jawa bulan Sura digunakan sebagai bulan untuk melakukan “tirakat”, olah rohani, merenungkan peziarahan hidup dan mendekatkan diri untuk “Manunggal Ing Gusti” – mendekatkan diri pada Hyang Kuasa.

Sembahyang atau sembah-Hyang merupakan ungkapan iman berdoa dan memuliakan Hyang Maha Agung, Hyang Maha Luhur.

Tradisi Jawa ungkapan memuliakan Tuhan ditampakkan dalam sikap memberi hormat dengan mengatupkan dua telapak tangan dan diangkat di depan wajah atau dua jari jempol diletakkan di depan hidung.

Tirakat dan mempererat persaudaraan dalam acara “wedangan bersama”  di Paroki St. Paulus Kleca Surakarta(Foto Ist)

Tinggalkan Cara Hidup Lama

Penghormatan kepada Tubuh dan Darah Kristus dalam Perayaan Ekaristi 1 Sura serta ungkapan meninggalkan cara hidup lama, menapaki peziarahan hidup dengan cara baru, “tirakat” serta merenungkan Sabda Tuhan merupakan tradisi budaya dalam memaknai 1 Sura.

“Mengenali tanda-tanda zaman, mengenali kebaikan Tuhan, niteni atau mengingat kebaikan Tuhan merupakan cara menemukan kabecikan, kebaikan yang menyertai upaya untuk semakin dekat dengan Tuhan di bulan Sura,” ungkap Romo Aloysius Kriswinarto MSF, Kepala Paroki Gereja Santo Paulus Kleco Surakarta.

Hal itu disampaikan dalam homili Perayaan Ekaristi 1 Sura yang dilaksanakan pada hari Kamis (26/06/2025) di Paroki Kleca Solo.

Perayaan dilakukan dengan tata laksana Bahasa Jawa, dan lantunan lagu-lagu perayaan “gaya Jawa” serta iringan musik diatonis

Usai Perayaan Ekaristi Pastor Paroki bersama umat mengadakan acara “wedangan bersama,” menikmati hidangan ala angkringan yang bermakna ngawé kadang atau bersaudara – bersahabat satu sama lain umat di Paroki Kleca Solo.

Romo Walterus Teguh Santosa, SJ sebagai selebran utama dan Romo Antonius Bagas, SJ sebagai konselebran memimpin Pahargyan Ekaristi 1 Sura di Gereja St. Antonius Padua Purbayan Surakarta, Kamis (26/6/2025)

Warisan Budaya Dekat Titik Nol

Sementara itu, Gereja Santo Antonius Padua Paroki Purbayan Solo yang terletak di sebelah utara Balai Kota Solo, dekat titik 0 (nol) pada Kamis(26/6/2025) pukul 18.00 – 20.00 juga mengadakakan Pahargyan Ekaristi 1 Sura.

Tema yang diangkat Tansaya Sumunar Karana Berkah Dalem Gusti atau Semakin Bersinar Karena Berkat Rahmat Tuhan.

Titik 0 (nol) km di Kota Bengawan lokasinya tak jauh dari Pasar Gede dan juga Balai Kota Solo, yakni Tugu Pamandengan. Tugu titik nol km Solo ini menjadi titik fokus pandangan Raja Keraton Kasunanan Surakarta kala itu.

Raja Kasunanan menggunakan Tugu Pamandengan untuk memusatkan pikiran dalam menemukan solusi atas persoalan yang dihadapai rakyat pada zamannya.

Musik Gamelan iringi Tata Laksana Perayaan Ekaristi 1 Sura di Paroki St. Antonius Padua Purbayan Surakarta (Foto Ist)

Format Budaya Jawa

Pahargyan atau Perayaan Ekaristi di Gereja Santo Antonius Padua Purbayan Solo dilaksanakan dengan format budaya Jawa. Ada beberapa hal yang menandai Pahargyan Ekaristi sebagai ungkapan iman sekaligus mewariskan budaya Jawa.

Tata laksana Ekaristi yang dilakukan di antaranya:

1. Tata laksana Pahargyan Ekaristi menggunakan bahasa Jawa.

Awal prosesi petugas liturgi bersama Romo Selebran utama Romo Walterus Teguh Santosa, SJ dan Romo Antonius Bagas,  SJ sebagai konselebran, memasuki gereja dengan diawali oleh cucuk lampah atau petugas yang memimpin prosesi.

Ketawang Ibu Pertiwi menjadi pujian pembuka dengan lyrik lagu “Ibu pertiwi paring boga sandhang kang murakabi mring manungsa kang bekti.” (Ibu Pertiwi atau tanah air memberikan pangan  dan sandang yang mencukupi pada manusia yang berbakti).

2. Lagu pujian dan ordinarium menggunakan lagu-lagu yang diambil dari Buku Tata Perayaan Ekaristi Kidung Adi dengan musik iringan gamelan.

Paduan suara dan pemain musik gamelan mengenakan pakaian adat Jawa.

