Oleh Gebrile Mikael Mareska Udu
Katolikana.com—Ruang publik kita, yang sejatinya adalah arena perjumpaan dan ekspresi kebebasan, kini sering terbebani oleh bayang-bayang kecemasan dan ketakutan.
Di antara berbagai disorientasi sosial yang kita hadapi sebagai bangsa, fenomena bom bunuh diri adalah salah satu manifestasi paling tragis dan patologis dari kegagalan sistemik dan moral.
Tindakan keji ini, baik dilakukan perorangan maupun kelompok, bukan hanya mengoyak rasa aman, melainkan juga menghancurkan makna terdalam dari kehidupan bersama.
Akar masalah bom bunuh diri tak pernah tunggal. Seringkali, ia berkelindan dengan himpitan ekonomi akut. Mereka yang terperangkap dalam kemiskinan ekstrem, yang merasa tiada jalan keluar dan ketiadaan kecakapan bertahan, terkadang memilih jalan putus asa ini.
Namun, ada pula akar lain yang tak kalah berbahaya: penyalahgunaan dan pemahaman literal atas nilai-nilai agama (Hardiman, 2017; Saraswati, 2023). Teks-teks teologi dibaca tanpa penafsiran kontekstual dan hermeneutika yang jernih, lalu dibajak untuk melegitimasi kekerasan atas nama kebenaran ilahi.
Terlepas dari campur aduk motif tersebut, kita dihadapkan pada sebuah imperatif moral untuk menelaah fenomena bom bunuh diri. Gereja Katolik, melalui Ajaran Sosial Gereja (ASG), menawarkan sebuah lensa yang tajam dan reflektif: Ensiklik Sollicitudo Rei Socialis (SRS).
Dokumen ini, yang ditandatangani oleh Paus Yohanes Paulus II pada 30 Desember 1987, adalah seruan kenabian dan moral untuk mengawal perkembangan hidup bersama dan dunia (Mulyatno, 2015).
Solidaritas sebagai Kebajikan Kardinal
Di hadapan fenomena kekerasan yang melanggar hak asasi manusia, maraknya radikalisme atas nama agama, korupsi masif, dan dendam antar kelompok, Sollicitudo Rei Socialis menegaskan bahwa perkembangan manusia yang utuh dan komprehensif adalah tugas serta tanggung jawab bersama. Kunci untuk mewujudkan tanggung jawab itu, menurut SRS, adalah solidaritas.
Solidaritas dalam ASG bukanlah sekadar rasa iba sesaat atau gestur filantropis yang insidental. Ia adalah sebuah kebajikan (virtue) yang fundamental, sebuah determinasi yang teguh dan gigih untuk membaktikan diri bagi kesejahteraan bersama.
Solidaritas adalah kesadaran mendalam bahwa kita semua saling tergantung (interdependence) dan bertanggung jawab atas semua (responsibility for all).
Solidaritas kristiani mewujud dalam kemurahan hati, pengampunan, rekonsiliasi, dan yang terpenting, pembelaan hak asasi manusia. Ini terutama berlaku bagi mereka yang miskin dan tersingkir oleh tata sosial, ekonomi, dan politik yang tidak adil.
Keutamaan-keutamaan ini memberikan daya positif yang menopang perkembangan sejati dan kehidupan yang damai.
Bom Bunuh Diri: Negasi Absolut Solidaritas
Jika kita menggunakan lensa solidaritas ini sebagai “pisau” analisis moral, maka bom bunuh diri menampakkan dirinya sebagai tindakan negasi absolut terhadap solidaritas.
Pertama, bom bunuh diri adalah pelanggaran fundamental terhadap kewajiban seseorang untuk mencintai dirinya sendiri dan kehidupan persekutuan. Tindakan ini secara ekstrem menolak anugerah hidup yang semestinya dijaga, dihargai, dan dikembangkan.
Ia adalah bentuk kemandekan psikologis dan spiritual, mematikan kemungkinan seseorang untuk bertumbuh menuju kedewasaan dan kesempurnaan. Manusia yang melakukan bunuh diri sejatinya menghentikan proses kehidupan, memadamkan api yang bisa memberikan makna bagi diri dan sesama.
Kedua, ketika bom bunuh diri itu juga merenggut nyawa orang lain, ia adalah pelanggaran terhadap kewajiban untuk mencintai sesama. Kehidupan orang lain, yang sakral dan berharga, direnggut paksa tanpa alasan yang jelas.
Pelaku tidak lagi melihat sesama sebagai subjek yang harus dikasihi, dihormati, dan dijaga, melainkan sebagai objek yang boleh dihancurkan demi mencapai tujuan—entah itu tujuan ideologis, politis, atau pelampiasan atas keputusasaan ekonomi.
