Oleh Susy Haryawan
Katolikana.com—Berita duka bagi bangsa Pancasila ini terjadi di bulan-bulan sakral landasan bangsa.
Bagaimana mengelu-elukan Pancasila Sakti, padahal terjadi kasus yang demikian jauh dari nilai-nilai dasar negara yang adi luhung itu.
Dua cerita pilu, satu berangkat dari Karanganyar tetangga Solo. Lainnya berasal dari Budoran Sidoarjo, jirannya Surabaya.
Holyland, bangunan miniatur Yerusalem sudah mulai dibangun kisaran setahun lebih. Yayasan ini pastinya sudah mengantongi izin.
Pihak pemerintah desa kaget, tiba-tiba ada SK Bupati yang meminta penghentian aktivitas pembangunan kawasan wisata religi Kekristenan.
Pun mendadak ada demo penolakan dengan dalih warga keberatan. Padahal pihak desa mengatakan sudah sosialisasi sebelum mulai aktivitas lebih setahun lalu, semua setuju.
Kisah pilu dari Sidoarjo lebih tragis, sampai merenggut nyawa puluhan. Tepatnya 63 nyawa santri tertimbun reruntuhan bangunan empat lantai itu.
Pihak KemenPUPR jelas berkompeten mengenai bangunan, ingat kasusnya gedung ambrol mengatakan dari 42 ribu lebih pondok pesantren, hanya 50 yang berizin. Artikel ini, hendak menyoal izin, bukan yang lain.
Dilema Izin
Berkali ulang, terutama untuk agama atau aliran minoritas selalu saja disoal mengenai izin. Ingat kasus di Sukabumi, Bandung, Bogor, Malang, atau Kubu Raya di Kalimantan Barat.
Semua aktivitas dan pembangunan rumah ibadah dirusak, didemo, dibubarkan, ada juga yang dibatalkan, sebagaimana di Holyland, Karanganyar.
Pada posisi yang sama, di Buduran Sidoarjo, dengan korban jiwa mencapai 60 anak, kelihatannya termasuk yang tidak berizin, masih saja mengelak dan menyatakan itu sebagai takdir Allah.
Abai, lalai, bukan bencana alam seperti gempa, atau gunung meletus lho.
Pihak lain berizin lengkap saja bisa dipersoalkan, bisa juga nanti minta diulang, sebagaimana Malang. Ini bertetangga, sampai ada yang meninggal. Naga-naganya juga tidak akan diusut mengenai legalitasnya.
Apalagi Menkonya malah akan memeriksa bangunan pondok yang berusia ratusan tahun. Cak Imin kayaknya gak nyambung, ini baru dibangun yang roboh.
FKUB sering malah itu menjadi dukungan moral bagi pelaku penolakan, bukan malah menjadi jembatan, sehingga yang radikal menjadi lembut.
Malah semakin keras, dan pihak yang lemah, dalam konteks ini minoritas harus memahami, menerima, dan mengalah.
Hal yang sama terjadi pada Kemenag. Belum ada seruan moral untuk bertindak tegas pada ormas, aliran, dan paham-paham keras seperti ini.
Mereka diam saja, karena memang satu gerbong. Program moderasi beragama yang sempat didengung-dengungkan waktu lalu, makin senyap. Di lapangan juga tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Izin itu bagi minoritas, namun bagi mayoritas semua bisa terjadi dengan arogannya. Di mana Pancasila dan UUD 45 yang agung itu? Jauh dari jiwa nasionalis, makin mengarah ke agamis, khususnya mayoritas.
Kemenag Harus Hadir
Cara beragama di negeri ini makin ngaco. Bagaimana bisa pondok pesantren roboh karena gagal konstruksi, namun oleh MenPUPR dikatakan sebagai dari santri untuk santri.
Komentar Menag tidak menjadi soal yang mengatakan mati syahid. Dogma, pas dinyatakan oleh Menteri yang memang bidangnya agama. Meskipun tidak tepat juga sebenarnya.
Menteri PUPR harusnya menyatakan gagal konstruksi, harus dievaluasi, jangan lagi terulang.
Agama seolah-olah adalah segalanya. Tidak demikian seharusnya, yang memang wewenang agama. Dalam konteks ini ya pengajarannya.
Mengenai bangunan jelas ranahnya tenaga ahli. Dalam konteks ini, bangunan empat lantai harus melibatkan ahli teknik sipil. Kontraktor yang berkualifikasi baik dan benar. Jangan campur aduk antara keahlian teknis dengan ahli dogma.
Hal yang sama terjadi dengan MBG. Agar tidak keracunan saat memasak diiringi dengan dzikir dan sholawatan. Racun ya harus diteliti asalnya dari mana dan bagaimana menghilangkannya. Ujaran agama dan dogma itu kekuatan, namun bukan segalanya.
Perlunya Sikap Rasional dan Kritis
Karl Marx mengatakan agama adalah candu itu tepat dalam konteks keindonesiaan hari ini. Malah pemikiran bagus ini sudah ditolak duluan, dihina, dihujat, dan dijadikan ujaran kebencian. Padahal benar.
Mabuk agama, karena semua hal dikaitkan dan diselesaikan dengan paradigma agama padahal tidak seluruhnya tepat dan bisa demikian.
Beragama namun kehilangan akal sehat.
Contoh dalam kehidupan sehari-hari memperlihatkan hal tersebut. Bagaimana atas nama agama namun menghambat pihak lain untuk beribadah?
Atas nama agama melakukan pemaksaan kehendak, menindas, merusak, dan juga menghindari tanggung jawab.
Di mana kemanusiaan yang harusnya juga tertanam sebagai pribadi Bertuhan?
Lihat saja cara bernegara ini menjadi kacau, susah maju, karena tidak beranjak maju dengan riset dan teknologi, sekadar hapalan, mengoper masalah ke pencipta, yang sering tidak tahu apa-apa namun dijadikan kambing hitam.
Lakukan seturut dengan kapasitas masing-masing, jangan dilimpahkan kepada Tuhan. Bergerak maju dalam ilmu pengetahuan.
Ketuhanan Yang Maha Esa diikuti Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Namun, sering abai akan hal tersebut, jomplang karena Tuhan dan lupa manusia yang ada di sekitarnya.
Kapan waras beragama? (*)
Penulis: Susy Haryawan, bukan siapa-siapa.
Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.