Oleh Nikolaus Molan Teluma
Katolikana.com—Di tanah Flores, NTT, wacana panas bumi akhir-akhir ini mengemuka di hampir setiap forum pembangunan. Pemerintah menargetkan Flores sebagai “pulau geothermal,” dengan ambisi menghadirkan energi bersih dan terbarukan.
Namun, di balik janji energi “ramah lingkungan” itu, muncul pertanyaan mendasar: apakah cara kita mengelola geothermal benar-benar mencerminkan rasa hormat dan relasi sehat terhadap alam?
Di sinilah pemikiran Martin Buber, filsuf dialogis asal Austria, terasa relevan. Buber membedakan dua cara manusia berelasi dengan dunia: Aku–Kamu (I–Thou) dan Aku–Itu (I–It).
Relasi Aku–Kamu melihat alam sebagai sahabat dan subjek setara yang patut dihargai. Sebaliknya, relasi Aku–Itu menempatkan alam sebagai objek mati, sekadar sumber daya yang bisa diolah sesuka hati.
Banyak proyek energi terbarukan mengklaim “ramah lingkungan,” tetapi praktiknya sering tetap eksploitatif. Pertanyaannya: apakah geothermal di Flores akan menjadi contoh relasi Aku–Kamu, atau justru mengulang pola Aku–Itu yang merugikan manusia dan alam?
Energi Bersih yang Tidak Selalu “Bersih”
Secara teknis, geothermal memang menggiurkan. Ia stabil, relatif minim emisi, dan mampu mengurangi ketergantungan pada fosil. Namun, di lapangan, cara mengelolanya sering menimbulkan persoalan.
Kasus Poco Leok, Manggarai, menjadi sorotan. Pemerintah ingin menggarap potensi geothermal di sana, tetapi warga menolak keras.
Mereka khawatir tanah ulayat rusak, longsor meningkat, dan keseimbangan sosial-budaya terganggu. Bagi mereka, tanah bukan sekadar lahan ekonomi, melainkan ruang hidup, tempat berdoa, bercocok tanam, dan menjaga warisan leluhur.
Dari kacamata Buber, sikap warga Poco Leok menunjukkan relasi Aku–Kamu: tanah sebagai mitra kehidupan. Sebaliknya, pendekatan top-down pemerintah menandakan pola Aku–Itu: tanah sebagai objek untuk target pembangunan. Energi boleh “bersih” di atas kertas, tetapi jika merusak akar budaya dan menindas komunitas, ia tetap kotor secara moral.
Dari Buber ke Boff, Rahner, dan Laudato Si’
Leonardo Boff, teolog ekologi pembebasan, mengingatkan: alam adalah bagian dari komunitas kehidupan yang setara. Ia punya hak-haknya sendiri, dan harus dihormati. Pandangan ini sejalan dengan Laudato Si’ Paus Fransiskus yang menuntut perawatan bumi sebagai “rumah bersama.”
Karl Rahner pun melihat dunia sebagai medium of grace — medan rahmat, tempat manusia mengalami Allah. Jika geothermal dikelola dengan mengabaikan masyarakat adat dan ekosistem, maka kita gagal mengenali dimensi transendental alam sebagai tanda kehadiran ilahi.
Menggeser Paradigma Energi
Kita tidak diminta menolak geothermal mentah-mentah. Justru sebaliknya, energi panas bumi bisa menjadi solusi masa depan jika dikelola dengan paradigma baru:
- Dialog sejati dengan masyarakat adat
Bukan sekadar sosialisasi, tetapi mendengar, mengakui, dan menghargai nilai spiritual tanah serta hak ulayat. - Teknologi yang benar-benar ramah lingkungan
Metode tertutup (closed-loop) harus diutamakan untuk mencegah pencemaran dan kerusakan ekosistem. - Pendidikan ekologi lintas generasi
Pemerintah, Gereja, sekolah, dan OMK dapat menjadi agen kesadaran bahwa bumi adalah rumah, bukan pabrik tak terbatas.
Suara Gereja yang Tegas
Di Flores, Gereja lokal tidak diam. Mgr. Paulus Budi Kleden, SVD, Uskup Agung Ende, menyatakan penolakannya terhadap proyek geothermal di titik-titik yang mengancam keselamatan manusia dan ekosistem.
“Setelah mendengar kesaksian dari Sokoria dan Mataloko, saya menentukan sikap menolak geothermal di sejumlah titik yang diidentifikasi. Kita perlu mendorong resistensi dari umat, memberikan informasi yang ilmiah dan kesaksian nyata, serta melibatkan bantuan hukum,” tegasnya.
Pernyataan ini menegaskan bahwa iman Kristen tidak hanya soal surga, tetapi juga bumi. Merawat ciptaan adalah wujud iman, dan Gereja punya tanggung jawab profetis untuk mengingatkan publik agar pembangunan tidak semata berorientasi profit.
Bisakah Geothermal Menjadi “Aku–Kamu”?
Jawabannya: bisa. Tetapi hanya jika manusia mengubah cara pandang. Geothermal akan menjadi sahabat jika dikelola dengan kesadaran ekologis, teknologi bersih, partisipasi aktif masyarakat adat, dan penghormatan pada budaya lokal. Tanpa itu, panas bumi akan tetap menjadi wajah baru eksploitasi: bersih secara teknis, tetapi kotor secara relasional.
Harapan untuk Flores
Flores punya peluang emas menjadi model energi bersih yang adil dan berkelanjutan. Gereja, akademisi, pemerintah, dan warga dapat duduk bersama merancang geothermal yang bukan hanya mengalirkan listrik, tetapi juga menyalakan budaya dialog dan menghormati bumi.
Mungkin inilah saatnya kita belajar memanggil alam sebagai “Kamu” — sahabat yang setara — bukan lagi “Itu” yang bisa diperas habis. (*)
Penulis: Nikolaus Molan Teluma, mahasiswa Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.