Oleh Susy Haryawan
Katolikana.com—Ironi terbesar bangsa ini adalah labelnya sebagai bangsa religius: jumlah rumah ibadah berlimpah, hari raya agama selalu dirayakan dengan gegap gempita, doa-doa terucap di setiap momentum. Namun, pada saat yang sama, kejujuran dan kebenaran semakin jauh dari perilaku publik.
Peristiwa amuk massa tahun ini membuka luka yang lebih dalam dari sekadar kerusakan fisik atau kerugian material. Ia menyingkap wajah bangsa yang kehilangan kejujuran. Elit politik, aparat, hingga lembaga negara terlihat lebih sibuk membela diri dengan alasan klise—kadang tanpa logika—daripada dengan rendah hati mengakui kesalahan.
Dulu, mungkin rakyat kesulitan membedakan mana kebenaran, mana kebohongan, dan mana separuh kebenaran. Kini, di era internet, rekaman video, dan data yang melimpah, sulit bagi siapa pun untuk berkelit. Tetapi anehnya, budaya ngeles masih menjadi pilihan utama.
“Jujur Itu Hebat” — Sebuah Cermin Ironi
Ingat slogan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK): “Jujur itu Hebat.” Sekilas terdengar motivatif, tapi sesungguhnya menyimpan ironi mendalam. Mengapa kejujuran harus diagungkan seolah-olah ia prestasi langka? Bukankah jujur adalah sifat dasar yang seharusnya melekat pada diri manusia, terlebih pejabat publik?
Lihatlah wajah para koruptor ketika diproses hukum: bukannya menyesal, justru cengengesan. Bukan mengakui kesalahan, malah menyalahkan keadaan. Mereka merayu publik dengan dalih keluarga, jasa masa lalu, bahkan menyebut perbuatannya sebagai “cobaan dari Tuhan.” Lebih parah, sebagian bahkan memutar balik fakta dan memfitnah Sang Pencipta dengan menjadikan Allah sebagai kambing hitam.
Aparat dan Dalih “Oknum”
Pola serupa muncul di tubuh aparat. Jika ada kasus pelanggaran, jawaban yang muncul hampir selalu sama: “oknum.” Jarang sekali ada lembaga yang secara jujur mengakui kelemahan sistemnya. Padahal, korps dan institusi disusun dari pribadi-pribadi yang nyata bisa salah.
Mengakui kesalahan bukanlah kelemahan, melainkan wujud kecintaan terhadap lembaga. Namun keberanian ini masih jauh dari realitas kita. Yang ada hanyalah pembelaan demi menjaga “nama baik” organisasi, sementara parasit di dalamnya dibiarkan terus berkembang.
Polisi dan Kejujuran yang Dipertanyakan
Peristiwa amuk massa juga memperlihatkan bagaimana kejujuran aparat kepolisian dipertanyakan. Dua kasus patut dicatat.
Pertama, tembakan gas air mata di Bandung yang diklaim “terbawa angin.” Faktanya, selongsong ditemukan di dalam kampus, dan video rekaman jelas menunjukkan hal sebaliknya. Aneh sekali ketika bukti sudah begitu kuat, masih saja keluar pernyataan yang bertolak belakang dengan fakta.
Kedua, kasus mahasiswa di Semarang yang disebut “mengantar orang kecelakaan,” padahal korban penuh lebam dan luka yang tidak masuk akal sebagai kecelakaan jalan raya. Jika memang kecelakaan lalu lintas, bukankah seharusnya polisi lalu lintas yang menangani, bukan Brimob? Hal sederhana saja masih diakali.
Elit Politik dan Arogansi Kekuasaan
Lebih menyakitkan lagi, Presiden sendiri tak berani mengakui bahwa negeri ini sedang bermasalah. Di hadapan rakyat yang terhimpit ekonomi akibat efisiensi anggaran, pembatasan LPG, penundaan CPNS-P3K, dan pajak yang naik ugal-ugalan, justru muncul retorika tudingan makar, intervensi asing, atau dalih yang jauh dari keprihatinan rakyat.
Pepatah lama “ikan busuk mulai dari kepala” sungguh faktual. Memang ada pihak yang menunggangi kerusuhan, tapi akar masalahnya adalah kebijakan elit yang ngawur. Dari pusat hingga daerah, pola yang sama berulang: efisiensi di mulut, tapi bagi-bagi kursi di belakang meja.
Aksi Massa: Cermin Kehilangan Kepercayaan
Ketika rakyat sudah muak, wajar bila suara protes menguat. Namun sayangnya, aspirasi itu sering meledak menjadi aksi yang rusuh hingga penjarahan. Fenomena ini bukan semata soal massa yang brutal, melainkan tanda bahwa kepercayaan terhadap negara dan elitnya kian runtuh.
Arogansi elit dibalas dengan amarah rakyat. Dan ketika rakyat tak lagi percaya, negara kehilangan fondasi moralnya.
Kejujuran Adalah Harga Mati
Amuk massa tahun ini harus dibaca sebagai alarm keras. Bangsa religius ini harus sadar bahwa spiritualitas bukan sekadar ritual atau jargon agama, melainkan kejujuran dan kerendahan hati dalam kehidupan publik.
Jujur bukan prestasi, melainkan kewajiban. Jika elit terus memilih ngeles, rakyat akan terus membayar harga mahal: kehilangan rasa percaya, kehilangan keadilan, dan kehilangan harapan.
Bangsa ini bisa bertahan bukan karena banyaknya kursi jabatan atau badan baru, melainkan karena keberanian pemimpin dan aparatnya untuk berkata jujur. Dan sampai hari itu tiba, “kejujuran” akan tetap menjadi barang mewah di negeri ini. (*)
Penulis: Susy Haryawan, bukan siapa-siapa.
Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.