Oleh Susy Haryawan
Katolikana.com—Lagi-lagi, publik disuguhi kabar memilukan: aksi perusakan rumah singgah atau vila yang digunakan untuk retret anak-anak dan remaja oleh sekelompok massa intoleran, Jumat (27/6/2025). Rumah singgah itu beralamat di Kampung Tangkil RT 4 RW 1di Desa Tangkil, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi,
Ironisnya, tentara dan polisi hadir di lokasi – namun bukan untuk melindungi para korban, melainkan sekadar menonton atau bahkan terkesan mengawal para pelaku perusakan.
Ini bukan kisah baru di negeri ini. Sejak puluhan tahun, kita telah menyaksikan tragedi serupa. Alasannya pun selalu sama: “Bangunan itu tidak memiliki izin ibadah.”
Alasan klise yang dengan mudah membungkam hak asasi manusia. Padahal, proses perizinan rumah ibadah untuk minoritas kerap seperti menabrak tembok kokoh tak tertembus – penuh syarat diskriminatif yang menjadikan kebebasan beragama hanya slogan kosong belaka.
Salah Paham vs Paham yang Salah?
Ironisnya, di sisi lain kita melihat jalan-jalan umum dengan mudah ditutup untuk perayaan ibadah mayoritas. Tenda acara dibangun di tanah lapang tanpa izin resmi, dengan pengeras suara memekakkan telinga warga lain. Tidak ada yang menegur. Tidak ada aparat yang membubarkan. Bahkan seringkali justru turut hadir membuka acara.
Logika apa yang sedang digunakan oleh bangsa ini? Bukankah Pancasila menegaskan bahwa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia harus diutamakan? Bukankah UUD 1945 menjamin kebebasan beragama tanpa diskriminasi? Namun mengapa ketika kelompok minoritas melakukan ibadah sederhana, mereka harus melalui rintangan bak ujian neraka yang tak berkesudahan?
Dalam setiap kasus seperti ini, frasa “salah paham” kerap muncul. Namun sesungguhnya, masalahnya bukan salah paham. Masalah utamanya adalah pahamnya yang salah. Paham intoleransi yang menempatkan kelompok mayoritas sebagai penguasa tunggal ruang publik dan menindas minoritas seenaknya. Paham keliru yang menafsirkan demokrasi sebagai kebebasan absolut untuk mendominasi, bukan untuk berbagi ruang hidup bersama secara adil dan setara.
Polisi dan Tentara: Melindungi atau Membiarkan?
Yang lebih menyakitkan adalah melihat kehadiran aparat keamanan – polisi dan tentara – yang hanya berdiri menonton, membiarkan kekerasan dan intimidasi terjadi. Tugas polisi adalah melindungi rakyat. Namun dalam video yang beredar, mereka tampak kebingungan dan tak berdaya. Ketika kaca dipecahkan, pintu dirusak, anak-anak menangis ketakutan, tak satu pun aparat berupaya menghentikan amuk massa.
Untuk apa seragam cokelat dan hijau itu dikenakan, jika hanya untuk menakuti pengendara di jalan atau menilang supir truk, tetapi gentar menghadapi massa intoleran? Bukankah mereka digaji rakyat untuk menegakkan hukum, melindungi yang lemah, dan menjaga martabat bangsa?
Penyelesaian kasus seperti ini selalu dapat ditebak: ada ganti rugi atas kerusakan bangunan. Namun bagaimana dengan trauma anak-anak yang tengah berdoa saat bangunan mereka digedor dan dihancurkan? Bagaimana dengan rasa takut yang akan mereka bawa sepanjang hidup tentang menjadi minoritas di negeri sendiri?
Bangunan dapat dibangun kembali. Namun luka psikologis dan trauma keagamaan akan membekas dalam memori generasi muda. Nilai kemanusiaan, kasih, dan iman mereka pada hukum dan keadilan negara perlahan akan pudar, tergantikan oleh rasa takut dan apatisme.
Di mana Negara? Di mana Suara Pemuka Agama?
Negara ini berdiri atas Pancasila, bukan atas tafsir sepihak kelompok manapun. Namun dalam peristiwa semacam ini, negara kerap absen. Kemenag, KWI, PGI, NU, Muhammadiyah, Walubi, MUI – mengapa diam? Bukankah tugas pemuka agama adalah menegakkan keadilan dan melindungi martabat manusia, bukan sekadar menjaga citra institusi dan relasi politik?
Para pemuka agama minoritas juga perlu berani bersuara. Diam bukanlah pilihan. Diam hanya akan membiarkan siklus kekerasan dan diskriminasi terus berulang. Seperti kata Pastor Frans Magnis-Suseno, “Diam terhadap ketidakadilan adalah pengkhianatan terhadap kebenaran.”
Demokrasi bukanlah kebebasan mutlak menindas kelompok lain. Demokrasi adalah tanggung jawab bersama untuk hidup berdampingan dalam keberagaman. Ketika kelompok mayoritas menindas minoritas, itu bukan demokrasi, melainkan tirani massa.
Negara harus hadir. Polisi dan tentara harus kembali pada tugas mulianya: melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Menteri Agama harus menjadi menteri semua agama, bukan satu agama saja. Pendidikan toleransi tidak boleh sekadar slogan, melainkan perilaku nyata yang ditegakkan sejak dini hingga dalam praktik kebijakan negara.
Bangunlah Kesadaran Bersama
Jika hari ini kita membiarkan kekerasan dan diskriminasi terjadi, maka besok kita akan menuai perpecahan besar yang menghancurkan bangsa. Dan saat itu tiba, kita hanya akan menatap reruntuhan sambil bertanya dalam diam: mengapa kita tak pernah belajar dari sejarah?
Semoga suara hati nurani bangsa ini tidak benar-benar padam di tengah hiruk pikuk intoleransi yang kian menggila. Sebab pada akhirnya, Indonesia tidak diukur dari siapa yang mayoritas, melainkan dari bagaimana yang kuat melindungi yang lemah, dan yang berkuasa menghargai mereka yang tak bersuara. (*)
Penulis: Susy Haryawan, bukan siapa-siapa.
Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.
Toleransi beragama hanya slogan di bangsa ini. Mayoritas membungkam minoritas dengan setumpuk kemunafikan beriman