Pak Guru Bakri

“Jadilah terang di mana pun berada!” Pak Guru Bakri menyimpulkan.

Oleh Pitrus Puspito

Usianya tak lagi muda, namun dedikasinya untuk mengajar tak bisa diragukan lagi. Tiga puluh tahun ia mengabdi menjadi guru. Tak terhitung berapa banyak murid yang ia bimbing. Tak terhitung, berapa banyak muridnya yang telah jadi pengusaha, dokter, polisi bahkan politisi.

Pagi itu Pak Guru Bakri seperti biasa mengayuh sepeda tua kesayangannya menuju sekolah. Dengan penuh semangat dia kayuh sepedanya melewati perbukitan, pohon-pohon cemara dan jalan berbatu. Namun, pagi ini kesedihan terlihat pada wajahnya yang keriput.

Ada dua alasan yang membuat hati Pak Guru Bakri bersedih: ini adalah hari terakhir dia mengajar; dan dia mangkhawatirkan dunia pendidikan yang berubah akibat pesatnya perkembangan teknologi. Berubah menurutnya yaitu ke arah lebih buruk.

Di radio dia mendengar berita bahwa masa depan manusia akan digantikan robot, “Teknologi akan mengambil alih pekerjaan manusia!”

Suara itu terngiang-ngiang di kepala Pak Guru Bakri, “AI akan menggantikan guru dan seniman!” begitu yang dia simak bersama istrinya tadi malam.

Pak Guru Bakri begitu cemas membayangkan bahwa kemanusiaan akan terancam oleh mesin. Dia membayangkan bagaimana hubungan emosional antar manusia ketika mesin mengambil alih pekerjaan mereka. Ia membayangkan dirinya sebagai lelaki tua yang tidak akan banyak guna dan akan segera dilupakan.

Di tengah lamunannya, Pak Guru Bakri menyadari bahwa sekolah tempatnya mengajar sudah dekat. Kini dia harus berhat-hati menuruni bukit yang curam dan harus melewati genangan air.

Murid-muridnya telah menunggunya di dekat pintu gerbang sekolah yang terbuat dari bambu. Mereka tampak tersenyum menyambut guru kesayangan mereka itu dari kejauhan. Di sana juga ada seorang lelaki muda berpakaian rapi. Wajah lelaki mud aitu tampak asing bagi Pak Guru Bakri.

Salah seorang anak membawakan tas kulit Pak Guru Bakri, dan anak-anak yang lain menyertainya menuju ke gedung aula. Sementara lelaki rapi itu memperkanalkan diri sebagai Pastor Lukas yang akan menggantikan dirinya mengajar bahasa Indonesia.

Di di depan aula, para guru sudah berbaris siap menyambut Pak Guru Bakri. Pak Martin, sang sekolah langsung menyalami Pak Guru Bakri dan mempersilahkan masuk ke dalam aula. Ini adalah kejutan bagi Pak Guru Bakri.

Di dalam, semua murid sudah berkumpul dan bersorak gembira ketika Pak Guru Bakri memasuki aula tersebut, “Selamat datang Pak Bakri!” teriak mereka dengan kompak.

***

Meskipun sederhana, gedung aula sangat bersih dan rapi. Di sana-sini telah dihias dengan pita dan kertas warna-warni. Dan ada satu pemandangan menarik di belakang panggung, yakni kalimat bertuliskan “TERIMA KASIH ATAS PENGABDIANMU PAK GURU BAKRI.”

Pak Guru Bakri membaca tulisan besar itu. Ada kehangatan yang intim yang dia rasakan. Hari ini adalah hari pelepasannya. Murid-murid sengaja dikumpulkan untuk memeriahkan acaranya.

Murid-murid Pak Guru Baki sangat menyayanginya. Pak Guru Bakri adalah sosok guru yang tidak sekadar mengajar, tetapi selalu mewariskan nilai-nilai kepada para murid.

Para guru yang telah lama mengenal Pak Guru Bakri tahu persis integritas dan dedikasinya yang tinggi. Para ibu guru kini bahkan menitikan air mata mereka.

