Menggali “Papuanisasi” Kurikulum

Saatnya Mulok Papua Menjadi Arus Utama Pendidikan
Titus Pekei

Oleh Titus Pekey

Katolikana.com—Jika Anda pernah duduk di bangku sekolah di tanah Papua, barangkali Anda ingat bagaimana pelajaran Muatan Lokal (Mulok) terasa seperti tempelan semata.

Padahal, di tanah multikultural seperti Papua, Mulok bukan sekadar tambahan, melainkan ruh pendidikan yang menjiwai siapa kita sebagai orang Papua.

Mari kita mundur sejenak ke 1 Januari 2000. Hari ketika Presiden KH Abdurrahman Wahid, Gus Dur, memulihkan nama “Papua” dari label lama “Irian Jaya”.

Bagi orang Papua, nama bukan sekadar sebutan, melainkan identitas, harga diri, dan pengakuan. Namun, lebih dari sekadar nama, Papua butuh pendidikan yang meneguhkan jati diri: kurikulum yang lahir dari, oleh, dan untuk tanah Papua sendiri.

Muatan Lokal: Lebih dari Sekadar Pelajaran Tambahan

Dalam Kurikulum Merdeka, Mulok diartikan sebagai mata pelajaran khusus yang menonjolkan potensi, keunikan, dan kearifan lokal. Pada tataran wacana, tujuan ini terdengar indah: melestarikan budaya lokal, menumbuhkan rasa cinta tanah air, dan menggali potensi daerah.

Namun di Papua, Mulok bukan hanya tentang mengenal motif noken atau menari Cendrawasih di pentas 17 Agustus. Ia seharusnya menjadi jalan menuju Papuanisasi pendidikan: mengembalikan hak orang Papua untuk dididik dalam cara pikir, nilai, bahasa, dan budaya mereka sendiri.

Apa makna Papuanisasi pendidikan? Ia berarti menempatkan kearifan lokal sebagai inti, bukan aksesori kurikulum. Artinya, siswa di Lanny Jaya harus belajar tentang teknik menenun dan pola barter tradisional Yali, anak-anak di Nabire perlu mengenal pola perladangan tumpangsari Mee dan Moni, sementara remaja Mimika belajar membaca alam dalam kosmologi Amungme.

Modul Pengembangan Noken Papua

Menjadi Papuani Sejati dalam Pendidikan

Menjadi Papuani bukan sekadar mengenakan koteka atau menari di upacara sekolah. Menurut penulis, Papuani berarti menjiwai identitas diri dan keberpihakan pada tanah dan komunitasnya secara sungguh-sungguh.

Bagaimana mungkin kita berharap generasi muda mencintai tanah mereka jika sejak bangku sekolah mereka dicekoki pengetahuan yang mengabaikan bahasa ibu dan adat mereka sendiri?

Contoh Mulok yang seharusnya diwajibkan misalnya:

  • Bahasa daerah: Bahasa Mee, Moni, Damal, Amungme, Dani, hingga Bahasa Sawi. Bahasa adalah ruh budaya, dan tanpa bahasa, identitas luntur perlahan.
  • Keterampilan lokal: Merajut noken, mengukir patung suci, meracik jamu tradisional, atau menenun kain kulit kayu.
  • Ilmu ekologis tradisional: Cara membaca tanda alam sebelum berburu, menanam berdasarkan peredaran bulan, atau praktik sasi dalam menjaga sungai dan laut.

Jika Kurikulum Merdeka mau relevan, maka di Papua ia harus menempatkan guru-guru lokal, mama-mama penenun, bapak-bapak pemburu, dan tetua adat sebagai co-teacher dalam proses belajar.

Penulis bersama Guru dan Siswa Sekolah.

Mengapa Penting?

Karena pendidikan tanpa konteks adalah pendidikan yang melahirkan keterasingan. Anak-anak Papua tumbuh cerdas dalam teori, namun gagap ketika diminta mengidentifikasi tanaman obat di kebun neneknya sendiri. Mereka fasih menganalisa neraca ekonomi makro, namun gagap saat harus bernegosiasi untuk menjaga hak ulayat kampungnya dari perusahaan tambang.

Di sinilah letak analisis kausal kita: kurikulum yang terputus dari tanah dan budaya melahirkan generasi yang tercerabut dari akarnya. Dan generasi yang tercerabut dari akar, akan sulit menegakkan pohon masa depannya.

Melangkah ke Depan

Kurikulum Mulok Papua harus:
Fleksibel: Disesuaikan dengan realitas setiap wilayah adat.
Kontekstual: Menggunakan bahasa lokal, contoh lokal, dan masalah nyata kampung.
Kolaboratif: Mengundang tokoh adat, seniman, dan praktisi budaya sebagai pengajar.
Berbasis proyek dan praktik: Belajar menenun noken bukan teori, melainkan latihan langsung dengan mama-mama di honai.

Ketika murid mempelajari Muatan Lokal dengan pendekatan demikian, mereka tak hanya memperoleh nilai akademis, tetapi juga martabat, kebanggaan, dan pengetahuan praktis untuk hidup.

Inilah inti pendidikan: mengantar manusia mengenali jati dirinya dan merawat tanah airnya dengan bijak.

Menjawab Panggilan Zaman

Jika Gus Dur mengembalikan nama Papua, maka Kurikulum Mulok harus mengembalikan jiwa Papua dalam pendidikan. Agar generasi muda bukan hanya lahir di tanah Papua, tetapi tumbuh menjadi Papua – dengan seluruh kebijaksanaan, keberanian, dan kasihnya kepada alam, adat, dan sesama.

Sebab pada akhirnya, Papuanisasi pendidikan bukan sekadar proyek kebijakan, melainkan perjuangan meneguhkan martabat. Dan pendidikan bermartabat hanya mungkin lahir dari tanah, bahasa, dan kebudayaan yang dihargai, dihidupi, dan diwariskan secara utuh kepada generasi mendatang.

“Tanah yang kita injak adalah guru terbaik, jika kita mau belajar mendengarkannya.” (*)

Penulis: Titus Pekei, Peneliti, Akademisi, dan Budayawan Papua

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

Muatan LokalMulokNokenPapuanisasi
Comments (0)
Add Comment