Oleh Susy Haryawan
Katolikanac.om–Dalam beberapa bulan terakhir, Indonesia kembali dirundung berita yang menyesakkan hati: kasus intoleransi yang seolah tak kunjung henti.
Dari Sukabumi, Padang, hingga Kediri, praktik perundungan, pembubaran kegiatan keagamaan, dan penghentian pembangunan rumah ibadah masih saja terjadi.
Kota Sukabumi—yang selama ini dikenal sebagai salah satu kota tertoleran—baru saja tercoreng oleh aksi perundungan dalam sebuah retret remaja. Belum usai luka itu, Kediri menyusul dengan kabar serupa: pembangunan sebuah gereja dihentikan oleh aparat, meski seluruh perizinan sudah lengkap—bahkan melampaui syarat minimal.
Dari 60 persetujuan warga yang diwajibkan, terkumpul 65 tanda tangan. Dari 90 jemaat yang dipersyaratkan, hadir lebih dari 200. Ironisnya, semua itu dianggap seolah tidak ada, dan jemaat diminta kembali mengulang proses dari nol.
Pertanyaannya sederhana: apa arti konstitusi jika pada praktiknya justru diabaikan?
Kubu Raya: Ketika Pemerintah Hadir dan Tegas
Mari kita tengok ke Kalimantan Barat, tepatnya di Kabupaten Kubu Raya. Beberapa waktu lalu, forum RT di wilayah ini menyatakan penolakan pembangunan sebuah gereja. Situasi mulai panas, apalagi ketika kelompok etnis Dayak menyatakan dukungan untuk pembangunan rumah ibadah itu—potensi konflik horizontal kian nyata.
Namun, Bupati Kubu Raya hadir. Ia menegaskan bahwa hak beribadah adalah jaminan konstitusi, bukan hadiah mayoritas. Ia menjembatani kesulitan kelompok minoritas dan memastikan solusi ditempuh. Pemerintah tidak sekadar menjadi penonton atau “ikut arus”, melainkan hadir sebagai penegak Pancasila.
Bandingkan dengan Kediri. Alih-alih mengayomi, pemerintah kota justru menghentikan pembangunan. Padahal, semua syarat administratif telah terpenuhi. Macetnya proses di Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) menjadi alasan, meski publik tahu bahwa forum ini kerap menjadi titik rawan dalam kasus-kasus serupa.
Ketika Izin Tak Lagi Berarti
Mengapa tanda tangan yang sudah lengkap tiba-tiba dianggap tak sah? Mengapa warga diminta mengulang permohonan? Sangat mungkin, ada tekanan agar warga yang sebelumnya setuju mencabut persetujuannya. Praktik intimidasi seperti ini bukan hal baru—dan sayangnya, pemerintah seakan memberi ruang bagi modus tersebut.
Di era media sosial, pembentukan opini begitu mudah dan masif. Hanya melalui grup WhatsApp, isu bisa menyebar dengan cepat, memperkeruh suasana, bahkan membuat aparat “ngeper” menghadapi tekanan massa. Jika pemerintah saja takut, bagaimana dengan warga biasa?
Inilah bukti dini bahwa kelompok penolak merasa berada di atas angin. Dan korban—umat minoritas—lagi-lagi menderita dua kali.
Pejabat: Jangan Nyari Aman
Pancasila jelas menyatakan keberagaman sebagai dasar hidup berbangsa. Namun di banyak daerah, pejabat justru memilih aman dengan mengikuti suara mayoritas. Popularitas untuk pilkada lebih diutamakan ketimbang keberanian menegakkan hukum.
Ini logika yang keliru. Demokrasi bukan sekadar menghitung suara terbanyak, tetapi menjamin hak setiap warga negara—termasuk yang minoritas. Mayoritas tidak otomatis benar, minoritas tidak otomatis salah.
Ketika peraturan perundang-undangan sudah jelas, namun implementasi diabaikan, yang terjadi adalah negara absen dalam melindungi rakyatnya. Aparat yang seharusnya mengayomi, malah ikut menghentikan.
Jangan Biarkan Hukum Rimba Menjadi Panglima
Pemerintah tak cukup hanya berkata, “Ini salah paham.” Ini bukan salah paham, tetapi paham yang salah. Selama pejabat masih menggunakan afiliasi tertentu sebagai kompas, konstitusi hanya akan jadi hiasan.
Sikap tegas kepala daerah sangat menentukan. Lihat Kubu Raya—konflik potensial bisa diredam karena pemimpinnya hadir, jelas, dan berpihak pada konstitusi. Sementara di Kediri, justru sikap lembek pemerintah membuat kelompok intoleran makin berani.
Jangan tunggu konflik horizontal pecah. Jangan tunggu amarah rakyat yang terus menerus merasa ditindas akhirnya meledak. Perangkat hukum kita tidak buruk. Yang mandul adalah keberanian menggunakannya.
Pancasila bukan jargon, tetapi pegangan. Dan pejabat publik dipanggil bukan untuk nyari aman, melainkan menjaga amanah seluruh rakyat. Jika tidak, intoleransi akan terus terulang—dan bangsa ini akan makin jauh dari cita-cita kemerdekaan: melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. (*)
Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.