Pak Guru Bakri merasakan suatu kepiluan yang menyenangkan. Dia menyadari betapa semua orang menyayangi dan peduli padanya. Pak Guru Bakri tersentuh akan kasih sayang yang tulus itu.

Pak Guru Baki mulai berkaca-kaca ketika ia diminta memberi kata-kata perpisahan di panggung. Dia kemudian mengeluarkan sebuah kertas dari saku celananya dan membaca dengan suara yang bersih dan dalam:

Jika kulihat di jiwaku pesta yang tengah berjalan

Aku melihat masa depan murid-muridku seperti bintang-bintang malam kita

Nyalanya terang berwarna keemasan

Tahun demi tahun yang menyenangkan kujalani di sini

Semua cinta dan ilmu telah kuberi bagi murid-muridku

Kembali aku akan memberinya jika mereka memerlukan

Namun ada juga cemas yang menekan dalam dada …

Puisi itu belum selesai. Pak Guru Bakri menulisnya ketika hendak berangkat tadi. Ia berniat akan menyelesaikannya di ruang guru, tetapi sudah tidak sempat.

Puisi itu belum selesai, maka Pak Guru Bakri menutupnya dengan kalimat, “Terima kasih kalian semuanya. Bapak Ibu guru yang sabar dan penuh cinta, semoga selalu sehat dan semangat. Dan untuk anak-anakku, sukses selalu untuk studi kalian selanjutnya.”

Para guru terharu, sedangkan semua murid bertepuk tangan dan meneriakan nama Pak Guru Bakri. Namun, Pastor Lukas yang berdiri di ujung barisan siswa dapat menangkap kecemasan dan kesedihan yang dirasakan Pak Guru Bakri.

“Anda telah mencapai puncak karya Anda Pak Bakri” kata Pastor Lukas saat acara ramah tamah. “Anda berbeda dengan kebanyakan guru di dunia ini: dedikasi dan integritas Anda sangat menginspirasi semua guru di sekolah ini.”

“Terima kasih Pastor,” jawab Pak Guru Bakri dengan ramah.

“Puisi Anda bagus sekali, Pak Bakri, tapi saya menangkap ada kesedihan di balik puisi itu.” Komentar Pastor Lukas.

“Benar Pastor.” Kata Pak Guru Bakri mulai berterus terang. “Kita sebagai guru bahasa Indonesia pasti dapat menangkap maksud tersembunyi pada sebuah puisi.”

“Kalau boleh tau, apa yang membuat hati Anda bersedih Pak?”, tanya Pastor Lukas sambil menyeruput teh hangat yang ada ditangannya.

“Saya hanya cemas berlebihan, Pastor. Tentang masa depan pendidikan kita. Anda pasti telah membaca berita tentang kemunduran kualitas pendidikan tahun-tahun terakhir ini.” Jawab Pak Guru Bakri. “Tidak hanya murid yang menyimpang perilakunya akibat kemajuan teknologi, para guru pun juga banyak yang menyimpang dari peran utama mereka.”

Pastor Lukas memandang wajah Pak Guru Bakri sekilas. Lelaki tua di hadapannya ini benar-benar peduli tidak hanya pendidikan di sekolahnya bekerja, tetapi kualitas pendidikan di negeri ini.

Pastor Lukas juga memaklumi cara pandang guru senior seperti Pak Guru Bakri melihat realitas penurunan kualitas pendidikan akibat pesatnya perkembangan teknologi. Tak seorang pun dapat bertahan menghadapi laju teknologi informasi dahsyat itu. Pikir Pastor Lukas. Termasuk guru.

“Saya bisa memahami kekhawatiran Pak Bakri.” Kata sang pastor. “Namun saya masih percaya Pak, selama masih ada satu dua orang baik dalam sebuah instansi pasti mereka akan memberi pengaruh yang postif. Orang-oran baik layaknya terang lilin yang mampu menghalau kegelapan malam.”

Pak Guru Bakri terkejut sekaligus takjub mendengar komentar Pastor Lukas. “Apakah hal itu mungkin, Pastor?” Tanya Pak Guru Bakri dengan ragu.

