‘Jual Tiket’ Untuk Misa: Ketika Pesta Yayasan Bak Konser Musik

Bila yang ditampilkan kini hanya glamor dan kemewahan, sementara nilai-nilai Kristiani memudar, jangan heran jika orang tua berpaling.
Susy Haryawan (Foto: Dokumentasi pribadi)

Oleh Susy Haryawan

Katolikana.com—Dalam beberapa tahun terakhir, pesta ulang tahun yayasan, peringatan berdirinya sekolah Katolik, atau syukuran tarekat religius semakin sering dirayakan dengan gegap gempita. Sayangnya, dalam banyak kasus, gegap gempita itu lebih menyerupai konser musik daripada perayaan iman.

Tak sedikit acara yang dikemas dengan pembagian tiket berbayar dalam skema kelas: platinum, gold, silver—persis seperti tata duduk dalam konser hiburan. Yang membuat miris, tiket ini mencakup juga Misa Syukur yang menjadi bagian tak terpisahkan dari acara.

Tentu saja, jika tujuan utama adalah penggalangan dana untuk misi sosial, pembangunan fasilitas sekolah, atau karya amal lainnya, penggunaan tiket berbayar bisa dimaklumi. Namun menjadi persoalan ketika konsep ini merambah ke ruang sakral: perayaan Ekaristi.

Misa Bukan Kelas Ekonomi

Misa Syukur seharusnya menjadi momen spiritual yang inklusif—ruang iman yang menyatukan semua umat dalam kesetaraan di hadapan Tuhan.

Ketika akses ke Misa dibedakan berdasarkan harga tiket, bahkan posisi duduk diatur sesuai kemampuan finansial, maka kita sedang mengaburkan makna terdalam dari Ekaristi. Bukankah Perjamuan Kudus justru menjadi simbol kesatuan umat Allah, tanpa memandang status sosial?

Wajar bila ada perbedaan tempat duduk untuk para pemimpin lembaga, pejabat dinas, atau pengurus yayasan di bagian depan. Tetapi jika posisi terdekat dengan altar hanya bisa diperoleh lewat “tiket platinum”, maka kita perlu bertanya: siapa yang sedang kita muliakan di dalam Misa?

Pisahkan Sakral dan Seremonial

Idealnya, bagian Misa Syukur diselenggarakan secara terbuka dan tanpa pungutan, sebagai ruang bagi seluruh civitas sekolah dan yayasan untuk merenungkan rahmat perjalanan misi pendidikan yang dijalani.

Sementara itu, panggung hiburan, konser, atau pentas seni boleh saja disiapkan dengan sistem tiket—sebagai bagian dari pesta rakyat yang terbuka untuk umum dan sekaligus mendukung penggalangan dana.

Dengan demikian, umat dan orang tua murid yang mungkin secara finansial terbatas tetap dapat terlibat dalam perayaan iman tanpa terbebani biaya.

Di sisi lain, masyarakat yang mampu dan ingin mendukung yayasan secara finansial tetap diberi ruang partisipasi. Ini juga menjadi momen edukatif: menunjukkan bahwa lembaga Katolik bisa merayakan syukur secara meriah tanpa melupakan nilai inklusivitas dan keadilan sosial.

Beban Tambahan di Tengah Tekanan

Fakta bahwa banyak sekolah Katolik saat ini sedang berjuang untuk bertahan sudah cukup menyedihkan. Beberapa hanya mampu membuka satu atau dua kelas, sebagian bahkan menjadi “pilihan terakhir” setelah sekolah negeri atau swasta lainnya.

 Di tengah kampanye pendidikan gratis dan kondisi ekonomi yang tidak menentu, orang tua murid—apalagi yang memiliki anak di beberapa jenjang dalam satu yayasan—kini dihadapkan pada beban baru: membeli tiket untuk menghadiri acara syukuran sekolah anaknya sendiri.

Pertanyaannya: apakah ini bagian dari biaya pendidikan, atau bentuk eksploitasi emosional yang dibungkus dalam kemasan “dukungan untuk yayasan”?

Apa yang Ditunjukkan?

Dalam konteks pluralitas, banyak sekolah Katolik juga menerima murid dari agama lain. Mereka menyekolahkan anak-anaknya karena percaya pada mutu pendidikan dan nilai-nilai Katolik yang ditawarkan.

Namun bagaimana kesan yang ditangkap ketika mereka menyaksikan Misa dijadikan ajang berbayar? Ketika kehadiran dalam syukur rohani dipersyaratkan oleh kemampuan membeli tiket?

Di sinilah letak krusial kesaksian Gereja. Yang membuat lembaga pendidikan Katolik dahulu begitu diminati bukan semata karena nama besar atau mutu akademik, melainkan karena kesaksian nilai-nilai Kristiani yang hidup—kejujuran, pelayanan, pengorbanan, dan perhatian pada yang lemah.

Bila yang ditampilkan kini hanya glamor dan kemewahan, sementara nilai-nilai itu memudar, jangan heran jika orang tua berpaling.

Berpesta Tanpa Melukai

Kegembiraan sah dirayakan. Syukur layak diungkapkan. Tetapi sebagai institusi Gereja, sekolah dan yayasan Katolik semestinya peka terhadap realitas umat.

Jangan sampai niat merayakan ulang tahun berubah menjadi beban psikologis dan finansial bagi orang tua. Jangan sampai liturgi kehilangan sakralitasnya karena dibungkus tata panggung yang komersial.

Gereja bukan event organizer. Ia adalah tempat pulang yang penuh belas kasih, bukan panggung seleksi berdasarkan dompet. Kita masih bisa bersuka cita tanpa harus menjual altar. Kita bisa tetap relevan tanpa kehilangan identitas. (*)

Penulis: Susy Haryawan, bukan siapa-siapa.

 

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

Yayasan Katolik
Comments (0)
Add Comment