3. Bacaan Kitab Suci menggunakan Kitab Suci bahasa Jawa.

Bacaan dari Kitab Purwaning Dumadi ( Kejadian) 16:1-12,15-16 dan bacaan Injil dari Injil Matius 7:21-29.

4. Tembang Macapat.

Sebagai tembang yang sakral yang memuat tuntunan hidup, tembang macapat ditembangkan pada pembuka Misa dan pada saat homili ditembangkan oleh Romo Walterus Teguh Santosa SJ, Kepala Paroki Santo Antonius dari Padua Purbayan Solo.

Tembang Dhandhanggula yasan dalem atau karya Sri Susuhunan Paku Buwana IV yang terdapat pada Serat Wulangreh dengan teks.

Urip iku neng ndonya tan lami. Umpamane jebeng menyang pasar. Tan langgeng neng pasar bae. Tan wurung nuli mantuk. Mring wismane sangkane uni. Ing mengko aja samar. Sangkan paranipun. Ing mengko podo weruha. Yen asale sangkan paran duk ing nguni. Aja nganti kesasar.”

Terjemahannya:
“Hidup di dunia ini tidaklah lama. Ibarat kita ke pasar. Tidak selamanya berada di pasar. Pasti akan pulang. Pulang ke rumah asal. Jangan ragu. Kenali sejatinya asal-mula. Ketahuilah. Asal kita dari dari Allah pasti pulang kepada Allah. Jangan sampai tersesat.”

5. Fragmen Kisah Ajisaka Melawan Raja Dewata Cengkar di Kerajaan Medang Kemulan dipentaskan di depan altar Saat homili.

Raja Dewata Cengkar merupakan raja bengis yang menyengsarakan hidup rakyatnya. Suka memakan manusia. Aji saka menghentikan ketamakan Raja Dewata Cengkar dengan meminta tanah sepanjang ikat kepala yang setelah diurai menghantarkan Raja Dewata Cengkar terjerumus di Laut Kidul (Laut Selatan).

Kisah ini memberikan nasihat : “hidup dalam ketamakan, keserakahan tidak akan berlangsung lama dan dikalahkan dengan kebaikan.”

Fragmen Ajisaka melawan Raja Dewata Cengkar di Kerajaan Medang Kemulan saat homili Pahargyan Ekaristi 1 Sura di Paroki St. Antonius Padua Purbayan Surakarta (Foto Ist)

6. Pewarisan nilai-nilai budaya dan kebaikan dalam dialog antara Imam dengan kaum muda pemain fragmen.

Pada saat homili Romo Walterus Teguh Santosa, SJ  mengajak dialog kaum muda dan berharap kaum muda serta umat Paroki Purbayan memiliki sikap hidup yang mau peduli, melayani dan semakin memancarkan cara hidup yang baik sebagai ungkapan syukur atas rahmat Tuhan yang diterima dalam hidup.

Dialog Romo Teguh dengan pemain fragmen Ajisaka. Romo Teguh mengajak merefleksikan makna “Tansaya Sumunar Karana Berkah Dalem Gusti” atau “Semakin Bersinar Karena Berkat Rahmat Tuhan.” (Foto Ist)

7. Saat persembahan Punakawan Semar, Gareng, Petruk dan Bagong sebagai simbol “pamomong” atau pelayan yang mengabdi mengiringi petugas pembawa persembahan berupa roti dan anggur serta bunga persembahan.

Selain itu Punakawan juga mengiringi tiga tandu gunungan yang diusung masing-masing 4 pemuda yang membawa gunungan sayuran  dan buah-buahan sebagai bentuk persemban hasil bumi kepada Tuhan.

Pemercikan air berkat dilakukan selain pada persembahan yang diserahkan pada imam, petugas pembawa persembahan pun menerima pemercikan air suci.

Tiga gunungan sayuran dan buah-buahan lambang hasil bumi sebagai persembahan pada Pahargyan Ekaristi 1 Sura di Paroki St. Antonius Padua Purbayan Surakarta (Foto Ist)

Ekaristi Puncak Iman

Perayaan Ekaristi sebagai puncak iman dalam ungkapan:
Nyaosaken jiwa raga sesarengan roti sarta anggur. Katunggilna ing bujana kurban. Kurban agung Slira lan Rah Dalem.”
(Mempersembahkan jiwa raga bersama dengan persembahan roti dan anggur. Satukanlah, ya, Tuhan dalam Perjamuan Ekaristi Kudus Tubuh dan Darah Kristus).

Melalui Perayaan Ekaristi 1 Sura, Paroki Purbayan Solo hendak mensyukuri rahmat Ekaristi dan menjaga serta merawat budaya yang ada dalam hidup keseharian. Selain itu juga melestarikan budaya luhur yang memilki tuntunan hidup. (*)

Katekis di Paroki Kleco, Surakarta

Perayaan Ekaristi 1 SuraSura
Comments (0)
Add Comment