Katolikana.com—Banyak orang muda zaman ini mencari tokoh teladan yang nyata—bukan hanya pahlawan dalam cerita, melainkan pribadi yang benar-benar pernah hidup, bergulat dengan tantangan zaman, dan tetap setia kepada Tuhan. Salah satu teladan yang diberikan Gereja adalah Beato Pier Giorgio Frassati (1901–1925).
Frassati hidup hanya 24 tahun, namun hidupnya singkat itu penuh dengan cahaya iman, kasih, dan semangat pelayanan. Ia berasal dari keluarga terpandang di Turin, Italia. Ayahnya seorang politisi dan direktur surat kabar, sementara ibunya seorang seniman.
Dari segi materi, ia bisa saja hidup nyaman, menikmati kemewahan, dan menjauh dari penderitaan orang miskin. Namun, Frassati justru memilih jalan sebaliknya: ia mendekat pada Kristus yang hadir di wajah mereka yang menderita.
Iman yang Hidup dalam Tindakan
Sejak remaja, Frassati aktif dalam Aksi Katolik, Serikat Santo Vincentius de Paul, serta komunitas rohani lainnya. Di sana, ia belajar bahwa iman sejati harus dihidupi dalam tindakan.
Ia sering mengunjungi orang miskin, membantu mereka yang sakit, bahkan rela berbagi uang saku untuk kebutuhan orang lain. Kadang ia pulang ke rumah dengan baju kotor karena habis mengangkat orang sakit, atau dengan dompet kosong karena uangnya diberikan untuk membayar obat seorang anak.
Frassati mengajarkan kepada kita bahwa doa dan pelayanan tidak dapat dipisahkan. Doa memberi tenaga, pelayanan menjadi wujud kasih. Dalam Ekaristi, ia menemukan kekuatan untuk mencintai. Dalam pelayanan, ia menemukan wajah Kristus yang hidup.
“Verso l’Alto” – Menuju yang Tinggi
Frassati suka mendaki gunung bersama sahabat-sahabatnya. Baginya, gunung adalah tempat di mana ia merasa dekat dengan Tuhan.
Semboyannya “Verso l’alto” (menuju yang tinggi) menjadi lambang hidupnya: sebuah ajakan untuk tidak puas dengan hal-hal rendah, tetapi berani berjuang mendaki menuju Allah.
Mendaki iman, seperti mendaki gunung, tidak mudah. Ada tantangan, godaan untuk berhenti, dan rasa lelah. Tetapi puncak iman adalah perjumpaan dengan Allah yang penuh sukacita.
Frassati mengingatkan kita semua, terutama kaum muda, bahwa hidup Kristiani bukan sekadar rutinitas, melainkan sebuah perjalanan menuju ketinggian rohani.
Aktivis Sosial yang Berani
Selain pelayanannya kepada kaum miskin, Frassati juga aktif dalam gerakan mahasiswa Katolik. Ia berani menyuarakan keadilan, menolak ideologi yang menentang iman, dan membela martabat manusia.
Ia bercita-cita menjadi insinyur pertambangan agar bisa bekerja bersama para buruh tambang, hidup di tengah mereka, dan memperjuangkan kesejahteraan mereka.
Hidup Frassati menjadi tanda bahwa seorang Katolik awam juga dipanggil menjadi “garam dan terang dunia” (Mat 5:13-14). Ia tidak menunggu menjadi imam atau biarawan untuk berkarya. Ia membuktikan bahwa kekudusan juga tumbuh dalam kehidupan awam yang sederhana, asalkan hati dipersembahkan kepada Tuhan.
Akhir Hidup yang Kudus
Pada usia 24 tahun, Frassati meninggal dunia karena polio, kemungkinan besar tertular dari orang-orang miskin yang dilayaninya. Kematian yang tiba-tiba itu mengejutkan banyak orang.
Namun, justru pada hari pemakamannya, ribuan orang miskin memenuhi jalanan kota untuk menghormatinya. Mereka datang bukan karena nama besar keluarganya, melainkan karena kasih yang nyata pernah mereka rasakan darinya.
Bagi Gereja, hidup Frassati adalah Injil yang dijalani. Paus Yohanes Paulus II, yang membawanya ke altar beatifikasi pada tahun 1990, menyebutnya sebagai “manusia bahagia, karena ia adalah seorang muda yang tahu bagaimana menjalani hidup Kristiani sepenuhnya.”
Pesan Bagi Kita
Teladan Frassati tetap relevan bagi kita sekarang. Dunia saat ini sering menawarkan jalan pintas: hidup mudah, tanpa peduli pada sesama. Namun, Frassati menunjukkan jalan lain: jalan pelayanan, jalan pengorbanan, dan jalan kasih. Ia mengingatkan kita bahwa kebahagiaan sejati bukan datang dari apa yang kita miliki, melainkan dari apa yang kita berikan.
Sebagai umat Katolik, terlebih kaum muda, kita diundang untuk bertanya:
- Apakah imanku hanya berhenti pada doa, atau sudah diwujudkan dalam tindakan kasih?
- Apakah aku berani “mendaki” dalam iman, meski jalan itu sulit?
- Apakah aku siap menjadi sahabat Kristus dengan cara melayani sesama?
Frassati mengajarkan bahwa kesucian bukanlah sesuatu yang jauh, tetapi bisa dimulai dari hal-hal sederhana: doa yang tekun, kehadiran bagi sahabat, kepedulian pada orang miskin, dan keberanian memperjuangkan kebenaran.
Doa Singkat
Ya Allah yang Mahakasih, Engkau telah memberikan teladan hidup Kristiani dalam diri Beato Pier Giorgio Frassati. Semoga semangat cintanya pada Ekaristi dan sesama menginspirasi kami untuk selalu hidup dalam iman, harapan, dan kasih. Ajarlah kami untuk berani “menuju yang tinggi,” agar hidup kami menjadi berkat bagi sesama. Amin.
Kontributor Katolikana.com di Nabire, Papua Tengah. Gemar sepedaan dan bermusik. Alumnus FEB Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Bisa disapa via Instagram @reinaldorahawarin