Perempuan Berzinah dan Yesus

Gebrile Mikael Mareska Udu

Oleh Gebrile Mikael Mareska Udu

Katolikana.com—Diskursus tentang kesetaraan gender seakan tidak pernah selesai. Di satu sisi, masyarakat modern mengakui pentingnya kesetaraan.

Namun di sisi lain, budaya patriarki yang mengakar masih memperlihatkan perlakuan tidak adil terhadap perempuan. Kitab Suci sendiri, jika dibaca secara literal, kerap memantulkan bias tersebut.

Salah satu teks yang memperlihatkan ketegangan itu adalah Injil Yohanes 8:1–11, kisah tentang perempuan yang kedapatan berzinah.

Teks ini menjadi cermin untuk menelaah: bagaimana budaya Yahudi memandang perempuan, bagaimana hukum Taurat memperlakukan perempuan yang berzinah, dan bagaimana Yesus memberikan jawaban yang berbeda.

Perempuan dalam Budaya Yahudi

Dalam tradisi Yahudi, perempuan kerap ditempatkan sebagai “kelas kedua”. Mereka dipandang lemah, inferior, bahkan dianggap beban keluarga.

Sebuah ungkapan populer yang diwariskan secara turun-temurun berbunyi: “adalah suatu kebahagiaan bagi seseorang jika tidak dilahirkan sebagai perempuan.”

Secara sosial-keagamaan, posisi perempuan sangat terbatas. Mereka tidak bisa memberi kesaksian di pengadilan, hanya boleh beribadah di halaman luar Bait Allah—sejajar dengan orang asing—dan dilarang mengajar Taurat.

Kelima kitab Taurat Musa (Pentateukh) memperlihatkan bagaimana perempuan sering dipandang najis atau lebih rendah dari laki-laki (bdk. Kej 3:16; Im 12:1–5; Bil 5:11–31; Ul 22:13–21).

Bahkan tuduhan keperawanan bisa berujung pada hukuman rajam, sementara laki-laki yang menuduh hanya dikenai denda.

Dengan latar seperti itu, perempuan tidak memiliki otonomi. Hidup mereka dikendalikan oleh konstruksi hukum dan budaya yang didominasi laki-laki.

Perempuan Berzinah: Siapa yang Dihukum?

Injil Yohanes mencatat bagaimana ahli Taurat dan orang Farisi membawa seorang perempuan yang kedapatan berzinah ke hadapan Yesus. Mereka hendak menjadikannya objek penghakiman, sesuai hukum Taurat: dirajam sampai mati (bdk. Im 20:10; Ul 22:22).

Namun pertanyaan pentingnya adalah: di mana laki-laki yang terlibat dalam perbuatan itu? Mengapa hanya si perempuan yang ditarik ke ruang publik untuk diadili? Inilah wajah budaya patriarki yang sesungguhnya: standar ganda yang menindas perempuan.

Jawaban Yesus: Dari Hukuman ke Belas Kasih

Yesus menolak terjebak dalam logika hukum yang timpang. Sikap diam-Nya, tindakan membungkuk, hingga menulis di tanah bukanlah gestur kosong. Diam adalah bentuk solidaritas terhadap si perempuan yang tidak diberi ruang bersuara.

Membungkuk melambangkan keterbatasan manusia di hadapan Allah—tidak ada yang layak menjadi hakim mutlak. Menulis di tanah menyiratkan bahwa dosa manusia bersifat sementara dan bisa diampuni.

Ketika akhirnya Yesus berkata, “Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah dan jangan berbuat dosa lagi mulai sekarang” (Yoh 8:11), Ia melakukan sesuatu yang radikal.

Ia tidak menutup mata terhadap kesalahan, tetapi Ia juga tidak membiarkan budaya penghakiman terus berlangsung. Ia mengembalikan martabat si perempuan, memberinya kebebasan otonom untuk memperbaiki hidup, bukan menghancurkannya dengan hukuman mati.

Dari Patriarki Menuju Kesetaraan

Sikap Yesus ini adalah kritik tajam terhadap sistem patriarki yang menindas perempuan. Yesus menunjukkan bahwa baik laki-laki maupun perempuan sama-sama rapuh di hadapan Allah, sama-sama berdosa, dan sama-sama layak diampuni.

Kisah ini menantang kita untuk berhenti saling menghakimi, apalagi dengan standar ganda. Perempuan bukan objek dosa yang layak dirajam; mereka adalah pribadi yang diciptakan setara dengan laki-laki.

Pandangan Yesus mengajak kita menggeser paradigma: dari budaya menghakimi menuju budaya belas kasih, dari patriarki menuju kesetaraan.

Belas kasih adalah jalan yang membebaskan. Ia mengubah luka menjadi penerimaan, iri hati menjadi dukungan, dan kesombongan menjadi kerendahan hati. Hanya dengan semangat belas kasih, kita dapat hidup sebagai komunitas yang saling menopang, bukan saling menyingkirkan.

Berhenti Menghakimi!

Kisah perempuan berzinah dalam Yoh 8:1–11 adalah pengingat bahwa mereka yang disingkirkan justru dirangkul Yesus. Perempuan yang dianggap najis oleh budaya, dipandang hina oleh hukum, justru dipulihkan martabatnya oleh Sang Guru.

Jika Yesus memilih jalan belas kasih, mengapa kita masih bertahan dalam budaya menghakimi? Jika Yesus merangkul mereka yang disingkirkan, mengapa kita masih menutup pintu terhadap saudara-saudari kita yang rapuh?

Mungkin inilah panggilan Injil hari ini: berhenti menjadi hakim bagi sesama, dan mulai menjadi saksi kasih yang membebaskan. (*)

Penulis: Gebrile Mikael Mareska Udu, Mahasiswa Universitas Sanata Dharma.

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

TauratZinah
Comments (0)
Add Comment