Membentuk Imam Generalis: Belajar dari Romo Mangun dan Realitas Zaman

Keberhasilan pelayanan tidak cukup hanya dengan kecakapan akademis, melainkan kemampuan memahami kenyataan hidup umat secara empatik dan reflektif.

Yogyakarta, Katolikana.com – Dalam dunia yang semakin tidak menentu dan kompleks, Gereja membutuhkan pemimpin-pemimpin baru yang tidak hanya mumpuni secara intelektual, tetapi juga matang secara spiritual, terbuka terhadap kolaborasi, dan menghidupi semangat komunitas.

Semangat inilah yang ditekankan dalam retret formasi calon imam tingkat dua yang diselenggarakan Seminari Tinggi Santo Paulus Yogyakarta pada 1–8 Juli 2025.

Salah satu narasumber utama dalam retret ini adalah Romo Yohanes Yupilustanaji A, M.Hum, Pr, Direktur Politeknik Katolik Mangunwijaya, yang dikenal luas sebagai pendidik dan formator dengan perhatian besar pada pembinaan humanistik dan sosial-pastoral.

Pandemi sebagai Titik Balik

Dalam salah satu sesi retret, Romo Yupi—sapaan akrabnya—menyoroti bagaimana pandemi COVID-19 menjadi momen penting bagi Gereja dan masyarakat global untuk menyadari pentingnya kerja sama lintas sektor. Pandemi membuktikan bahwa tidak ada tantangan besar yang bisa diatasi sendirian, termasuk oleh Gereja.

“Pandemi memaksa kita keluar dari zona nyaman. Kita belajar bahwa pelayanan yang efektif lahir dari kolaborasi: medis, sosial, rohani, dan budaya. Calon imam masa depan harus siap memimpin dalam lanskap kerja sama seperti ini,” tegasnya.

Kepemimpinan yang Kolaboratif

Romo Yupi juga menekankan bahwa tantangan ke depan bagi para calon imam tidak hanya sebatas pandemi, tetapi juga radikalisme, persoalan kesehatan seperti HIV/AIDS, dan masalah sosial yang berakar pada budaya.

Ia mencontohkan kegagalan pendekatan monodisipliner dalam penanganan HIV/AIDS di sejumlah negara Afrika, di mana pembagian kondom tanpa pendampingan manusiawi dan kontekstual justru memperburuk keadaan. Bagi Romo Yupi, ini menjadi pelajaran berharga bagi para frater agar tidak mengandalkan satu pendekatan tunggal, melainkan membangun keterpaduan dengan berbagai disiplin dan latar belakang.

“Kolaborasi membutuhkan sikap terbuka, rendah hati, dan bebas prasangka. Tanpa ini, pelayanan kita akan kering dan tidak menjangkau akar persoalan umat,” ujarnya.

Teladan Romo Mangun

Mengutip semangat Romo Y.B. Mangunwijaya, Romo Yupi mengajak para frater untuk membentuk diri menjadi pribadi yang mampu menjalin persahabatan lintas batas—agama, budaya, maupun kelas sosial. Menurutnya, keberhasilan pelayanan tidak cukup hanya dengan kecakapan akademis, melainkan kemampuan memahami kenyataan hidup umat secara empatik dan reflektif.

“Romo Mangun bersahabat dengan siapa saja. Itu hanya mungkin kalau kita punya hati yang terbuka dan mau belajar secara menyeluruh: dari kitab suci, pengalaman hidup, dan suara batin sendiri,” kata Romo Yupi.

Menjadi Imam Generalis

Romo Yupi juga menegaskan pentingnya membentuk imam generalis: pemimpin Gereja yang berwawasan luas, empatik, dan mampu merangkul perbedaan. Dalam dunia yang penuh kompleksitas dan cepat berubah, imam seperti ini dibutuhkan untuk menjawab kebutuhan zaman.

Hidup komunitarian juga ditekankan sebagai fondasi pelayanan. Bagi Romo Yupi, hidup bersama bukan soal tinggal di tempat yang sama, melainkan membangun relasi kasih yang saling menguatkan.

“Hidup dalam komunitas bukan sekadar berkumpul. Itu adalah proses membangun persaudaraan sejati dengan kasih Kristiani. Inilah jiwa seorang calon imam,” ujarnya.

Melayani dengan Iman, Ilmu, dan Kasih

Sebagai pendamping retret, Romo Yupi tidak hanya memberikan materi, tetapi menyertai para frater dalam refleksi pribadi dan diskusi-diskusi kritis. Ia berharap para calon imam semakin kuat dalam iman, semakin terbuka dalam kolaborasi, dan siap menghidupi jiwa pelayan yang inklusif.

“Semoga melalui retret ini, para frater dibentuk bukan hanya menjadi pemimpin rohani, tetapi juga pribadi yang peduli, tangguh, dan hadir membawa kebaikan di tengah umat dan masyarakat luas,” pungkasnya.

Di tengah arus zaman yang tidak selalu bersahabat, para frater calon imam dipanggil bukan hanya untuk mengabdi di altar, tetapi juga menjembatani kasih Allah dengan dunia, menjadi wajah Injil dalam dialog, pelayanan, dan persaudaraan sejati. (*)

Kontributor: Priyo Wibowo, pengajar Politeknik Katolik Mangunwijaya, Semarang

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

RetretSeminari Tinggi Santo Paulus Yogyakarta
Comments (0)
Add Comment