Oleh Susy Haryawan
Katolikana.com—Beberapa saat terakhir banyak rekan yang membagikan video Menteri Agama memberikan ucapan selamat memasuki Bulan Rosario bagi umat dan Gereja Katolik.
Hal yang sama dilakukan Menteri Nazarudin Umar juga mengucapkan selamat memasuki Bulan Kitab Suci Nasional untuk bulan September yang telah lewat. Suka cita adanya perhatian baik ini.
Jika ada yang mengatakan bahwa ini sejarah ya memang benar. Karena selama ini keberadaan Kementerian Agama toh hanya milik dan mengurusi satu agama, mayoritas. Lainnya anak tiri. Kali ini Menteri Agama ini hadir untuk semua agama.
Menteri Semua Agama
Apa yang dialami umat dan Gereja Katolik mungkin sudah lumayan. Namun apakah hal ini juga sudah berlaku bagi agama dan kepercayaan yang diakui di Indonesia?
Harapannya adalah Selamat Natal dan Tahun Baru tidak lagi jadi alat politik dan menjadi bahan untuk berpolemik. Masih dua bulan lagi, apakah benar-benar sudah tercerahkan.
Ucapan selamat hari raya agama besar saja selama ini masih belum hadir untuk agama selain mayoritas. Seolah agama dan kepercayaan lainnya adalah anak tiri. Padahal UUD lho, bukan sekadar UU atau SKB yang mengatur.
Sepanjang aksi dan perilaku intoleran belum ada sikap yang jelas, tegas, dan lugas. Ucapan dan kehadiran Menteri Agama ini masih sebatas lip service belum menjadi sebuah kebiasaan yang sudah seharusnya.
Mengapa?
Menteri semua agama, bukan hanya satu agama. Artinya ya harus hadir untuk semua agama, bukan berkutat dengan agamanya sendiri.
Berbicara konflik, singgungan antaragama, Menteri Agama bisa berlaku netral dan mengayomi pihak yang lemah, dan mampu mendisiplinkan yang kuat bila berperilaku arogan. Hal ini penting, ingat bisa jadi di suatu tempat mayoritas, di lain lokasi menjadi minoritas.
Konflik horizontal ini masih sering terjadi, dan penyelesaiannya masih model yang sama. FKUB mengatakan salah paham, dan penyelesaiannya membuang sampah di bawah karpet indah. Menyembunyikan masalah atas nama harmoni, negara toleran dan seterusnya. Belum ada yang baru dari Menteri Nazarudin Umar untuk hal ini.
Prestasi atau Biasa?
Negeri ini sebenarnya kasihan, sering heboh pada hal yang sederhana, itu biasa saja, bukan capaian luar biasa. Ya karena belum pernah jadinya aneh, wow, dan seolah hasil perjuangan dan hadiah yang sangat besar. Tidak. Itu normal, biasa, dan bukan prestasi luar biasa. Sebuah keharusan sesuai dengan jabatannya.
Hal ini identic dengan tagline KPK, JUJUR itu HEBAT. Padahal tidak, jujur itu nilai standar, bukan buah atau hasil perjuangan besar. Saking negara ini banyak yang tidak jujur, akhirnya lembaga negara membuat slogan saja jadi ngaco. Jujur itu sebuat standart moral yang biasa.
Lihat saja banyak negara Eropa Barat penjara kosong, angka kriminalitas rendah, bahkan nihil. Kehilangan barang sangat langka. Bayangkan di sini, ke tempat ibadah saja untuk nyolong sandal atau sepatu, uang sumbangan di tempat ibadah diembat.
Lebih kerenan dikit, anggaran untuk Kitab Suci pun dikorup. Antrian ibadah bisa diperjualbelikan. Komplit untuk bicara ketidakjujuran, makanya jujur itu dianggap hebat.
Anak sekolah, demi bisa masuk sekolah favorit, padahal nilainya kurang bisa dengan uang atau koneksi. Pun pekerjaan yang menjanjikan gaji bagus dicapai dengan model ini, wani pira.
Hal yang tidak jujur, namun fenomena ini seperti, maaf kentut, yang tidak mudah untuk diakui dan diselesaikan. Karakter tidak jujur.
Jujur itu sifat, kepribadian, pembawaan, dan nilai moral baik yang wajar, sebuah standar yang harus dimiliki manusia. Sekali lagi bukan capaian atau prestasi sehingga ada ikutan kata hebat. Jujur itu nilai moral yang harus melekat dalam diri manusia secara umum.
Menteri Agama Melakukan Tugasnya
Apa yang dilakukan dan disampaikan Menteri Agama Nazarudin Umar ini seharusnya dilakukan juga oleh Menteri-menteri lainnya, atau sebelum-sebelumnya. Ini adalah tugas Menteri Agama, bukan Menteri Agama Islam saja. Ia melakukan tugasnya dengan baik.
Prestasi, jika ia mampu membuat gagasan atau ide Pancasila yang Bhineka Tunggal Ika itu benar-benar terjadi. Tidak ada lagi aksi dan suara intoleransi. Izin rumah ibadah apapun tanpa izin rumit, tanpa jadi polemik, beragama dengan santun, waras, dan bersama-sama sebagaimana pada masa lalu, yang pernah ada.
Mungkin utopis, ketika bisa Menteri Agama digilir sebagaimana Panglima TNI. Jika ini bisa terjadi, sungguh layak memperoleh acungan jempol banyak-banyak. Palingan ini ide atau bahkan mimpi.
Pembentukan FKUB yang benar-benar rukun, bukan sekadar istilah. Faktanya sering forum ini menjadi pemicu polemic dan penyelesaian urusan beragama lebih ruwet.
Menginisiasi pembubaran Kementerian Agama, negara tidak usah mengurus agama, hanya menjadi pelindung atas jalannya beragama secara bebas, bertanggung jawab, dan dewasa. Apa mungkin? Siapa tahu? (*)
Penulis: Susy Haryawan, bukan siapa-siapa.
Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.