Sinodalitas dan Gotong Royong: Menambal Retak Etika Politik Bangsa

Oleh Marcellos Galang Waluya

Katolikana.com—Hidup bernegara pada dasarnya adalah seni hidup bersama, sebuah ikatan yang terjalin oleh rasa senasib dan seperjuangan.

Namun belakangan ini, kebersamaan itu terasa terbentur oleh dinamika politik yang panas, di mana kepercayaan publik terhadap struktur negara dipertanyakan secara fundamental.

Krisis etika politik terasa nyata, seolah mengaburkan harapan akan terwujudnya bangsa yang adil dan bermartabat.

Di tengah kegaduhan ini, suara reflektif dari Gereja Katolik, yaitu konsep sinodalitas, menawarkan panduan etis untuk memperbaiki simpul hubungan antara pemerintah dan rakyat.

Bonum Commune Terabaikan?

Dinamika politik Indonesia mencapai titik didih pada Agustus lalu, ditandai dengan gelombang demonstrasi besar-besaran yang dipicu protes terhadap besarnya tunjangan anggota DPR.

Protes tersebut dengan cepat meluas, menyoroti dugaan korupsi dan ketidakadilan politik yang dirasakan publik.

Ketegangan mencapai puncaknya setelah bentrokan antara massa dan aparat yang tragisnya menewaskan Affan Kurniawan, seorang pengemudi online yang terlindas kendaraan taktis Brimob.

Akibatnya, aksi protes berubah menjadi kerusuhan anarkis, disertai pembakaran fasilitas publik dan penjarahan rumah tokoh-tokoh terkenal.

Peristiwa ini, terlepas dari bentuk anarkisnya, adalah symptom dari penyakit serius: kegagalan dalam mewujudkan bonum commune atau kebaikan bersama.

Penentuan kebijakan dan pengambilan keputusan yang baik seharusnya mempertimbangkan keseimbangan antara kepentingan pemerintah dan rakyat.

Dalam konteks negara, hal ini diatur jelas oleh konstitusi kita, di mana hak dan kewajiban kedua unsur negara diatur oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 27 sampai Pasal 34.

Kekacauan terjadi ketika salah satu pihak, khususnya pemerintah sebagai pelayan amanat rakyat, mengabaikan kewajiban ini, sehingga rakyat merasa haknya sebagai subjek diabaikan.

Berjalan Bersama

Melihat ketegangan yang terjadi, kita dapat merefleksikan nilai-nilai sinodalitas yang digaungkan oleh Paus Fransiskus melalui Sinode 2021–2023.

Konsep sinodalitas, yang berasal dari kata sinode atau “berjalan bersama-sama”, sangat relevan dengan cita-cita persaudaraan kebangsaan Indonesia.

Menurut dokumen Sinodalitas dalam Kehidupan dan Misi Gereja (Komisi Teologi Internasional, 2018), sinodalitas dipahami sebagai modus vivendi et operandi—yakni cara hidup dan berkarya Gereja.

Prinsip ini mengubah pemahaman struktural Gereja dari yang tadinya hierarkis-piramidal menjadi persekutuan yang lebih partisipatif.

Kaum awam tidak lagi dilihat sebagai objek penerima kebijakan, melainkan subjek yang aktif dalam misi Gereja. Dasar kesetaraan dan keterlibatan ini adalah Sakramen Baptis.

Jika konsep ini dihubungkan dengan kehidupan bernegara, kita dapat menyamakan kaum hierarki dengan pemerintah, dan umat awam dengan rakyat. Rakyat tidak boleh diperlakukan sebagai objek yang hanya tunduk pada kebijakan sentral.

Rakyat harus dipandang sebagai subjek aktif yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan publik.

Dengan demikian, jika dasar partisipasi dalam Gereja adalah Baptis, maka dasar keterlibatan warga negara adalah kesadaran sebagai satu bangsa Indonesia.

Jiwa Bangsa

Kita beruntung, Indonesia memiliki dasar falsafah negara yang sejajar dengan semangat sinodalitas: Pancasila.

Jika Pancasila diperas menjadi satu inti nilai, maka lahirlah semangat gotong royong. Gotong Royong merupakan hasil permenungan para pendiri bangsa, salah satunya Ir. Soekarno, yang melihat bahwa kodrat manusia Indonesia adalah manusia yang bergotong royong (Dewantara, 2017).

Sebagai sumbangan pemikiran, saya menawarkan gagasan tentang sinodalitas dalam bingkai gotong royong.

Gotong royong dan sinodalitas adalah dua cara hidup yang dapat menjadi kekuatan bersama dalam membangun persekutuan sejati, baik di dalam Gereja maupun dalam kehidupan berbangsa.

Inilah perwujudan sejati dari semangat 100 persen Katolik, 100 persen Indonesia.

Pemikiran ini jelas menawarkan jawaban nyata bagi krisis etika politik yang sedang dihadapi bangsa.

Politik harus dijalankan dengan kedalaman moralitas yang berbasis pada martabat manusia dan rasionalitas kritis yang menyuarakan kebenaran. Politik harus menjadi ruang pelayanan yang dijalankan dengan cinta kasih dan tanggung jawab.

Semoga semangat berjalan bersama, bergotong royong, dan bersinodal ini menginspirasi seluruh elemen bangsa—pemerintah, aparat, dan rakyat—untuk membangun bangsa menuju arah yang lebih baik: terwujudnya Indonesia yang beradab, bermartabat, dan berkeadilan. (*)

Penulis: Marcellos Galang Waluya, Mahasiswa STKIP Widya Yuwana, Madiun

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

SinodeSinolitas
Comments (0)
Add Comment