Madilog dan Etika Politik: Menautkan Rasionalitas Kritis dengan Martabat Manusia

Oleh Michael Patrick Eka Satria

Katolikana.com—Indonesia hari ini seolah berdiri di persimpangan jalan, dihadapkan pada krisis etika politik yang mendalam. Polarisasi tajam, tergerusnya kepercayaan publik, dan praktik politik yang jauh dari nilai keadilan, menimbulkan keresahan kolektif.

Di tengah pergulatan ini, dua suara muncul dengan tawaran etika politik yang autentik: pemikiran revolusioner Madilog karya Tan Malaka dan fondasi moral Ajaran Sosial Gereja (ASG).

Kontroversi baru-baru ini, ketika buku Madilog disita aparat, menjadi simbol perseteruan abadi antara kekuasaan dan gagasan. Penyitaan itu bukan hanya tindakan hukum, melainkan penanda bahwa pemikiran kritis, betapapun tuanya, masih dianggap berbahaya bagi status quo. Namun, justru dalam konteks perseteruan inilah kita menemukan relevansi etika politik yang kuat.

Politik sebagai Panggilan Moral

Ajaran Sosial Gereja memberikan panduan hidup bahwa politik bukanlah sekadar strategi perebutan kekuasaan, melainkan panggilan moral untuk mewujudkan keadilan dan menghormati martabat setiap manusia. Pesan ini bergema kuat dari ensiklik awal hingga kompendium modern.

Inti dari ASG adalah martabat manusia, sebuah ide bahwa setiap individu adalah ciptaan Tuhan yang penuh kehormatan dan haknya harus dilindungi, tanpa pandang bulu. Prinsip ini beriringan dengan tuntutan keadilan sosial, janji untuk membangun masyarakat di mana sumber daya dan kesempatan terbagi secara adil, menciptakan keseimbangan harmonis.

Lebih lanjut, ASG mengajarkan persekutuan dan solidaritas, yang mewajibkan kita untuk saling menanggung beban dan berpihak kepada yang lemah—suatu kewajiban moral yang bersifat universal.

Prinsip subsidiaritas lantas memastikan bahwa kekuatan terbesar terletak pada rakyat dan komunitas lokal, bukan pada monopoli kekuasaan sentral, sehingga pemberdayaan menjadi nyata (Komisi Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian, 2009). Semua prinsip ini menegaskan bahwa setiap keputusan politik harus diarahkan pada kepentingan umum.

Tan Malaka juga meyakini bahwa pendidikan kerakyatan adalah senjata paling ampuh untuk membangkitkan kesadaran kritis. Foto: abcnews.co.id

Madilog: Rasionalitas sebagai Senjata

Di sisi lain, Tan Malaka melalui Madilog (Materialisme Dialektika dan Logika) menawarkan lensa rasionalitas kritis. Ia mengajak bangsa untuk melepaskan diri dari belenggu pemikiran dogmatis dan mistis yang menghambat kemajuan. Bagi Tan Malaka, berpikir haruslah berbasis logika dan fakta, sebab “Kebenaran adalah kenyataan yang selalu teruji” (Malaka, 2014).

Naratif revolusioner Madilog tidak berhenti pada logika. Ia juga menuntut kesadaran kelas, sebuah panggilan untuk mengenali posisi dan perjuangan rakyat kecil yang terpinggirkan dalam bingkai sosial. Perjuangan membebaskan diri dari penindasan struktural adalah nyawa perubahan yang sejati.

Tan Malaka juga meyakini bahwa pendidikan kerakyatan adalah senjata paling ampuh untuk membangkitkan kesadaran kritis dan etika sosial di kalangan rakyat. Pendidikan bukan hanya soal transfer ilmu, tetapi membekali masyarakat dengan kemampuan berpikir, membaca keadaan, dan berani bertindak demi kebaikan bersama.

Sinergi Etika dan Kritik

Di sinilah Madilog dan Ajaran Sosial Gereja bertemu dan saling menguatkan. Keduanya menautkan tangan dalam komitmen yang sama: keberpihakan pada rakyat kecil, kritis terhadap ketidakadilan struktural, dan pentingnya pendidikan untuk kebangkitan moral dan intelektual.

ASG memanggil umat untuk mengambil bagian dalam misi kasih kepada yang paling membutuhkan. Panggilan ini memiliki akar kokoh dalam Kitab Suci, yang mewajibkan umat untuk “mengasihi sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Matius 22:39).

Kasih ini harus terwujud dalam perbuatan yang membela keadilan dan martabat manusia, sebagaimana diingatkan dalam Yakobus 2:17 bahwa iman tanpa perbuatan adalah mati.

Tuntutan Madilog akan rasionalitas dan kritik struktural lantas menjadi alat konkret untuk mewujudkan Hukum Kasih dalam kancah politik. Politik bukanlah arena kosong, melainkan ruang pelayanan yang meneladani perumpamaan Orang Samaria yang murah hati (Lukas 10:25-37) dan ajaran Yesus yang menempatkan pelayanan kepada sesama sebagai pelayanan kepada-Nya sendiri (Matius 25:40).

Refleksi Diri dan Panggilan Zaman

Sebagai seorang mahasiswa Teologi yang tengah mempersiapkan diri menjadi guru agama Katolik dan katekis, kontroversi buku Madilog ini menyentuh kesadaran saya. Kesedihan melihat sebuah gagasan dikriminalisasi terasa seperti pembungkaman atas ekspresi dan ide-ide yang vital bagi kemajuan bangsa.

Pengajaran teologi dan moral saya sadari harus menjawab kebutuhan zaman dengan tetap berpegang pada nilai-nilai kebenaran, keadilan, dan martabat manusia. Tugas saya kelak bukan hanya mengajarkan doktrin, tetapi membimbing generasi muda agar mampu berpikir kritis, menghargai kebebasan berekspresi secara bertanggung jawab, dan aktif menjadi agen perubahan.

Pemikiran kritis Madilog yang dipadukan dengan fondasi moral ASG menjadi pijakan kuat: politik bukanlah kekuasaan semata, melainkan pelayanan yang mesti dijalankan dengan cinta kasih, keadilan, dan integritas. Proses demokrasi yang menjamin hak berekspresi harus selalu dilihat sebagai manifestasi cinta kasih sosial yang diarahkan pada kesejahteraan bersama.

Melangkah ke depan, jelaslah bahwa pemikiran Tan Malaka dan ASG menawarkan jawaban nyata bagi krisis etika politik. Rasionalitas berpikir dan kedalaman moralitas harus berjalan beriringan, menjadi jiwa dan raga politik Indonesia ke depan.

Kebijakan yang direkomendasikan pun sederhana namun mendalam: membumikan pendidikan politik yang kritis dan etis, menguatkan partisipasi politik umat melalui nilai moral, menjamin hukum yang adil dan transparan, serta membuka ruang dialog yang jujur dan penuh kasih di antara semua elemen bangsa.

Dengan menautkan nalar kritis dan panggilan hati, harapan akan sebuah Indonesia yang beradab, bermartabat, dan berkeadilan bukan lagi sekadar mimpi, melainkan tujuan nyata yang bisa diraih oleh tangan dan hati semua anak bangsa. (*)

Penulis: Michael Patrick Eka Satria, Mahasiswa Teologi STKIP Widya Yuwana Madiun

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

Ajaran Sosial GerejaMadilogTan Malaka
Comments (0)
Add Comment