Oleh Efanius Rimlon
Katolikana.com–Bumi kita sedang sakit parah. Setiap hari kita disuguhi berita tentang banjir yang meluluhlantakkan kota, kebakaran hutan yang menyesakkan paru-paru, suhu udara yang kian panas, dan laut yang penuh plastik. Ironisnya, semua ini bukan sekadar akibat “bencana alam”, melainkan buah dari ulah manusia yang terlalu mencintai dirinya sendiri.
Seperti diingatkan Santo Agustinus dalam Confessiones: “Gelisahlah hati kami sampai ia beristirahat dalam Engkau.” Namun sebelum menemukan damai itu, hati kita mudah tergoda oleh cinta yang salah arah—cinta kepada kenyamanan, kekuasaan, dan keuntungan pribadi. Bukan cinta kepada Sang Pencipta dan seluruh ciptaan-Nya.
Cinta yang Salah Tempat
Krisis ekologis sejatinya bukan hanya soal alam yang rusak, tetapi juga jiwa manusia yang kosong. Agustinus menyebutnya sebagai ordo amoris—tatanan cinta. Ketika urutan cinta kacau, kita menaruh benda, ambisi, dan gengsi di atas kebaikan, kebenaran, dan Allah sendiri. Hasilnya: cinta yang rusak melahirkan kerakusan dan kesombongan.
Kenyataan ini begitu nyata di tanah air.
- Kalimantan, yang dulu dijuluki “paru-paru dunia”, kini kehilangan jutaan hektare hutan demi sawit dan tambang batu bara.
- Sulawesi Tenggara, khususnya Wawonii, menyaksikan masyarakat adat terusir dari tanah leluhur akibat tambang nikel.
- Labuan Bajo, surga wisata yang kian dikomersialisasi, perlahan kehilangan wajah aslinya: pantai dan hutan berubah jadi kawasan bisnis eksklusif.
Semua ini dilakukan atas nama “pembangunan”. Tetapi, sebagaimana dikatakan Thomas Berry, pembangunan yang tidak berakar pada kasih hanya membangun jalan menuju kehancuran ekologis.
Paus Fransiskus dalam Laudato Si’ menegaskan hal serupa: “Krisis lingkungan adalah panggilan mendesak untuk sebuah pertobatan ekologis yang mendalam” (LS, 217). Manusia bukan penguasa mutlak atas bumi, melainkan penjaga dan pengelola yang harus bertanggung jawab.
Alam yang Menjerit, Manusia yang Lupa
Kerusakan ekologis tidak pernah netral. Yang paling terdampak adalah mereka yang lemah: petani kecil, masyarakat adat, perempuan, dan anak-anak. Tanah longsor menghancurkan sawah, air tercemar meracuni anak-anak, hutan hilang membawa wabah penyakit.
Sayangnya, banyak umat beragama keliru memahami Kitab Suci. Ayat “taklukkanlah bumi” (Kej. 1:28) kerap diartikan sebagai izin mengeksploitasi alam, padahal maksudnya adalah amanat untuk merawatnya. Paus Fransiskus mengingatkan: “Kita bukan pemilik dunia ini, melainkan tamu dan pengelola” (LS, 67).
Agustinus pun menegaskan, siapa yang sungguh mencintai Tuhan, tidak mungkin merusak ciptaan-Nya. Alam adalah karya agung Sang Pencipta. Merusaknya sama saja dengan menghina Dia yang menciptakannya.
Pertobatan Ekologis, Bukan Sekadar Teknologi
Banyak yang berpikir solusi krisis ekologi ada di tangan teknologi hijau atau kebijakan pemerintah. Padahal, sebagaimana disadari Agustinus, akar masalah ada di hati manusia. Maka solusinya adalah pertobatan ekologis: perubahan cara pandang dan cara hidup.
Pertobatan itu bisa dimulai dari hal sederhana: mengurangi sampah plastik, hemat energi, menanam pohon, mendukung produk ramah lingkungan. Namun lebih dalam lagi, kita butuh mendidik hati: mengajarkan generasi muda untuk mencintai alam bukan karena ekonominya, tetapi karena ia adalah rumah bersama.
Paus Fransiskus menyebut ini sebagai ekologi integral: “Segala sesuatu saling terkait” (LS, 91). Merawat alam berarti juga merawat kemanusiaan kita sendiri, sebab kerusakan lingkungan selalu berhubungan dengan krisis sosial, ekonomi, dan spiritual.
Cinta yang Menyembuhkan
Agustinus menulis: “Cintailah, dan lakukan apa yang kau kehendaki.” Pernyataan ini bukan ajakan bebas semaunya, melainkan penegasan bahwa cinta sejati akan melahirkan tindakan yang benar.
Jika kita sungguh mencintai Allah, kita akan merawat bumi. Jika kita sungguh mencintai sesama, kita tidak akan menutup mata terhadap penderitaan masyarakat adat yang kehilangan tanahnya. Jika kita sungguh mencintai anak-anak kita, kita tidak akan mewariskan bumi yang gersang dan penuh luka.
Selama hati manusia masih dikuasai keserakahan, alam akan terus terluka. Tetapi jika kita berani berbalik kepada cinta yang tertinggi, maka luka ekologis bisa dipulihkan. Jiwa yang sembuh akan menumbuhkan bumi yang sehat.
Paus Fransiskus mengingatkan: “Kita dipanggil untuk menjadi alat Allah Bapa agar bumi kita menjadi apa yang Ia kehendaki, yakni rumah bersama penuh kehidupan” (LS, 53).
Kini saatnya berbalik, membangun hidup yang bersumber dari kasih. Cinta yang menyejukkan, bukan membakar. Cinta yang menyembuhkan, bukan melukai. Karena hanya dengan cinta sejati, bumi bisa kembali menjadi rumah damai bagi semua makhluk ciptaan. (*)
Penulis: Efanius Rimlon, Mahasiswa FTW Kentungan Yogyakarta.
Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.