“Saya sangat yakin akan hal itu Pak. Dan hari ini Pak Bakri telah membuktikan bagi kita semua.” Kata Pastor Lukas sambil tersenyum. “Sebagai pastor, saya sangat percaya Pak, bahwa dalam diri setiap manusia selalu ada kebaikan yang mudah tersentuh oleh kebaikan sesamanya.”

Pak Guru Bakri mulai tenang mendengar kata-kata sang Pastor Lukas. Dia juga percaya sepenuhnya bahwa sang pastor mud aini tidak hanya bisa menggantikan dirinya, namun akan menjadi cahaya bagi murid-muridnya dan warga sekolah lainnya.

“Pak Bakri, sekali lagi saya ucapkan selamat menjalani masa pensiun ya Pak. Semoga bapak dan istri selalu sehat dan bahagia” Kata Pastor Lukas.

“Terima kasih Pastor. Akan saya sampaikan salam Anda kepada istri saya.” Jawab Pak Guru Bakri.

***

Acara perpisahan Pak Guru Bakri telah usai. Di hari spesial ini, murid-murid diperbolehkan pulang lebih awal dari biasanya. Pak Martin, Pastor Lukas dan para guru mengiringi Pak Guru Bakri menuju ke gerbang.

Pak Guru Bakri mengambil sepeda tuanya yang terparkir di bawah pohon akasia. Dia tuntun sepeda itu sambil merasakan suasana terakhir dia menjadi guru. Sekali lagi ia pandangi gedung sekolah yang sederhana tapi rapi.

Ia melirik ruang guru di sebalah barat. Dia lewati lapangan kecil dengan tiang bendera berada di tengah-tengahnya. Di sekolah ini, ia mengabdikan dirinya selama tiga puluh lima tahun menjadi guru.

Sesampainya di gerbang Pak Martin dan Pastor menyalami Pak Guru Bakri untuk terakhir kalinya. Pastor Lukas memberikan satu novel kesukaannya kepada Pak Guru Bakri. “Pak Bakri, ini adalah novel favorit saya, semoga Anda menyukainya.”

Pak Guru Bakri familiar dengan novel itu. Ia pernah membaca sinopsisnya saat mengajar tentang buku fiksi dan nonfiksi kepada muridnya. Novel itu berkisah tentang perselisihan antara si jahat dan si baik. Pertarungan antara iblis dan manusia untuk merebutkan hati manusia.

Pak Guru Bakri tersenyum kepada Pastor Lukas sambil megucapkan terima kasih, “Saya pasti akan membacanya, Pastor.”

“Aku memiliki dua saku.” Kata Pastor Lukas tiba-tiba, “Masing-masing saku berisi secarik kertas bertulisan. Pada kertas di saku kanan, aku menulis: Aku bukan apa-apa selain debu dan abu. Kertas di saku kiri berbunyi: Aku harus menjadi terang dan garam dunia.” Kata Pastor itu kepada Pak Guru Bakri.

“Jadilah terang di mana pun berada!” Pak Guru Bakri menyimpulkan.

Pak Guru Bakri mengayuh sepedanya menuju rumah. Sepanjang perjalanan, Pak Guru Bakri begitu riang. Ia kayuh sepedanya sambil sesekali bersiul. Dia tak lagi khawatir tentang masa depan para muridnya juga masa depan pendidikan di negerinya.

Dia juga tidak khawatir akan hidupnya di masa-masa yang akan datang. Sebab di rumah, istrinya telah menunggunya dengan kasih sayang sejati. Dan hanya itulah yang dia perlukan di usia tuanya. (*)


Pitrus Puspito adalah guru dan penulis. Karyanya berupa puisi, cerpen dan esai pernah dimuat di media cetak maupun digital. Buku tunggalnya yakni kumpulan puisi berjudul Yang Hilang (2018). Dapat disapa lewat akun instagram: @pitruspiet.

 

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

Pak Guru Bakri
Comments (0)
Add Comment