Bapak Presiden, Jemaat GBI Tangerang Juga Anak Negeri
Santri AL Khoziny juga Anak-anak Negeri, Kata Prabowo

Oleh Susy Haryawan

Katolikana.com—Entah apa yang ada dalam benak presiden dan jajarannya, ketika gegap gempita, kerja cepat mengalahkan Kereta Cepat Woosh dalam menangani gagal konstruksi sehingga ambrol bangunan empat lantai itu.

Menteri Agama, Menteri PU, akhirnya Menko Muhaimin pun menjadi koordinator pembangunan pondok pesantren itu. Prabowo pun ikut nimbrung dengan mengatakan santri juga anak-anak negeri, harus ditangani dengan baik.

Eh di depan mata istana, di Tangerang, selisih ratusan kilo meter dari Buduran Sidoarjo, ada jemaat yang tidak bisa beribadat. Alasan klise tidak ada izin.

Padahal Menteri PU mengatakan 42 ribu lebih pondok pesantren yang berizin hanya 50. Nah lho, kog tidak didemo, dihentikan, malah didanai pakai APBN, Menteri-menteri sampai Menko mengurus yang tidak berizin itu?

Prabowo, Minoritas itu juga Anak Pancasila

Negeri ini sudah jauh dari semangat Pancasila. Lihat saja yang ada hanya satu agama, mayoritas, Kementerian baru saja dibentuk untuk menambah satu agama itu. Padahal selama ini Menteri Agama juga hanya mengurus satu agama, sekadar hadir dalam acara atau ucapan itu bukan sebuah prestasi.

Prabowo mengatakan santri juga anak negeri. Lha anak-anak yang ada di GBI Tangerang, di Tawangmangu, di Sukabumi, di Bandung, Malang, Kubu Raya Pontianak, itu anak tiri, anak pungut, atau malah anak yang tidak dikehendaki?

Jangan sekadar gagah dan sok macan, yang aslinya cemeng rembes. Bagaimana mengatakan Pancasila, nasionalis, namun diam saja ketika intoleransi merebak di depan hidungnya. Padahal jauh di timur sana langsung merespon, ucapan, uang, dan pembantunya berbondong-bondong membantu.

Negara ini katanya sudah final dengan Pancasila, toh prakteknya jauh dari itu. Bhineka Tunggal Ika sekadar slogan. Jangan pernah menegur, mengritik, atau mengulas keberadaan mayoritas. Padahal mereka, si mayoritas, sangat biasa menggunakan hinaan, cacian untuk kelompok di luar mereka. Semua diam, tidak ada yang pernah menegur apalagi mencela.

Sekali saja pihak yang minoritas bicara fakta, namun mereka anggap sebagai hinaan, jangan tanya, bui hadiahnya. Ini tidak sekadar agama, namun aliran dalam agamapun akan bernasib yang sama. Ingat Ahmadiyah, Syiah, dan seterusnya.

Negara Hadir, Namun Belum Adil

Kehadiran negara itu penting dan tepat. Namun sayangnya sama sekali tidak tepat. Jauh dari yang seharusnya. Pondok ini roboh bukan karena usang, kurang dana, atau kesederhanaan.

Bagaimana tidak, konon ada cucu Menteri mondok di sana, artinya pondok ini berkelas, tidak akan mungkin cucu pejabat tinggi mondok di pondok yang reot.

Jauh lebih bisa diyakini, bahwa gagal konstruksilah yang membuat bangunan ini ambrol. Negara hadir itu bagus, jika itu kontekstual. Apakah aka nada tanggapan dan respon secepat itu untuk kasus GBI Tangerang? Pasti tidak. Apalagi sampai presiden atau Prabowo bersikap.

Membantu itu bagus, harus bahkan. Apalagi negara, namun untuk seluruh anak-anaknya. Jangan sampai ada anak tiri, anak pungut, anak tidak dikehendaki, ada pula anak emas. Jika demikian bagaimana Sila Kelima Pancasila, Keadilan bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Ataukah sudah direvisi hanya bagi pemeluk mayoritas?

Hal yang senada, ketika MUI menegur Menteri Keuangan Purbaya agar menjaga lisannya. Berbagai lapisan masyarakat bisa salah persepsi. Namun ketika ada kolega mereka tidak menjaga lisannya mengapa bungkam?

Sering memang, orang lebih mudah menuding, selumbar di mata orang lain terlihat namun balok di mata sendiri tak nampak.  Negeri ini sekarang sedang seperti ini.

Riuh rendah yang sering tidak esensial. Benar bisa salah karena bangunan opini dan narasi yang kacau. Elit pun berlaku yang sama. Miris sebenarnya, karena terlihat logika sering tidak jalan dengan semestinya. Kemampuan dasar rasio sangat buruk. Pendidikan memegang peran penting, mengajarkan sikap kritis sekaligus benar.

Tanggung jawab itu penting. Sering hal itu lepas, karena permainan kata-kata, malah sering memfitnah Tuhan dari kaum agamis. Sejatinya sekadar melepaskan tanggung jawab dengan menyatakan itu ujian dari Sang Pencipta. Beda, namun sering dengan mudah ditimpakan pada Sang Khalik, yang pastinya tidak bisa protes. (*)

Penulis: Susy Haryawan, bukan siapa-siapa.

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

Santri
Comments (0)
Add Comment