Oleh Yovendi Mali Koli, CMF
Katolikana.com—Saya pernah satu pesawat dengan dua turis asing. Dari wajah dan aksen mereka, saya menduga keduanya mahasiswa Prancis yang sedang melakukan riset di Indonesia.
Saat itu, kami terbang dari Surabaya menuju Kupang, Nusa Tenggara Timur. Setelah satu jam mengudara, salah seorang bertanya, “Are we still in Indonesian airspace?”
Saya menjawab singkat, “Yeah, of course.” Mereka terkejut. “If this were Europe, we’d have already passed through several countries by now,” lanjutnya.
Percakapan singkat itu kembali menyadarkan saya pada keunikan tanah air Indonesia. Betapa luas negeri ini, betapa beragam isinya. Dan lebih dari itu, betapa ajaibnya Indonesia bisa bertahan sebagai satu kesatuan di tengah keragaman yang luar biasa, sebuah kenyataan yang sulit dicapai banyak bangsa lain.
Eropa dan Sejarah Perpecahan
Dalam sejarah peradaban dunia, kita mengenal banyak imperium besar: Babilonia (626–539 SM), Asyur (911–609 SM), Yunani Helenis (323–31 SM), Romawi (27 SM–476 M), hingga Turki Ottoman (1299–1922 M).
Imperium-imperium ini mencapai puncak kejayaan dengan peradaban yang maju serta pengaruh luas bagi dunia, namun akhirnya runtuh, pecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil, bahkan negara-negara modern.
Ambil contoh Eropa. Imperium Romawi yang sempat menguasai daratan luas, pecah berkeping-keping akibat pemberontakan raja-raja kecil. Kerajaan besar seperti Britania Raya juga terfragmentasi menjadi Inggris, Wales, Skotlandia, dan Irlandia. Uni Soviet pun bubar, melahirkan 15 negara merdeka.
Ironisnya, masyarakat Eropa yang relatif homogen secara ras, budaya, dan bahasa—berkulit putih, berbahasa turunan Latin atau Jermanik, serta berbagi sejarah panjang—justru gagal menjaga kesatuan.
Fenomena serupa juga terjadi di Timur Tengah, yang hingga kini masih terjebak dalam konflik berkepanjangan.
Indonesia: Sebuah Keajaiban Persatuan
Kisah Indonesia berbeda. Kekaguman dunia, termasuk mendiang Paus Fransiskus, bukanlah tanpa alasan. Dalam kunjungan ke Indonesia (2024), Paus menulis di buku tamu Istana Negara:
“Terpesona oleh keindahan negeri ini, tempat perjumpaan dan dialog antara budaya dan agama-agama yang berbeda, saya berharap rakyat Indonesia bertumbuh dalam iman, persaudaraan, dan bela rasa. Tuhan memberkati Indonesia.”
Fakta sosiologis menunjukkan, Indonesia terdiri dari 17.380 pulau, 1.340 suku bangsa, 718 bahasa daerah, enam agama resmi, dan puluhan aliran kepercayaan. Dengan kondisi geografis dan sosial sekompleks ini, sungguh ajaib Indonesia bisa berdiri sebagai satu negara.
Eropa gagal bersatu meski relatif homogen. Indonesia justru mampu menyatukan perbedaan ekstrem. Maka tak berlebihan bila Paus menyebut Indonesia sebagai simbol “peradaban persaudaraan.”
Komunitas Ketidaksepakatan
Indonesia bukanlah bangsa yang steril dari perbedaan, bahkan dari pertentangan. Namun, perbedaan justru menjadi fondasi hidup bersama. Filsuf Jerman Rainer Forst menyebutnya community of disagreement—komunitas ketidaksepakatan.
Dalam Toleration in Conflict (2013), Forst menegaskan bahwa perbedaan merupakan konsekuensi eksistensial: setiap orang lahir dari latar budaya, identitas, dan iman yang berbeda.
Perbedaan ini memang bisa memicu konflik, tetapi juga bisa memperkaya. Seorang siswa Muslim di sekolah Katolik, misalnya, menghadirkan makna toleransi yang nyata. Nilai toleransi tidak lagi berhenti di ruang teori, tetapi dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
Sejarawan Benedict Anderson menyebut lahirnya kesadaran bersama ini sebagai imagined community—komunitas yang dibayangkan (Anderson, 1991).
Orang tidak lagi berpusat pada perbedaan, melainkan mencari persamaan nilai: kebebasan, keadilan, kesetaraan, dan perdamaian. Inilah yang memungkinkan bangsa Indonesia tumbuh sebagai komunitas majemuk yang relatif solid.
Katolik dan Jejak Kolonialisme
Namun, ada kenyataan lain yang tidak bisa diabaikan: iman Katolik di Indonesia masuk melalui pintu kolonialisme. Misi kerap hadir bersamaan dengan senjata api dan arogansi. Ada kecenderungan menganggap orang pribumi “kafir” hanya karena belum dibaptis, seolah belum mengenal Tuhan.
Padahal, sebelum kedatangan kolonial, masyarakat Nusantara sudah memiliki praktik spiritual yang dalam: semedi, berguru, berdoa, dan berbicara tentang harmoni, semesta, dan Tuhan.
Paus Fransiskus memberi arah baru. Ia menolak model pewartaan berbasis proselitisme. Dalam Evangelii Gaudium (2013), ia menulis: “Gereja bertumbuh bukan melalui upaya penyebaran agama, tetapi melalui daya tarik.” (EG 14).
Daya tarik itu lahir dari kesaksian hidup yang penuh kasih—membela orang miskin, mengangkat yang tertindas, memberi harapan bagi yang putus asa.
Iman bukan soal kata-kata indah atau debat apologetik, melainkan kesaksian nyata. Dalam dunia yang lelah dengan retorika, kesaksian hidup adalah satu-satunya bahasa yang dipercaya.
Pertobatan Pastoral: Dari Warisan Kolonial ke Iman yang Menghidupi
Karena itu, Paus Fransiskus mengajak Gereja untuk bertobat.
- Pertobatan hati: dari arogansi kolonial ke kerendahan hati.
- Pertobatan pola pikir: dari proselitisme ke dialog.
- Pertobatan metode: dari kata-kata ke tindakan nyata.
Dengan jalan inilah, iman Katolik dapat hidup di tanah merdeka sebagai berkat, bukan sebagai beban kolonial. Kesaksian hidup—yang sederhana, nyata, dan penuh cinta—akan menjadi lilin kecil di tengah kegelapan zaman.
Dirgahayu Indonesia!
Indonesia berdiri tegak bukan karena meniadakan perbedaan, tetapi karena mampu menjahitnya dalam benang merah nilai-nilai luhur. Sebuah komunitas ketidaksepakatan yang justru melahirkan kesepakatan lebih tinggi: hidup bersama sebagai bangsa yang merdeka.
Di tanah air seperti ini, iman Katolik menemukan relevansinya bukan sebagai warisan kolonial, tetapi sebagai kesaksian kasih yang memerdekakan. (*)
Penulis: Yovendi Mali Koli, CMF, Frater TOP Seminari St. Pius XII Kisol
Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.
Terima kasih redaktur Katolikana. salam interaksi