Solidaritas menuntut kita untuk “memberi diri untuk orang lain”; bom bunuh diri adalah kebalikannya: “menghancurkan diri dan orang lain”.
Gagalnya Solidaritas Struktural dan Spiritual
Di sinilah letak relevansi krusial Sollicitudo Rei Socialis. Fenomena bom bunuh diri yang berlatar kesulitan ekonomi adalah bukti nyata dari kegagalan solidaritas struktural.
Orang memilih jalan pintas yang fatal karena merasa ditinggalkan dan dikhianati oleh sebuah sistem yang tidak adil, yang gagal menjamin hak dasar mereka untuk hidup bermartabat. Ketika kesempatan bertahan hidup nyaris nihil dan tidak ada safety net sosial yang berfungsi, individu bisa terdorong pada ekstremitas.
Sementara itu, fenomena bom bunuh diri yang berlatar ideologi agama adalah bukti dari defisit solidaritas spiritual.
Nilai-nilai kemurahan hati, empati, pengampunan, dan penghargaan atas perbedaan—yang merupakan inti solidaritas kristiani dan nilai universal agama-agama—telah digantikan oleh kebencian, eksklusivisme, dan penafsiran teologis yang kaku serta intoleran. Ajaran agama yang seharusnya menjadi sumber kedamaian dan kasih justru disalahgunakan menjadi pembenaran atas kekerasan.
Panggilan Gereja: Membumikan Solidaritas
Oleh karena itu, jawaban atas terorisme dan bom bunuh diri tidak pernah cukup hanya dengan pendekatan keamanan semata. Sollicitudo Rei Socialis mengajak kita pada jalan yang lebih mendasar: membangun struktur solidaritas yang kokoh dan merevitalisasi solidaritas spiritual di tengah masyarakat.
Melihat tantangan besar ini, Gereja mengemban panggilan yang amat penting. Bukan sekadar menjadi penonton, melainkan motor penggerak perubahan, membumikan semangat solidaritas dalam aksi nyata.
Kita mesti memulai dengan pendidikan moral yang kontekstual dengan menanamkan nilai-nilai luhur seperti solidaritas, empati yang tulus, pengampunan yang membebaskan, dan penghargaan mendalam terhadap setiap kehidupan, sejak dini dalam lingkaran keluarga maupun di lembaga-lembaga pendidikan.
Pendidikan semacam ini melampaui hafalan dogma; ia berarti mendidik iman yang sungguh dewasa, iman yang berani menolak penafsiran-penafsiran literal yang merusak dan justru mendorong dialog antariman yang sejati, yang membuka hati pada kebenaran di luar diri sendiri.
Gereja juga dipanggil untuk terus-menerus melakukan advokasi keadilan sosial. Kita harus berani menjadi suara kenabian, bersuara lantang bagi mereka yang terpinggirkan dan tertindas oleh struktur ekonomi dan politik yang tidak adil.
Ini adalah tugas suci untuk tak henti-hentinya mendesak terciptanya kebijakan-kebijakan yang sungguh berpihak pada kaum miskin (pro-poor), yang memastikan setiap individu—tanpa terkecuali—memiliki kesempatan dan kecakapan yang cukup untuk bertahan hidup secara bermartabat. Keadilan sejati harus menjadi fondasi setiap kebijakan.
Akhirnya, dan tak kalah penting, Gereja harus secara aktif membangun jaringan inklusif. Ini berarti mendorong terbentuknya komunitas-komunitas yang terbuka dan merangkul semua, di mana setiap perbedaan dihargai sebagai kekayaan, dan setiap individu merasa menjadi bagian tak terpisahkan dari sebuah keluarga besar kemanusiaan.
Jaringan inklusif semacam ini akan menjadi penawar, sebuah antidot yang kuat, bagi isolasi, eksklusivisme, dan rasa terasing yang seringkali menjadi pemicu tindakan-tindakan ekstrem dan perpecahan dalam masyarakat.
Solidaritas menuntut kita untuk siap berkorban demi kebaikan bersama, bukan mengorbankan kebaikan bersama. Ruang publik yang kini penuh kecemasan hanya bisa dipulihkan jika kita secara aktif mengisi ruang itu dengan tindakan solidaritas nyata, yang berpihak pada mereka yang tersingkir dan meredam bara kebencian dengan dialog yang tulus dan penuh kasih.
Nilai-nilai solidaritas dalam wujud kemurahan hati, empati, dan saling menghargai kehidupan—yang digagas dalam Sollicitudo Rei Socialis—harus menjadi kekuatan utama dalam meredam terjadinya bom bunuh diri. Ini adalah panggilan bagi kita semua untuk menjadi penjaga kehidupan, baik bagi diri sendiri maupun bagi sesama. (*)
Penulis: Gebrile Mikael Mareska Udu, Mahasiswa Teologi Universitas Sanata Dharma
Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.