Oleh Caecilia Stella
Katolikana.com—Dunia hari ini sedang tidak baik-baik saja. Kekacauan seakan menjadi pemandangan harian. Yang jahat semakin dinormalisasi, yang benar semakin dianggap aneh. Nilai-nilai tentang martabat manusia, kesucian hidup, dan tanggung jawab relasional terkikis pelan-pelan—bukan karena tidak ada orang baik, tetapi karena kita semakin terbiasa untuk diam.
Salah satu contoh kekacauan nilai itu tergambar dari viralnya pengakuan seorang aktris sekaligus influencer yang mengaku tengah mengandung sembilan bulan tanpa status pernikahan, lalu mengungkapkan dirinya diancam oleh pria yang menghamilinya.
Kita tentu bersyukur bahwa sang perempuan tidak menggugurkan anaknya. Namun, publikasi yang berlebihan terhadap kisah ini justru bisa berbalik arah: menormalisasi kehamilan di luar pernikahan. Bahkan, banyak komentar yang seolah memuji keberaniannya tanpa mengajak publik untuk berefleksi tentang nilai dan tanggung jawab.
Tindakan ini tentu bukan untuk menghakimi si ibu. Tetapi kita patut bertanya, apa dampaknya bagi sang anak ketika suatu hari ia menyaksikan pernyataan itu?
Bagaimana luka batin yang mungkin timbul jika ia merasa tak pernah diharapkan? Luka jiwa seperti ini bukan mitos; para psikolog menyebutnya sebagai “trauma janin”—rasa tertolak yang terbentuk bahkan sejak dalam kandungan.
Perempuan Bukan Objek, Lelaki Bukan Predator
Opini ini bukan hanya tentang perempuan. Ini tentang tanggung jawab bersama. Laki-laki dan perempuan, sama-sama perlu belajar mengendalikan diri.
Laki-laki sejati bukan yang merayu, lalu pergi. Laki-laki sejati justru menjaga dan menghormati perempuan. Dan perempuan, bukan sekadar korban atau objek pasif.
Perempuan juga punya kuasa untuk berkata tidak, untuk menjaga dirinya, untuk memilih menjauh dari situasi berisiko—bukan karena lemah, tetapi karena sadar akan martabatnya.
Amsal 25:28 berkata, “Orang yang tidak dapat mengendalikan diri adalah seperti kota yang roboh temboknya.” Tanpa pengendalian diri, kita mudah hancur, mudah diperalat, dan mudah pula melukai orang lain. Maka, menjaga diri bukan semata demi kehormatan sosial, tetapi demi kesehatan jiwa dan keutuhan relasi.
Tekanan Sosial
Ironi besar lainnya dalam masyarakat kita adalah bagaimana perempuan tanpa pasangan di usia 25 tahun ke atas justru mendapat stigma. Dianggap “tidak laku”, dijuluki “perawan tua”, bahkan didesak dengan pertanyaan klise: “Kapan nikah?”
Pertanyaan ini kadang diucapkan tanpa empati, hanya sebagai basa-basi, padahal dampaknya bisa sangat menyakitkan. Bukankah lebih baik mendoakan daripada menghakimi? Jodoh, seperti juga keturunan, bukanlah proyek manusia, melainkan rahasia Tuhan.
Celakanya, masyarakat kita yang dulu menganggap kehamilan di luar nikah sebagai aib, kini berubah 180 derajat: yang belum menikah ditertawakan, sementara yang hamil di luar nikah justru dipuja karena “berani tampil apa adanya”. Di mana letak nilai dan arah moral kita?
Kita boleh mengapresiasi keberanian untuk tidak menggugurkan nyawa, tetapi jangan sampai ini menjadi pintu pembenaran atas tindakan yang jelas-jelas bertentangan dengan martabat hidup beriman. Bahaya terbesar dari dunia yang membingungkan bukan kejahatannya, tapi ketika kebaikan menjadi samar.
Jalan Pulang Itu Selalu Ada
Namun, hidup bukan hanya tentang penilaian. Injil bukan tentang menghukum. Kristus datang bukan untuk mencela, tetapi untuk menuntun pulang. Maka, bagi siapa pun yang merasa hidupnya telah “terlanjur” hancur, tetap ada jalan pulang.
Tuhan tidak menutup pintu bagi siapa pun yang ingin kembali. Ia menyambut mereka yang mau bertobat, mau berubah, dan mau setia.
Bertobat bukan sekadar berhenti berbuat salah, tapi mulai membangun hidup baru dengan kesadaran penuh akan nilai diri. Dunia boleh kacau, tapi hidup kita tak harus ikut hancur. Jadilah pribadi yang berprinsip, yang tahu batas, dan yang menghargai tubuh sebagai bait Roh Kudus.
Karena ketika kamu menghargai dirimu sendiri, dunia akan belajar untuk ikut menghargaimu. (*)
Lahir di Bandung, domisili Jakarta. Pemerhati pendidikan, isu sosial, dan psikologi umum. No IG, prefer genuine relationship. Let’s make Indonesia greater than before!